Pada suatu sore yang biasa saja, 3 Juni 2025, saya mendengar kalimat yang luar biasa.
"Kita tidak akan pernah bisa berdaulat selama perut kita dijajah."Â
Jangan dikira ini kutipan dari seminar geopolitik yang digelar di Tokyo. Bukan. Ini diucapkan sambil nyocol mangga ke cabe garam, pakai tusuk gigi.Â
Begini ceritanya. Kami sedang diskusi tentang konservasi, budaya, dan persiapan riset untuk The Power of Mama (TPOM), sebuah program pemberdayaan perempuan di pesisir Ketapang oleh Yayasan Inisiasi Alam Rehabilitasi Indonesia (YIARI).Â
Tapi, seperti biasa, pembicaraan orang Indonesia: mulai dari nyocol mangga, tahu-tahu sudah nyasar ke nasionalisme.Â
Dan ya, mangga itu penting. Karena dari sanalah semuanya bermula.Â
Sopan Santun Adalah Tusuk Gigi SosialÂ
Bang Hendri Muhammad, public relation and liaison officer YIARI, narasumber kami yang jenaka sekaligus filosofis, bilang, "Saya tidak mungkin membagi kawan-kawan dengan tangan kosong. Maka alat ini, tusuk gigi, adalah adaptasi."
Dari situ saya mulai merenung (sambil tetap nyocol mangga). Ternyata tusuk gigi bukan sekadar alat dapur. Ia simbol peradaban. Representasi sopan santun dalam bentuk kayu tajam nan mungil.Â
Semacam 'peace agreement' antar lidah yang berbeda kultur.
Kata Bang Hendri, sopan santun itu bukan kebaikan murni. Ia semacam 'kepura-puraan kolektif' agar kita bisa makan rame-rame tanpa saling jijik.Â