Mohon tunggu...
Mahéng
Mahéng Mohon Tunggu... Author

Hidup adalah perpaduan cinta, tawa, dan luka. Menulis menjadi cara terbaik untuk merangkai ketiganya.

Selanjutnya

Tutup

Book Artikel Utama

Nyari Toko Buku di Ketapang Lebih Susah daripada Nyari Kuyang?

12 September 2025   21:41 Diperbarui: 13 September 2025   08:29 69
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
TBM Honu yang kami dirikan di Pulau Runduma, Wakatobi. Bukti literasi juga soal akses. (Dokumentasi pribadi) 

Buat sebagian Kompasianer, toko buku itu mirip klinik kesehatan jiwa dengan tarif gratis. Ada yang datang hanya untuk cuci mata dan menghirup bau kertas baru, lalu pulang dengan galeri ponsel penuh foto estetik. 

Ada juga yang awalnya cuma niat cari satu judul, tahu-tahu pulang bawa tumbler, tote bag, plus sepiring penyetan yang entah gimana bisa ikut nyasar ke meja kasir. Kejadian itu bisa saja terjadi kalau mampir ke Warung Sastra di Jogja, tempat buku ketemu kopi, dan obrolan bisa lebih panjang dari daftar isi. 

Dan jangan lupakan spesies pembaca yang sanggup berdiri berjam-jam di aisle, khusyuk melahap bab demi bab sample copy, seakan waktu dan dunia luar itu cuma catatan kaki.

Kuyang Lebih Mudah Ditemui daripada Toko Buku

Saya nggak bisa nongkrong, cuci mata, atau baca gratisan di toko buku kayak mereka. Di Ketapang, Kalimantan Barat, toko buku lebih mirip kuyang, sering disebut tapi jarang kelihatan. 

Cuma, kuyang mungkin masih ketangkap mata warga, sementara toko buku sampai sekarang belum pernah masuk berita.

Ada isu, di mal sini pernah ada toko buku yang buka cuma tiga kali seminggu. Hari apa saja, hanya Tuhan dan admin mal yang tahu. Saya sempat datang ke mal itu, meski bukan untuk cari buku. Tanda-tanda keberadaan toko buku nggak saya temukan. 

Jangan-jangan toko itu memang buka pintu kalau saya ketuk dinding tiga kali sambil nyebut nama Pramoedya, Idrus, atau Tan Malaka.

Fenomena ini agak susah diterima batin saya. Soalnya sebelumnya saya belasan tahun hidup di Jogja. Di sana toko buku nyaris kayak warung Madura swasta, ada di setiap sudut kota. Tinggal pilih mau yang rame atau yang biasa aja. 

Aksesnya gampang, pilihannya melimpah, dan masalahnya justru di dompet saya yang selalu menipis lebih cepat daripada isi bukunya.

Drama Paket Buku dan DC Cakung

Saya sempat minta Ayas mengirimkan beberapa buku dari Jakarta. Responsnya bikin saya pengen garuk jendela. Katanya, ia sudah hafal perangai saya. Buku yang dikirim bisa saja cuma numpang lewat, sebentar nongkrong di rak lalu hilang entah ke mana.

Buktinya, koleksi buku yang dulu saya kumpulkan di Jogja, Purwokerto, dan beberapa kota lain sekarang nggak jelas rimbanya.

Akhirnya saya coba beli lewat lokapasar di Jakarta dan Jogja dengan dana sisa cicilan. Prosesnya bikin deg-degan, dan kalau paket buku sudah singgah di DC Cakung, doa paling tulus pun sering kalah. 

Tempat itu semacam purgatorium, mungkin masih butuh rapat paripurna untuk menentukan apakah buku saya layak melanjutkan perjalanan atau baru muncul lagi ketika kurir sudah berganti jadi drone—kuyang sintetis.

Sampai di titik ini, saya merasa membeli buku bukan sekadar transaksi. Buat saya, itu semacam suntikan biar tetap bisa menulis, termasuk di Kompasiana.

Masalahnya, jalannya berliku. Mulai dari mencari toko online yang terpercaya, sampai menunggu pengiriman yang kadang lebih rumit daripada birokrasi RT. 

Belum lagi kurir yang kerja keras dengan gaji seadanya, tapi tetap harus nurut sama Google Maps yang dengan pede bilang “belok kiri”—dan kalau diturutin, ujung-ujungnya bisa nyosor ke kebun sawit atau nyebur ke Sungai Pawan.

