Mohon tunggu...
Husnia Mulnidar
Husnia Mulnidar Mohon Tunggu... Teacher

Education

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Dari Bahasa Inggris ke PGSD: Cerita Saya Menemukan Jati Diri Guru lewat PPG Prajabatan

13 Juni 2025   23:08 Diperbarui: 13 Juni 2025   22:07 65
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tidak pernah terbayang dalam benak saya bahwa suatu hari saya akan menjadi guru SD. Sebagai lulusan Pendidikan Bahasa Inggris, saya membayangkan diri saya akan mengajar grammar, speaking, atau reading comprehension di SMP atau SMA sebagaimana yang telah saya pelajari selama mengenyam bangku kuliah selama 4 tahun. 2 bulan setelah kelulusan S1, saya mendapatkan info adanya beasiswa untuk Pendidikan Profesi Guru Prajabatan. Sayangnya, untuk Gelombang 2 Tahun 2024 tidak ada Jurusan Pendidikan Bahasa Inggris, namun Pendidikan Bahasa Inggris dilinearkan ke jurusan PGSD. Awalnya ada rasa bimbang dan khawatir, bahkan sempat mempertanyakan, “Apakah ini langkah yang tepat? Apakah saya akan mampu?” Namun, berbekal kecintaan saya terhadap dunia anak-anak sedari dulu dan mempertimbangkan bahwa saat itu saya masih fresh graduate tentunya saya tidak ingin melewatkan waktu dan kesempatan sekecil apapun. Di tengah kebingungan itu, saya memulai sebuah perjalanan yang ternyata membawa saya menemukan bukan hanya ilmu baru tetapi juga jati diri saya sebagai seorang pendidik.

Peralihan dari dunia Bahasa Inggris ke dunia Pendidikan Guru Sekolah Dasar ternyata tidak semudah yang saya bayangkan. Saya terbiasa berpikir dalam struktur bahasa, menganalisis tenses, dan merancang pembelajaran untuk remaja. Namun, di PGSD, saya dihadapkan pada pengembangan karakter anak usia dini, literasi dan numerasi serta kebutuhan untuk menguasai semua mata pelajaran dasar dari Matematika hingga Pendidikan Pancasila. Terlebih di PPG Prajabatan ini kami ditekankan untuk memahami dan mengaplikasikan Pembelajaran Berdiferensiasi, CRT (Culturally Responsive Teaching), dll. Hal tersebut menjadi hal baru yang membuat saya harus belajar dari nol. Saya juga perlu menyesuaikan cara komunikasi, yang tadinya formal dan analitis, menjadi lebih sederhana, hangat, dan penuh empati. Saya harus bernyanyi dan menari lagu anak-anak, menggunakan media pembelajaran yang kreatif, bahkan belajar cara mendongeng. Awalnya canggung, namun lama-lama saya justru menikmati proses itu.

Salah satu momen paling menguras emosi terjadi saat saya praktik mengajar di kelas selama PPL. Hari itu, saya sudah menyiapkan materi dengan serius. Saya datang lebih awal, menyusun media ajar, dan membayangkan suasana belajar yang kondusif. Namun, yang terjadi justru sebaliknya. Anak-anak berisik, tidak memperhatikan, dan sebagian bahkan saling bercanda tanpa peduli saya sedang berbicara di depan. Saya mencoba menenangkan mereka, tetapi semakin saya bicara, semakin mereka mengabaikan. Akhirnya saya marah, dan hampir menangis di depan kelas.

Saat itu saya merasa gagal. Saya mempertanyakan apakah saya benar-benar cocok menjadi guru SD. Tapi setelah diberi ruang untuk melakukan refleksi di salah satu mata kuliah yaitu Pembelajaran Sosial dan Emosional, saya menyadari bahwa mengajar anak-anak bukan hanya soal menyampaikan materi, tapi juga tentang memahami dunia mereka dengan segala kepolosan, keaktifan, dan kebutuhan untuk dimengerti.

Pengalaman itu jadi titik balik. Emosi saya memang diuji, tapi saya juga belajar bahwa menjadi guru SD bukan soal menuntut anak-anak menjadi seperti kita, melainkan bagaimana kita menyesuaikan diri untuk menjangkau mereka dengan hati yang sabar.

Setelah kejadian di kelas itu, saya mulai mengubah cara pandang saya terhadap anak-anak dan proses belajar itu sendiri. Saya tidak lagi sekadar datang untuk mengajar, tetapi berusaha hadir untuk memahami. Saya mulai memperhatikan setiap anak lebih dalam, yang pendiam, yang aktif berteriak, yang suka bertanya, bahkan yang tampaknya acuh. Di balik perilaku mereka, ternyata tersimpan banyak cerita: anak yang sering mengganggu temannya ternyata belum sarapan, anak yang sulit fokus ternyata belum bisa membaca.

Hari demi hari, saya belajar untuk tidak sekadar mengontrol kelas, tetapi membangun hubungan. Saya mulai menyapa mereka satu per satu, memberi pelukan, mengajak bermain di sela pembelajaran, dan yang paling penting mendengarkan mereka. Dan perlahan, saya melihat perubahan. Anak-anak mulai menaruh perhatian. Meskipun pertemuan kami relative singkat hanya beberapa bulan, namun ada makna tersendiri yang membekas. Saat siswa yang sebelumnya tidak paham apapun dan menjadi paham, saat mereka mengucapkan terima kasih sebelum pulang, saat itu hati saya terasa hangat, dan untuk pertama kalinya, saya merasa dibutuhkan.

Dari situ saya menyadari, bahwa menjadi guru SD bukan sekadar profesi. Ini adalah perjalanan untuk mencintai, dan dicintai. Tidak ada kata “terlalu besar” atau “tidak cocok” untuk peran ini karena saat kita mau belajar memahami anak-anak, mereka pun akan membuka diri dan menerima kita dengan tulus.

Saya yang dulu ragu, kini mulai jatuh cinta. Bukan karena semuanya menjadi mudah, tapi karena saya menemukan makna yang tidak saya temukan di tempat lain.

PPG Prajabatan bukan hanya mengajarkan saya bagaimana menjadi guru secara teknis, tapi juga membentuk ulang cara saya melihat profesi ini secara utuh. Di dalamnya, saya belajar bahwa menjadi guru bukan sekadar menguasai materi pelajaran, tetapi menjadi teladan, pembimbing, pendengar, dan bahkan tempat pulang bagi siswa-siswa kecil yang sedang bertumbuh.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun