Mohon tunggu...
Hotpangidoan Panjaitan
Hotpangidoan Panjaitan Mohon Tunggu... Pak Edo

Saya penulis lepas pecinta tulisan umum, sastra, adat, sosial dan dan budaya. \r\n\r\n"Satu Huruf Bermakna, Sebaris Kata Bernyawa, Sebait kata bercerita, Sesederhana Tulisan Berharga" hp-2011 \r\n\r\nHORAS

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Salju, Sunyi, dan Huta Hatubuan

9 Mei 2025   04:21 Diperbarui: 6 Mei 2025   01:48 120
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto Abstrak Hotpangidoan 

“Lakukan saja.”

Percakapan mereka pendek, kadang dingin, kadang hangat. Tanie tampak ragu dengan perhatian dan cinta tulusnya. Iya belakangan ini dia susah dihubungi dan sepertinya agak menarik diri.

Meski demikian, Tanie banyak meminjamkan buku-buku best seller kepada Barman.
Barman membacanya sangat serius, seperti buku petunjuk bertahan hidup. Buku-buku itu membuatnya merasa tidak sendirian. Ada jendela dan pintu di dalam buku. Coba saja lakukan.

“Kenapa kamu menyukai menulis dalam bahasa Inggris, kenapa tidak pakai bahasa Indonesia saja?” tanya Tanie saat mereka duduk di apartemen kecilnya yang menghadap tangga keselamatan.

“Karena rasa sakit dan cinta terdengar unik dalam bahasa Inggris,” kata Barman singkat. 

Entah dari apartemen siapa lagu lawas "Love Hurts" Nazareth terdengar mengalun seperti mengkoyak-koyak hati.

Tanie tidak bertanya lagi.
---
Musim dingin tahun 2013 nyaris membunuhnya. Ia kehilangan pekerjaan lagi. Teman-teman flat mengusirnya karena takbayar sewa. Ia tidur tiga malam di kursi tunggu stasiun subway dekat tangga keluar. Lalu badai datang. Kota lumpuh. Salju turun seperti racun putih. Bahkan tikus pun menghilang. Badai pergi dan menyisakan dingin dimana-mana.Salju tahun ini cukup tebal.

Tiba tiba saja salju meluncur dari tangga menimbun Barman. Iya tidak terbangun. Ia sedang bermimpi. Salju seperti menidurkannya. Ia bermimpi bertemu Tuhan. Ada dialog singkat.
Sejurus Tulangnya nyeri.  Iya terbangun. Berjuang melepaskan diri berjam-jam. Lalu keluar dengan terseok-seok. Merangkak lama, lalu berjalan taktentu arah.

Ia terjatuh dan terbaring melemah di dekat gereja tua. "Aku mati di sini saja", pikirnya. Seorang gelandangan menyelimutinya dan berkata, “Jangan mati hari Selasa. Hari itu sial.” Masih sempat dia mendengarnya. "Iya, besok hari Rabu, Onantombis di Porsea" gumamnya lalu pingsan.

Ia terbangun di tempat penampungan, hipotermia dan dehidrasi, tapi hidup.

Sejak malam itu, ia menulis seolah nyawanya digantung pada tulisan. Ia kirimkan karya ke berbagai editor. Sebuah blog menerbitkan esainya: “Salju Memakan Nama-nama Seperti Namaku.” Lalu media lain ikut memuatnya. Beberapa podcast membacakan karyanya. Ceritanya relate dengan banyak kisah perantau yang berjuang di kota-kota besar bersalju di Amerika Serikat. Ada kisah-kisah inspiratif religius yang menyentuh di dalamnya. Cocok untuk khotbah. Kisah dinginnya salju, orang-orang yang kalah dan menang darinya. Salju yang turun dan membuat beku kehidupan kota dan menjebak orang-orang terpinggirkan oleh zaman.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun