Melalui proses yang panjang dari kegamangan di awal, kelelahan fisik dan mental, hingga momen-momen penuh makna bersama anak-anak, saya mulai menemukan siapa saya sebenarnya. Saya bukan lagi hanya “lulusan Bahasa Inggris yang nyasar ke PGSD,” tetapi seorang pendidik yang tumbuh melalui pengalaman. Saya mulai mengenali nilai-nilai yang penting dalam diri saya sebagai guru, saya milai mengenali kesabaran, empati, kepekaan sosial, dan semangat untuk terus belajar.
Menjadi guru SD mengajarkan saya bahwa setiap hari di kelas adalah kesempatan untuk menanam benih kebaikan. Meski hasilnya mungkin tidak langsung terlihat, tapi setiap senyum, dorongan, dan kata-kata penyemangat bisa jadi sangat berarti bagi masa depan seorang anak.
Di sinilah saya merasa menemukan jati diri saya. Panggilan itu ternyata tidak harus datang dari tempat yang saya duga sejak awal. Kadang, justru melalui jalan yang tak terduga, kita bisa menemukan versi terbaik diri kita.
Bagi teman-teman yang saat ini sedang menjalani PPG atau masih dalam proses mencari jati diri sebagai calon guru terutama yang merasa "tidak linear" seperti saya, saya ingin mengatakan tenang, kamu tidak sendiri. Rasa bingung, kewalahan, bahkan putus asa di awal itu wajar. Tapi jangan buru-buru menyerah, karena bisa jadi di situlah kamu akan menemukan panggilanmu yang sebenarnya.
Untuk para pengambil kebijakan, saya berharap proses rekrutmen dan penempatan PPG Prajabatan ke depan bisa lebih mempertimbangkan latar belakang akademik peserta, bukan hanya sebagai bentuk keadilan, tapi juga demi mempercepat adaptasi dan penguatan kompetensi. Namun di luar itu, saya juga mengajak semua pihak untuk melihat bahwa dunia pendidikan butuh guru-guru yang siap belajar ulang, berani keluar dari zona nyaman, dan punya hati yang tulus untuk mendidik.
Pendidikan adalah kerja bersama. Dan kita semua, entah berasal dari jurusan apa pun, punya peran penting di dalamnya, selama kita bersedia berjalan dengan niat yang benar.
Perjalanan saya di PPG Prajabatan tidak selalu mulus. Ada air mata, amarah, rasa lelah, dan keputusasaan. Tapi ada pula tawa anak-anak, pelukan hangat, dan rasa percaya diri yang tumbuh dari proses yang jujur.
Dulu saya ragu, kini saya yakin. Dulu saya merasa "salah tempat", kini saya tahu: menjadi guru SD bukanlah ketidaksengajaan. Ini adalah anugerah yang mempertemukan saya dengan versi terbaik diri saya. Saya tidak memilih jalan ini sejak awal, tapi saya bersyukur pernah ditempatkan di sini. Sebab di sinilah, saya belajar menjadi guru dengan hati.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI