Dia tidak tahu bahwa salju bisa sekejam itu. Tak seorang pun memberi tahu. Mereka memperingatkan soal gegar budaya, kesepian, dan rindu kampung halaman. Tapi tak ada yang bilang bahwa salju bisa menguburmu hidup-hidup, memperlambat pikiran, dan membuat detak jantungmu terasa seperti berhenti.
Barman Panjaitan merantau, tepatnya nekat merantau dan tinggal di Amerika. Selepas SMA ia bekerja di kapal tanker berbulan-bulan lamanya. Lalu Ia memilih New York, gemerlap kota kosmopolitan seperti takpernah tidur saja. Urus sana sini dan diterima secara resmi.
Barman Panjaitan berdiri di gang belakang sebuah restoran Korea, jari-jarinya mati rasa, memegang kantong plastik berisi beberapa helai kain kaus kaki tebal yang sudah usang. Ia baru saja kehilangan pekerjaan lagi. Bahasa Inggrisnya katanya terlalu kaku. Ia tidak cukup banyak tersenyum. Ia terlihat lelah. Memang ia lelah.
“Mungkin sebaiknya kamu pulang saja ke Indonesia,” kata manajernya, tanpa menatap mata.
Pulang? Ia hampir tertawa. Udah putus tabungannya di gemerlapnya kota kosmopolitan ini. Kota yang menawarkan hiburan yang tidak ada matinya.
Tak ada tiket pesawat di saku mantelnya. Hanya ada surat dari ibunya, ditulis di kertas cokelat, masih berbau asap dapur kayu dari rumah mereka di tepi Danau Toba dan uang beberapa dollar saja.
"Jaga dirimu, Barman. Jangan malu jadi Batak. Kalau kau kedinginan pake ulos itu, Ulos kita kuat itu anakku." Begitu pesan ibunya di dalam surat yang ditulis bapak.
Tapi bagaimana bisa sehelai kain ulos bisa menjaga suhu tubuh dari musim dingin yang tak mengenal ampun?
---
Barman kemudian memilih tinggal berbagi sewa bersama tiga pria lain di sebuah apartemen. Julio, yang memainkan gitar flamenco setiap malam. Marek, yang merokok dan menangis saat bercerita tentang putrinya di Polandia. Dan Moses, yang hanya bicara saat mabuk.
“Kenapa kamu ke sini, Barman?” tanya Julio suatu malam, matanya setengah terpejam. Barman mendekat ke meja disamping tempat tidur Julio.
Barman mengangkat bahu. “Untuk menulis.”
“Menulis apa?”