Mohon tunggu...
IAT Sadra 22
IAT Sadra 22 Mohon Tunggu... Lainnya - Mahasiswa

Kumpulan Karya

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Analisis Pandangan Sunni dan Syiah terhadap Tahrif Al-Qur'an: Menelusuri Definisi, Riwayat, dan Keterjaminan Keaslian Teks Suci

20 November 2023   11:25 Diperbarui: 20 November 2023   12:46 279
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

            Beberapa ulama, pemerhati, dan penulis Ulumul Qur'an menyatakan bahwa perubahan dalam ayat memang terjadi. Banyak riwayat dari ulama Ahlu Sunnah maupun Syiah mengakui keberadaan perubahan ini. Isu perubahan ayat sering dibahas di kalangan penuntut ilmu keislaman, terutama dalam studi Ushul al-Fiqh dan Ulum al-Qur'an. Mereka menghadapi persoalan ini terutama saat mempelajari naskh (penghapusan/penggantian) ayat, termasuk penghapusan atau penggantian ayat dengan hukumnya (naskh ar-rasmi wa al-hukmi) serta penghapusan ayat tetapi hukumnya tetap berlaku (naskh ar-rasmi wa baqa' al-hukmi). Penting untuk dicatat bahwa penghapusan ayat terjadi pada masa Rasulullah saw, khususnya saat Usman bin Affan meresmikan Mushaf Usmani. Fakta sejarah menunjukkan bahwa umat Islam menerima penetapan tersebut tanpa protes. Seiring waktu, ayat-ayat yang dihapus seperti pada surat al-Ahzab, termasuk pernyataan Ubay bin Ka'ab, tampaknya telah dihapus pada masa hidup Rasulullah saw atas petunjuk Allah. Perubahan atau tahrif ini bukan hanya pandangan Ahlu Sunnah tetapi juga diakui oleh penganut Syiah, yang mendalaminya dalam karya-karya terkait al-Qur'an. Mereka menyatakan bahwa mushaf yang sekarang dianggap sebagai wahyu Rasulullah Saw telah mengalami banyak perubahan, dengan beberapa ayat yang hilang.

e. Perubahan dalam surat

            Perubahan dalam isi surat-surat al-Qur'an dari masa awal hingga saat ini, menunjukkan kemungkinan adanya pengurangan, penghilangan, atau perubahan pada mushaf al-Qur'an. Beberapa klaim mendukung ide bahwa doa iftitah dan doa qunut pada awalnya merupakan bagian dari surat Al-Qur'an, namun pandangan ini tidak selalu didukung oleh bukti yang kuat. Sebagai contoh, Ubay bin Ka'ab dicatat mencantumkan keduanya dalam mushaf yang disusunnya, sehingga surat al-Qur'an dalam mushaf tersebut berjumlah 116. Namun, ada penilaian bahwa qira'at Ubay tersebut tidak dapat diikuti karena dianggap bermasalah. Beberapa tokoh seperti Subhi Shalih dan Manna' al-Qaththan menolak qira'at ini, menyatakan bahwa mushaf semacam itu tidak dapat dijadikan pedoman atau dibaca dalam salat. Di sisi lain, ada riwayat yang berbicara sebaliknya, menyatakan bahwa beberapa surat awalnya tidak dianggap sebagai bagian dari al-Qur'an, tetapi kemudian dimasukkan dalam Mushaf Usmani. Contohnya adalah pandangan Ibnu Masud yang menolak surat an-Nas, al-Falaq (dikenal sebagai al-Muawidzatain), dan al-Fatihah sebagai surat dari al-Qur'an. Jika pandangan ini diakui, jumlah total surat dalam al-Qur'an dapat menjadi 111. Perbedaan pandangan semacam itu menciptakan kompleksitas dalam memahami evolusi teks al-Qur'an sepanjang waktu.