Literasi Adalah Akses, Bukan Cuma Minat Baca

Dulu kabarnya ada toko buku besar di Ketapang, meski akhirnya gulung tikar. Kalau benar, wajar muncul pertanyaan: kalau dibangun lagi, apakah nasibnya akan sama?

Data literasi Kalbar memang belum sekuat daerah lain yang punya tradisi membaca lebih mapan. Perpustakaan ada, tapi koleksinya sering bikin senyum. Kadang lebih gampang nemu buku pelajaran yang kurikulumnya sudah pensiun, ketimbang bacaan baru yang bisa bikin orang betah duduk.

Di Ketapang sendiri, akses literasi lebih banyak bergantung pada perpustakaan sekolah, taman bacaan masyarakat, atau komunitas kecil yang bikin ruang baca seadanya. 

Bahkan di berita lokal, kabarnya lebih sering muncul soal karhutla atau capaian pemkab. Jadi kalau suatu hari ada toko buku buka di Ketapang dan masuk berita, itu bisa jadi peristiwa langka. Barangkali setara dengan jalan raya mulus tanpa lubang menganga.

Sebab itu, bagi banyak warga Ketapang, urusan toko buku mungkin belum jadi prioritas; lewat depan rumah saja sudah terasa seperti latihan slalom gratis.

Mungkin Pop-Up Store Bisa Jadi Jalan Tengah 

Ketika membaca tulisan Kompasianer lain dengan tema rekomendasi toko buku, saya merasa seperti mengintip planet lain. Mereka cerita tentang toko buku yang nyaman, estetik, ada kafe, dan bisa jadi tempat nongkrong.

Ada yang menulis dengan penuh semangat soal atmosfer cozy. Ada juga yang menjadikannya tempat healing.

Buat saya, nongkrong di toko buku saat ini hanya bisa lewat imajinasi. Di Ketapang, healing itu artinya kalau paket buku berhasil sampai tanpa drama, nggak singgah terlalu lama di DC Cakung, dan nggak bikin kurir nyasar ke kebun sawit lalu dikejar orangutan.

Rasanya memang agak dilematis. Di satu sisi, kehadiran toko buku jelas bisa membuka akses literasi. Orang bisa beli langsung tanpa takut paketnya mandek di pusat sortir yang sering jadi legenda kelam para pembeli online.

Komunitas pun bisa menjadikannya tempat kumpul. Anak-anak bisa kenal buku lebih dekat, bukan cuma buku paket yang kurikulumnya tiap ganti menteri ikut pensiun.

Tapi di sisi lain, tantangan bisnisnya juga ada. Kota ini memang ramai, tapi nggak semua orang rela mampir ke toko buku. Ada yang lebih senang nongkrong di kafe, ada yang sibuk nge-gym. 

Orang bisa dengan mudah ikut turnamen gaplek, tapi untuk sekadar beli buku, jalannya jauh lebih berliku.

Kalau begitu, mungkin jalan tengah lebih masuk akal. Toko buku di Ketapang nggak harus langsung megah. Bisa muncul dulu sebagai pop-up store di acara tertentu. 

Bisa juga nebeng di kafe atau komunitas seni. Atau pakai model hybrid, toko mungil dengan katalog daring biar stok lebih efisien.

Memang, langkah semacam ini nggak otomatis mengangkat indeks literasi. Tapi seenggaknya membuka jalan. Bikin orang sadar bahwa buku masih ada, bukan sekadar mitos urban kayak toko buku besar yang katanya dulu pernah hidup di Ketapang.

Akhirnya saya sadar, literasi bukan cuma soal mau membaca. Tapi juga soal akses. Kalau aksesnya gampang, orang bisa terbiasa. Kalau aksesnya ribet, orang harus siap berjuang ekstra.

Dan kalau ditanya apa bentuk healing paling manjur buat saya, jawabannya sederhana. 

Selain Ayas yang baik hati mau kirim buku, ada juga momen ketika pesanan saya tiba dengan selamat, tanpa drama, dan tanpa perlu saya kirim doa khusus ke kurir seolah dia sedang bertugas di medan perang.

Karena demi membeli beberapa eksemplar buku, saya memang harus mengencangkan ikat pinggang lebih dari biasanya.

 Mahéng 

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Book Selengkapnya
Lihat Book Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun