Mereka merambati seprai yang tergeletak tidak karuan. Mereka naik ke celana jin bapak yang sudah sobek-sobek, terus berjalan di atas kemeja bapak yang penuh noda dan begitu kotor, sampai tiba di rambutnya di dekat telinga. Bapak masih mendengkur pulas.
Satu per satu mereka masuk ke lubang telinga kiri bapak. Semut itu merangsek masuk ke dalam, satu, dua, tiga, sepuluh, bahkan seluruh rombongan sudah masuk ke dalam.
Bapak terbangun. Ia bangkit dari tempat tidur. Ia meronta-ronta seperti kesakitan. Ia memiringkan kepala. Ia memukul-mukulkan tangan ke sisi kanan kepala. Ia berteriak kencang.
"Tolong-tolong!"
Ibu masih di dapur. Ia mengenakan alat pendengar untuk menikmati musik, mengobati hati yang luka karena ucapan bapak. Bapak terjatuh ke lantai. Ia menggeliat. Ia menggesek-gesekkan tangan ke telinga. Masih terdengar raungan. Aku menyaksikan dari balik pintu.
Aku berharap semut-semut itu sukses masuk ke dalam kepala bapak. Aku berharap semut-semut itu menemukan otaknya, lantas secara serempak mereka berseru kencang-kencang, "Kalau mau makan, kerja! Jangan malas-malasan!"
...
Jakarta
23 September 2021
Sang Babu Rakyat