Mohon tunggu...
Y. Edward Horas S.
Y. Edward Horas S. Mohon Tunggu... Penulis - Pendiri Cerpen Sastra Grup (cerpensastragrup.com)

Nomine Terbaik Fiksi (Penghargaan Kompasiana 2021). Peraih Artikel Terfavorit (Kompetisi Aparatur Menulis 2020). Pernah menulis opini di KompasTV. Kontributor tulisan dalam buku Pelangi Budaya dan Insan Nusantara. Pendiri Sayembara Menulis Cerpen IG (@cerpen_sastra), Pendiri Perkumpulan Pencinta Cerpen di Kompasiana (@pulpenkompasiana), Pendiri Komunitas Kompasianer Jakarta (@kopaja71), Pendiri Lomba Membaca Cerpen di IG (@lombabacacerpen), Pendiri Cerita Indonesia di Kompasiana (@indosiana_), Pendiri Tip Menulis Cerpen (@tipmenuliscerpen), Pendiri Pemuja Kebijaksanaan (@petikanbijak), dan Pendiri Tempat Candaan Remeh-temeh (@kelakarbapak). Enam buku antologi cerpennya: Rahimku Masih Kosong (terbaru) (Guepedia, 2021), Juang (YPTD, 2020), Kucing Kakak (Guepedia, 2021), Tiga Rahasia pada Suatu Malam Menjelang Pernikahan (Guepedia, 2021), Dua Jempol Kaki di Bawah Gorden (Guepedia, 2021), dan Pelajaran Malam Pertama (Guepedia, 2021). Satu buku antologi puisi: Coretan Sajak Si Pengarang pada Suatu Masa (Guepedia, 2021). Dua buku tip: Praktik Mudah Menulis Cerpen (Guepedia, 2021) dan Praktik Mudah Menulis Cerpen (Bagian 2) (Guepedia, 2021).

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen: Semut-Semut di Kamar Bapak

23 September 2021   03:46 Diperbarui: 23 September 2021   10:58 614
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Aku boleh minta bantuanmu?"

"Apa?"

Seusai menyampaikan permintaan, aku lekas-lekas mematikan sakelar. Tanpa terasa perbincangan kami berlangsung begitu lama. Jam dinding menunjukkan pukul setengah empat. Sebentar lagi bapak datang. Sebentar lagi ada sentakan. Sebentar lagi ada tangisan. Kapankah sekali saja bisa kulihat ibu bahagia?

Dalam umurnya yang empat puluh tahun itu, badannya sudah terlihat sangat tua. Punggungnya membungkuk. Keriput tidak hanya di tangan, menjalar pula ke wajahnya yang masih meninggalkan kecantikan masa muda. 

Barangkali ibu tidak habis pikir dan terus kepikiran, mengapa hidup begitu berat? Apa salahnya sampai-sampai punya suami begitu malas? Mengapa pula suaminya suka marah-marah?

Ingin sekali ibu meminta cerai, tetapi demi nama baik keluarga, ibu menahannya. Ia tidak mau menjelekkan dan memalukan kedua orangtuanya di kampung. 

Terdengar suara derit pintu. Ada suara langkah sepatu. Aku membuka sedikit pintu kamar. Terlihat bapak berjalan terhuyung. Bau mulutnya kembali menyeruak. Aku menutup kedua lubang hidungku dengan tangan.

"Hei, bangun! Sudah jam berapa ini?" bapak kembali menyentak. Ibu yang masih mengenakan selimut bergeser, beringsut, lantas turun dari tempat tidur.

"Kerja sana!"

Ibu tidak menjawab. Ibu pergi ke dapur. Kembali sempat kulihat matanya memerah. Bapak sudah membaringkan diri ke atas kasur. Rambutnya yang gondrong begitu bau.

Dari sela-sela pintu, rombongan semut itu berjalan. Mereka beriringan rapi, panjang sekali, masuk ke kamar bapak lewat sela pintu yang telah sedikit terbuka karena ibu keluar. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun