Bahkan di berita lokal, kabarnya lebih sering muncul soal karhutla atau capaian pemkab. Jadi kalau suatu hari ada toko buku buka di Ketapang dan masuk berita, itu bisa jadi peristiwa langka. Barangkali setara dengan jalan raya mulus tanpa lubang menganga.
Sebab itu, bagi banyak warga Ketapang, urusan toko buku mungkin belum jadi prioritas; lewat depan rumah saja sudah terasa seperti latihan slalom gratis.
Mungkin Pop-Up Store Bisa Jadi Jalan TengahÂ
Ketika membaca tulisan Kompasianer lain dengan tema rekomendasi toko buku, saya merasa seperti mengintip planet lain. Mereka cerita tentang toko buku yang nyaman, estetik, ada kafe, dan bisa jadi tempat nongkrong.
Ada yang menulis dengan penuh semangat soal atmosfer cozy. Ada juga yang menjadikannya tempat healing.
Buat saya, nongkrong di toko buku saat ini hanya bisa lewat imajinasi. Di Ketapang, healing itu artinya kalau paket buku berhasil sampai tanpa drama, nggak singgah terlalu lama di DC Cakung, dan nggak bikin kurir nyasar ke kebun sawit lalu dikejar orangutan.
Rasanya memang agak dilematis. Di satu sisi, kehadiran toko buku jelas bisa membuka akses literasi. Orang bisa beli langsung tanpa takut paketnya mandek di pusat sortir yang sering jadi legenda kelam para pembeli online.
Komunitas pun bisa menjadikannya tempat kumpul. Anak-anak bisa kenal buku lebih dekat, bukan cuma buku paket yang kurikulumnya tiap ganti menteri ikut pensiun.
Tapi di sisi lain, tantangan bisnisnya juga ada. Kota ini memang ramai, tapi nggak semua orang rela mampir ke toko buku. Ada yang lebih senang nongkrong di kafe, ada yang sibuk nge-gym.Â
Orang bisa dengan mudah ikut turnamen gaplek, tapi untuk sekadar beli buku, jalannya jauh lebih berliku.
Kalau begitu, mungkin jalan tengah lebih masuk akal. Toko buku di Ketapang nggak harus langsung megah. Bisa muncul dulu sebagai pop-up store di acara tertentu.Â