"Aku boleh minta bantuanmu?"
"Apa?"
Seusai menyampaikan permintaan, aku lekas-lekas mematikan sakelar. Tanpa terasa perbincangan kami berlangsung begitu lama. Jam dinding menunjukkan pukul setengah empat. Sebentar lagi bapak datang. Sebentar lagi ada sentakan. Sebentar lagi ada tangisan. Kapankah sekali saja bisa kulihat ibu bahagia?
Dalam umurnya yang empat puluh tahun itu, badannya sudah terlihat sangat tua. Punggungnya membungkuk. Keriput tidak hanya di tangan, menjalar pula ke wajahnya yang masih meninggalkan kecantikan masa muda.Â
Barangkali ibu tidak habis pikir dan terus kepikiran, mengapa hidup begitu berat? Apa salahnya sampai-sampai punya suami begitu malas? Mengapa pula suaminya suka marah-marah?
Ingin sekali ibu meminta cerai, tetapi demi nama baik keluarga, ibu menahannya. Ia tidak mau menjelekkan dan memalukan kedua orangtuanya di kampung.Â
Terdengar suara derit pintu. Ada suara langkah sepatu. Aku membuka sedikit pintu kamar. Terlihat bapak berjalan terhuyung. Bau mulutnya kembali menyeruak. Aku menutup kedua lubang hidungku dengan tangan.
"Hei, bangun! Sudah jam berapa ini?" bapak kembali menyentak. Ibu yang masih mengenakan selimut bergeser, beringsut, lantas turun dari tempat tidur.
"Kerja sana!"
Ibu tidak menjawab. Ibu pergi ke dapur. Kembali sempat kulihat matanya memerah. Bapak sudah membaringkan diri ke atas kasur. Rambutnya yang gondrong begitu bau.
Dari sela-sela pintu, rombongan semut itu berjalan. Mereka beriringan rapi, panjang sekali, masuk ke kamar bapak lewat sela pintu yang telah sedikit terbuka karena ibu keluar.Â