Lama-kelamaan kupikir pertanyaan yang terakhir itu sedikit janggal. Kurasa tidak hanya semut yang selalu cari makan. Semua makhluk di dunia ini juga sedang berupaya cari makan, mencukupi kebutuhan perutnya. Bekerja siang dan malam agar bisa bertahan hidup, setidaknya tidak lapar.
"Kamu belum tidur, Nak?" ucap ibu yang tiba-tiba mengagetkanku. Ibu muncul dan mengintip dari sela pintu yang sudah kututup, tetapi sedikit terbuka.
"Sebentar lagi, Bu," jawabku seraya merebahkan diri ke atas kasur. Ibu memasukkan tangannya lewat sela pintu ke arah sakelar putih di dinding. Ia menekannya. Kamar langsung gelap.Â
"Selamat tidur, Nak."
"Selamat tidur juga, Bu."
Ibu. Kurasa tidak ada orang yang bisa menyanggah betapa pahlawan ibu bagi anaknya. Apalagi di keluarga kami, entah bagaimana nasibku jika tidak ada ibu.
Pukul empat pagi ibu sudah bangun. Lantas ia pergi ke dapur, membuka adonan roti yang sudah didiamkan sejak semalam, memotong kecil-kecil sesuai ukuran, dan memanggangnya sampai berwarna kuning kecokelatan.
Tangannya yang sedikit keriput dengan tangkas merapikan roti-roti bolu kecil itu ke dalam plastik putih bening dan meletakkannya di atas nampan. Sebelum ia pergi menjajakan ke warung-warung terdekat, ibu selalu menyempatkan menyiapkan sarapan untuk aku dan bapak.Â
Ya, bapak yang baru bangun pukul sepuluh pagi. Bapak yang setiap malam pergi entah ke mana, pulang subuh dengan mulut yang berbau menyengat, menyeruak ke seluruh ruangan. Aku yang sudah tidur sempat terbangun karena bau yang begitu memusingkan kepala.
Saat itu, dalam kondisi sedikit tidak sadar, aku mendengar suara sentakan bapak di dalam kamarnya.
"Bangun, kamu! Sudah jam berapa ini? Kerja sana!"