2. Tahrif Ma'nawiyah

            Tahrif Ma'nawiyah adalah perubahan-perubahan yang terjadi pada makna Al- Qur'an. Perubahan seperti ini terjadi karena adanya perbedaan pemahaman dari pada pembacanya, dalam hal ini yaitu umat Islam itu sendiri. Mereka yang membaca dan berupaya memahami isi Al- Qur'an terdiri dari beragam manusia, baik dari segi etnis, bahasa, pengetahuan, budaya, dan lingkungan. Semua unsur tersebut sangat berpengaruh dalam upaya pemahaman Al- Qur'an. Keberagaman ini tentu saja menimbulkan perbedaan penafsiran terhadap teks suci tersebut, sebagaimana terlihat dari berbagai tafsir para ulama yang menawarkan makna berbeda untuk ayat atau istilah tertentu, seperti "sab'a samawat" (tujuh langit) dalam konteks yang berbeda, seperti Surah ath-Thalaq. ayat 12.

 

Artinya: "Allahlah yang menciptakan tujuh langit dan seperti pul bumi. Perintah Allah berlaku padanya, agar kamu mengetahui bahwasanya Allah Mahakuasa atas segala sesuatu. Dan sesungguhnya Allah ilmu-Nya benar-benar meliputi segala sesuatu". (QS. At- Thalaq 5:12)

            Al-Maraghi menginterpretasikan istilah "sab'a samawat" sebagai planet-planet yang tersebar di ruang angkasa, dengan angka tujuh merepresentasikan banyaknya. Ini mencerminkan kebiasaan Arab yang menggunakan tujuh, tujuh puluh, atau tujuh ratus untuk menyatakan jumlah yang besar. Menurutnya, tujuh lapis langit mengacu pada banyaknya planet atau galaksi yang berputar mengelilingi matahari. Penafsiran ini sejalan dengan teori ilmiah astronomi yang menyebutkan ada ratusan juta planet atau galaksi dalam orbit mengelilingi matahari. Pandangan ini juga ditemukan dalam tafsir Departemen Agama, menghubungkan istilah tersebut dengan galaksi-galaksi di ruang angkasa yang jumlahnya sulit ditentukan secara pasti, mungkin mencapai jutaan atau bahkan milyaran.

            Thabathaba'i, dalam Tafsir al-Mizan, menyatakan bahwa istilah "tujuh lapis langit" tidak merujuk pada planet-planet seperti matahari, bulan, dan bintang di angkasa. Sebaliknya, ini mencerminkan penciptaan Tuhan yang disusun secara bertingkat. Alam planet, bintang, dan sejenisnya dianggap sebagai langit yang paling dekat dengan manusia, sedangkan enam langit lainnya tidak dijelaskan dalam al-Qur'an.

            Hamka memiliki pandangan berbeda mengenai "tujuh lapis langit". Menurutnya, al-Qur'an dan Sunnah tidak memberikan rincian atau keterangan tentang hal ini, sehingga umat Islam sebaiknya tidak perlu terlalu mendalami berbagai teori terkait. Hamka menekankan bahwa dengan kemajuan ilmu pengetahuan, teori-teori ilmiah masa lalu dapat dianggap keliru ketika muncul teori baru yang berbeda. Oleh karena itu, perbincangan mengenai hal tersebut sebaiknya dihindari.

            Pada saat itu, manusia justru menyadari bahwa pengetahuan yang ditemukan masih terbatas. Hamka juga mengkritik tajam para penafsir yang memberikan berbagai penjelasan mengenai tujuh lapis langit, menyebutnya sebagai dongeng tanpa dasar yang dapat diandalkan. Ini mencerminkan variasi penafsiran istilah-istilah dalam ayat al-Qur'an, yang dapat ditemui dalam jumlah yang besar. Setiap mufassir memiliki pandangan yang berbeda dalam menjelaskan istilah atau ayat, dan ini dianggap wajar. Perbedaan penafsiran ini dipahami sebagai hasil dari pengaruh budaya, kebiasaan, pengetahuan, lingkungan, dan cara berpikir masing-masing mufassir. Disinkronkan adanya variasi dalam unsur-unsur tersebut dapat menyebabkan perbedaan dalam penjelasan makna ayat-ayat tersebut.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun