Mohon tunggu...
Y. Edward Horas S.
Y. Edward Horas S. Mohon Tunggu... Penulis - Pendiri Cerpen Sastra Grup (cerpensastragrup.com)

Nomine Terbaik Fiksi (Penghargaan Kompasiana 2021). Peraih Artikel Terfavorit (Kompetisi Aparatur Menulis 2020). Pernah menulis opini di KompasTV. Kontributor tulisan dalam buku Pelangi Budaya dan Insan Nusantara. Pendiri Sayembara Menulis Cerpen IG (@cerpen_sastra), Pendiri Perkumpulan Pencinta Cerpen di Kompasiana (@pulpenkompasiana), Pendiri Komunitas Kompasianer Jakarta (@kopaja71), Pendiri Lomba Membaca Cerpen di IG (@lombabacacerpen), Pendiri Cerita Indonesia di Kompasiana (@indosiana_), Pendiri Tip Menulis Cerpen (@tipmenuliscerpen), Pendiri Pemuja Kebijaksanaan (@petikanbijak), dan Pendiri Tempat Candaan Remeh-temeh (@kelakarbapak). Enam buku antologi cerpennya: Rahimku Masih Kosong (terbaru) (Guepedia, 2021), Juang (YPTD, 2020), Kucing Kakak (Guepedia, 2021), Tiga Rahasia pada Suatu Malam Menjelang Pernikahan (Guepedia, 2021), Dua Jempol Kaki di Bawah Gorden (Guepedia, 2021), dan Pelajaran Malam Pertama (Guepedia, 2021). Satu buku antologi puisi: Coretan Sajak Si Pengarang pada Suatu Masa (Guepedia, 2021). Dua buku tip: Praktik Mudah Menulis Cerpen (Guepedia, 2021) dan Praktik Mudah Menulis Cerpen (Bagian 2) (Guepedia, 2021).

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen: Dilema Konten Kreator

25 Januari 2023   03:41 Diperbarui: 25 Januari 2023   04:31 700
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi konten kreator, sumber: Sanctuary via biz.kompas.com

Agaknya tak ada yang lebih menyenangkan bagi anak-anak zaman sekarang selain menghabiskan waktunya di dunia maya. Dunia yang sebetulnya tak pernah ada, tapi terasa seperti ada lantaran pikiran dan perasaan telah banyak bermain di dalamnya. Siapa yang berhasil mengunggah konten yang memuaskan logika pikir pun mengacak adut perasaan, kira-kira dialah yang mendulang banyak penonton. Kompetisi yang samar yang kadang membuat tepar para konten kreator. Tidak terkecuali Batil, Jambir, dan Sabir.

Kurang lebih lima sore belakangan, Batil selalu sigap pergi ke pantai belakang rumahnya. Kali ini memang gilirannya bermain bersama pantai. Dua minggu lalu, dia sudah naik gunung. Sebulan sebelumnya, bersama Jambir, mereka menapaki kedalaman hutan. Pernah dengan Sabir, Batil masuk ke dalam goa-goa yang penuh stalaktit pun stalagmit. Dalam kenangan itu, hampir kepala Batil jendol lantaran sedikit lagi menabrak stalaktit.

Sebagai konten kreator pemandangan alam, tentu, tiadalah lagi yang lebih berharga dibanding hijau-hijauan dedaunan berteteskan embun pagi. Sinar-sinar matahari menyelusup menembus batang pohon. Suara burung-burung berkicau. Bunyi nyaring ret-ret tonggeret. Angin yang berembus perlahan, menggerak-gerakkan ranting-ranting perdu hutan.

Setaralah dengan keindahan itu, bermodalkan hanya sebuah ponsel di tangan, Batil tak akan melewatkan kelebatan kelelawar yang beterbangan dari sudut-sudut gelap. Gemericik air jatuh dari ujung stalaktit. Deru gaung berpantul pada dinding-dinding goa. 

Gambar tangan di dinding goa entah siapa pun tak jelas apa -- kadang-kadang hanya tampak seperti coretan anak SD -- masih bisa dikemas jadi konten menarik di media sosial. Tinggal tambahkan saja kata-kata pengantar yang mengundang penasaran: jangan-jangan, dulu orang purba pernah tinggal di sini. Begitulah kalimat yang diakhiri tanda tanya pada awal gambar kontennya.

Waktu Batil masih pemula dan belum punya nama, tentu konten pertamanya sedikit yang menonton. Cuma sepuluh views kalau tak salah. Jempol sebagai pertanda suka diperoleh hanya satu. Kadang-kadang, jumlah views bisa bertambah jadi sebelas, dua belas, tiga belas, itu pun karena Batil menonton kontennya sendiri, lagi dan lagi.

"Apa ada yang salah? Rasa-rasanya tampilan alamnya sudah bagus," begitu tanyanya dalam hati. "Kayaknya, tak ada orang yang tak suka lihat pemandangan."

"Ya kamu jangan cuma unggah konten, Til. Ya mbok disebar," Jambir memukul pundak Batil yang sedang menonton konten dalam kamarnya. Kayaknya Jambir tahu, ada banyak pertanyaan pada benak Batil. Dari tadi Batil mengernyitkan dahi.

"Oh iya, bagus juga idemu."

Selepas sebuah konten selesai diedit dan diunggah di media sosial, Batil lekas-lekas menyebarkannya di berbagai aplikasi pertemanan. WA, Facebook, Instagram, Twitter, Youtube. Sudah ditampilkan di feed, masih pula diunggah di story. Namanya juga berharap, kadang masa bodoh meskipun yang dilakukan kelewat tampak bodoh.

Perlahan penonton bertambah. Seiring dengan itu, jempol dan komentar muncul satu demi satu. Banyak yang memuji kecakapan Batil dalam merekam indahnya alam. Beberapa memberi tantangan. 

"Coba ke danau itu."

"Di daerah sana ada padang pasir, bagus kayaknya meliput gersangnya, Kak."

"Kayaknya kamu belum ada konten pantai deh! Saya suka lihat keindahan pantai."

Lantaran banyaknya permintaan dari pengikutnya lewat komentar-komentar itu -- kadang Batil merasa seperti artis karena punya pengikut -- mulailah Batil kewalahan. Ia meminta bantuan Jambir dan Sabir.

Berbagai konten seputar pemandangan alam sudah diunggah. Video pertama versi pantai adalah tentang debur ombak memecah tepian pantai dan uniknya barisan kelomang dalam cangkang yang berjalan-jalan layaknya balap karung. Pada satu sisi, respon jempol dan komentar muncul seperti biasa dari pengikut. 

Video kedua masih tentang pantai juga mengundang respon, tapi tiba-tiba berkurang. Yang ketiga, semakin berkurang. Mereka sadar ada yang aneh. Mereka bertiga merenung di tepi pantai. Tak tampak semangat untuk meliput keindahan senja yang sudah direncanakan akan tampil jadi konten video keempat.

"Jangan-jangan karena sudah banyak yang meliput keindahan alam, kita jadi kehilangan penonton?" Jambir membuka pertanyaan. Mereka duduk berjongkok memandang debur ombak. Suara burung camar bersahutan.

"Ah, perasaanmu kali. Apa resolusi video kita kurang bagus?" Batil menimpali.

Sabir diam saja. Ia tampak begitu merenung. Tangannya memainkan butir-butir pasir. Ia terlihat memindahkan satu demi satu butir pasir, dari satu tempat ke tempat lain. Mulutnya komat-kamit, entah ngomong apa.

"Kamu ada masalah, Bir?"

"Cerita dong!"

Sabir meringkuk. Bergeming. Tangannya terus memindahkan butir pasir. Mulutnya masih komat-kamit. Karena tak ditanggapi, Batil dan Jambir membiarkan Sabir. Mereka memaklumkannya, barangkali Sabir memang tak mau cerita.

Seperti orang berdagang di toko, tentunya dituntut untuk buka setiap hari supaya orang berlangganan padanya. Begitulah kehidupan konten kreator, pengikut pasti bertanya-tanya apa konten selanjutnya. Demi mempertahankan jumlah pengikut yang masih ada, Batil dan Jambir mengais sisa-sisa semangat. Matahari sebentar lagi kembali ke peraduan. 

"Ayolah dilakuin, daripada gak ada konten," kata Batil sesaat setelah tangannya meraih ponsel dari saku celana. 

Jambir menyiapkan tongkat besi berkaki tiga berwarna hitam dan menancapkannya di atas pasir sebagai penyangga agar ponsel tak jatuh saat merekam. Ketika temannya bekerja, Sabir masih memainkan butir-butir pasir. Batil menggerak-gerakkan arah kamera pada ponselnya.

Keesokan hari -- setelah mengunggah konten semalam -- Batil tercengang. Bunyi pemberitahuan dari media sosialnya terus berdengung. Banyak tombol suka ditekan. Komentar berdatangan.

Apa mereka masih suka senja itu? Apakah guratan-guratan merah keunguan di ufuk barat masih menarik? Apakah matahari yang tampak setengah tenggelam di garis laut masih punya daya pikat? Batil melongo melihat komentar-komentarnya.

"Kasihan sekali dia."

"Kayak kurang kerjaan."

"Ada masalah apa, Bang. Cerita sini."

"Sudah sampai berapa hitungnya?"

"Sampai kiamat ya gak kelar-kelar, Pak."

Beruntun komentar terlihat membahas hal yang sama. Semakin banyak lagi komentar timbul. Beberapa baru diketik. Mereka sepakat melihat ada yang aneh. Ya, Sabir terekam dengan tak sengaja, memindahkan butir-butir pasir. Mulutnya dengan jelas tampak komat-kamit, yang agaknya ditangkap para penonton sedang menghitung.

Makin ke sini, unggahan konten soal pantai itu kian viral. Sabir terkenal. Tak ada orang waras yang dengan sengaja menghitung butir-butir pasir. Bukankah itu pekerjaan sia-sia? Tapi, yang sia-sia pun, ada yang menonton.

Apakah mereka sudah capai melihat konten-konten bermanfaat? Apakah mereka lelah dengan konten-konten yang itu-itu saja? Apakah saking terlalu lelah, yang sia-sia kadang dianggap sebagai hiburan?

Batil dan Jambir masa bodoh. Yang penting, kontennya laris manis. Jempol dan komentar terus berhamburan. Teruslah orang bertanya-tanya dalam komentar, membicarakan si Sabir yang tampak menghitung butir-butir pasir.

Seiring tambahnya jumlah penonton, iklan berdatangan. Sesekali Batil di akhir videonya mengajak penonton untuk memberi like, subscribe, share, pun comment. Bagi sebagian orang, ada yang menganggapnya sedang mengemis online.

Pundi-pundi mulai terisi. Sabir sebagai model konten kian terkenal. Adalah orang di dunia ini yang merelakan waktunya dengan sengaja untuk menghitung butir-butir pasir. Siapa lagi kalau bukan Sabir.

Masih ada lagi kontennya yang dipandang sebagian orang tampak sia-sia -- Sabir mau melakukan sekadar mengabulkan permintaan teman-temannya -- seperti: menghitung butir beras, menghitung jumlah bintang di langit, memisahkan garam dan gula yang sudah dicampur, pun semacamnya, yang agaknya mulai diikuti oleh para pembuat konten kreator lainnya.

Bagi Batil dan Jambir, memanglah teringat pesan orangtua mereka untuk hidup bermanfaat di dunia. Namun, selama hidup, tidaklah selalu harus jadi manfaat, bukan? Benar memang, keindahan alam bisa membuat otak rileks dan memuaskan keinginan mata. Banyak filosofi bisa diambil dari kehidupan alam. 

Tapi, kadangkala bertindak bodoh juga bisa mendatangkan hiburan, barangkali lantaran kelelahan untuk dituntut bermanfaat sudah memuncak. Atau, itu memang dipandang sebagai sebuah ide kreatif yang belum pernah dilakukan orang-orang?

Begitulah ceritanya dan semakin ke sini, konten-konten yang dianggap sebagian orang tak bermanfaat mulai banyak. Batil dan Jambir menyilakan orang-orang berkomentar sesuai cara pandang masing-masing. 

Yang pasti, bagi sebagian lainnya, konten-konten itu menarik untuk ditonton. Sekali lagi, masih misteri, apa yang menjadi motif untuk menontonnya. Semisteri itu pulalah, alasan sebenarnya Sabir yang tiba-tiba memindahkan butir-butir pasir.

...

Jakarta,

25 Januari 2023

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun