“Cerita.”
Musa mencibir. “Tempat ini nggak peduli sama cerita kamu.”
Barman menatap keluar jendela, salju mulai turun lagi.
“Aku tahu,” katanya. “Tapi aku tetap menulis.”
---
Siang hari, Barman mulai mencari pekerjaan serabutan
Bekerja di dapur, membersihkan toilet, membagikan brosur di Times Square dengan kostum Spider-Man palsu. Hal yang paling penting ia harus memiliki uang untuk tetap bertahan.
Ia jarang bicara. Orang-orang menatap warna kulitnya, rambutnya, caranya berjalan. Kadang mereka menebak-nebak asalnya. “ Meksiko?” “ India?” “Vietnam?”
Ia lalu berhenti membenarkan. "Batak Indonesian, Lombu Aek...." katanya ketika kadang jengkel karena merasa diperlakukan berlebihan dan diremehkan.
Malam hari, ia menulis di perpustakaan dan stasiun subway. Ia menulis tentang masa kecilnya di kampung, menangkap ikan bersama sepupu, belajar bahasa Inggris dari pastor kulit putih yang badannya tinggi dan berjenggot, suka naik sepeda dari Balige sampai ke Porsea.
Menulis tentang hari ia pergi merantau, tentang ayahnya yang menahan tangis dengan wajah keras. Ibunya yang tidak bersekolah. Warna-warni hidup dikota besar. Pengalaman spiritual para gelandangan kota. Barman bergaul juga dengan para tuna wisma, atau para diaspora yang duduk di taman. Sekedar berbagi pengalaman dan mencari ilham untuk menulis dan melatih kedalaman bahasa.
Ia sama sekali belum pernah menulis soal cinta. Sampai ia bertemu Tanie.
---
Lastanie Snailward, biasa dipanggil Tanie, begitulah papan nama kecil di dadanya. Gadis latin itu adalah barista di kafe pojok tempat ia kadang membeli teh panas. Ia memakai kemeja longgar dan membaca Hemingway di belakang mesin kopi espresso.
“Kamu juga suka baca?” tanya Tanie suatu hari, melihat Barman menulis di notebook usangnya.
Ia mengangguk tanda setuju. “Aku sedang mencoba menulis.”
“Kamu menulis apa?”
“Bukan sesuatu yang kamu suka.”