Setelah menyentak ibu, bapak begitu saja membaringkan diri. Terdengar suara dengkuran begitu keras. Ibu lantas pergi ke dapur, menjalankan rutinitasnya seperti biasa.Â
Sesekali, waktu aku sengaja ke kamar mandi, sempat kulihat mata ibu memerah. Kuintip lagi ke dapur, matanya sudah basah. Air matanya jatuh ke plastik bening pembungkus roti itu. Lantas ia menyekanya. Ada suara tangis lamat-lamat.
"Kamu ngapain cari makan terus?" tanyaku pada salah satu semut. Aku tidak bisa tidur. Aku melangkah menuju sakelar, menekannya, dan lampu kembali menyala. Aku menutup pintu rapat-rapat, berharap ibu tidak tahu aku bangun lagi.
Semut itu naik ke bangku kecil, mendekatiku yang sedang jongkok. Semut itu mengeluarkan suara.
"Kami harus rajin bekerja."
"Buat apa kamu rajin bekerja sampai tidak kenal waktu? Kamu tidak capek setiap hari cari makan?"
Semut itu menggerakkan kedua tangan imutnya, menggesek-gesekkannya ke arah mulut, seperti sedang menggaruk. Barangkali pula sedang membersihkan sesuatu yang menempel di mulut.
"Kami bekerja karena tidak tahu apa yang akan terjadi nanti. Setidaknya, kalau musim dingin tiba dan tidak ada lagi sumber makanan, kami masih punya cadangan di sarang. Jadi, kami tidak kerepotan mencari makan," jawab semut itu. Ia masih menggesekkan tangan ke mulut.
"Oh iya, terima kasih ya, telah menolongku tadi!" kata semut itu lagi.
Aku terkagum. Hewan sekecil itu di depanku tahu bagaimana caranya mempertahankan hidup. Tahu bahwa hidup harus bekerja dengan rajin. Tahu bahwa makanan harus dicari, tidak jatuh dari langit.
Seketika pun aku kecewa setelah mengingat bapak. Orang yang tidak tahu diri dalam keluarga kami. Kerjaannya tidur sepanjang hari. Keluar setiap malam, entah dengan siapa, lantas terus saja begitu, pulang subuh dan memarahi ibu.