Mohon tunggu...
Y. Edward Horas S.
Y. Edward Horas S. Mohon Tunggu... Penulis - Pendiri Cerpen Sastra Grup (cerpensastragrup.com)

Nomine Terbaik Fiksi (Penghargaan Kompasiana 2021). Peraih Artikel Terfavorit (Kompetisi Aparatur Menulis 2020). Pernah menulis opini di KompasTV. Kontributor tulisan dalam buku Pelangi Budaya dan Insan Nusantara. Pendiri Sayembara Menulis Cerpen IG (@cerpen_sastra), Pendiri Perkumpulan Pencinta Cerpen di Kompasiana (@pulpenkompasiana), Pendiri Komunitas Kompasianer Jakarta (@kopaja71), Pendiri Lomba Membaca Cerpen di IG (@lombabacacerpen), Pendiri Cerita Indonesia di Kompasiana (@indosiana_), Pendiri Tip Menulis Cerpen (@tipmenuliscerpen), Pendiri Pemuja Kebijaksanaan (@petikanbijak), dan Pendiri Tempat Candaan Remeh-temeh (@kelakarbapak). Enam buku antologi cerpennya: Rahimku Masih Kosong (terbaru) (Guepedia, 2021), Juang (YPTD, 2020), Kucing Kakak (Guepedia, 2021), Tiga Rahasia pada Suatu Malam Menjelang Pernikahan (Guepedia, 2021), Dua Jempol Kaki di Bawah Gorden (Guepedia, 2021), dan Pelajaran Malam Pertama (Guepedia, 2021). Satu buku antologi puisi: Coretan Sajak Si Pengarang pada Suatu Masa (Guepedia, 2021). Dua buku tip: Praktik Mudah Menulis Cerpen (Guepedia, 2021) dan Praktik Mudah Menulis Cerpen (Bagian 2) (Guepedia, 2021).

Selanjutnya

Tutup

Hobby Pilihan

Anda Malu karena Cerpen Anda Jelek? Merapat Sini!

19 September 2021   19:22 Diperbarui: 19 September 2021   19:33 418
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi menulis cerpen, sumber: Supplied via gulfnews.com

Apa pikiran yang melanda dan perasaan yang berkecamuk ketika pertama kali atau mungkin sudah berkali-kali setelah mengunggah cerpen, Anda tidak mendapat respons positif dari pembaca?

Mungkin, tidak lulus seleksi sehingga tidak mendapat label pilihan. Lalu, tidak muncul di beranda muka sehingga tidak diketahui lebih banyak pembaca. Seterusnya setelah beberapa hari sangat sedikit pembacanya. Tidak ada pula yang memberi nilai.

Anda tiba-tiba hilang semangat, kemudian sedih, dan merasa tidak layak menulis cerpen. Itu tambah parah seusai melihat cerpen orang yang sangat berkualitas, jauh sekali dari cerpen Anda. Anda jadi minder dan tidak mau menulis cerpen lagi.

Cerpen jelek pada awal-awal menulis itu BIASA

Sebetulnya salah itu penulisan kata "biasa" di atas, tetapi sengaja saya kapitalkan semua hurufnya karena sangat penting. Di awal, sebagian besar kita kemungkinan besar belum mengerti teori menulis cerpen.

Belum tahu bagaimana kualitas cerpen yang baik. Tidak paham membuat penokohan dan menyajikan konflik yang menarik. Mungkin sekadar menulis suka-suka hati.

Curhat, tetapi tidak bermanfaat, karena setelah pembaca membaca, mereka seolah hanya mendengar saja tanpa mendapat pesan moralnya. Belum lagi soal kaidah kebahasaan, semisal tanda baca, penulisan kalimat langsung, kata baku, dan sebagainya.

Cerpen di awal menulis jika ditemukan jelek, sekali lagi saya pertegas, itu wajar. Biasa saja. Tidak perlu berkecil hati. Bacalah uraian berikut di bawah.

Kritik pada cerpen pertama saya

Saya menulis cerpen pertama kali di Kompasiana pada tanggal 7 September 2020, setahun silam, judulnya "Malu". Supaya Anda lebih paham tentang kritik saya, baiknya baca dulu cerpen itu. Berikut tautannya.

Cerpen: Malu

Judulnya "Malu". Sekarang saya benar-benar dibuat malu olehnya karena jelek. Saya tidak akan bilang kurang bagus. Dari jumlah katanya saja hanya 280 kata. Barangkali saat itu saya berpikir hendak menulis puisi, tetapi karena kepanjangan, saya ubah jadi cerpen.

Merasa lebih sedikit panjang dari puisi, saya sudah menganggap cerpen. Setelah saya tahu cerpen yang mini saja minimal 750 kata, betapa malu saya dengan cerpen itu.

Masalah kedua adalah saya tidak bisa menulis kalimat langsung di sana. Kemudian ada pula gaya berlebihan dengan membuat miring kalimat percakapan, untuk membedakan siapa yang sedang bercakap.

Materinya lebih kepada hanya curahan hati seorang perempuan sebagai istri. Konflik tidak tajam, bahkan seketika selesai dengan jawaban singkat dari suami.

Jika saya baca cerpen saya sekarang, ingin sekali saya hapus cerpen itu. Tetapi, tidak apalah, sebagai bahan pembelajaran dan bukti bahwa dulu saya tidak mengerti apa-apa soal cerpen.

Pendapat objektif

Suatu kali ada Kompasianer mampir ke salah satu cerpen saya. Beliau mengutarakan pendapatnya secara jujur dan objektif. Saya suka dan menjadikannya pelecut untuk perbaikan.

Katanya -- secara garis besar -- cerpen saya terlalu kaku. Masih belum luwes dan perlu diperbaiki soal penceritaan. Beliau memberikan pendapat itu agar ke depan, penulisan cerpen saya semakin baik.

Kalau mau dibilang kritik sastra, tentu belum layak. Memberi kritik yang tepat ada ilmunya. Sebaiknya sekolah dulu agar lebih mantap. Tetapi, kritik beliau sangat berguna dan telah mengubah cara saya menulis cerpen.

Jadi, apa pendapat saya tentang kejelekan cerpen itu?

Pertama, terima kenyataan. Sebagaimana saya ulas di atas, dengan segala kebelummengertian kita soal cerpen pada awal menulis, tentu kemungkinan besar jelek.

Kedua, buang rasa takut dan minder. Mental harus ditempa kuat seperti semangat menulis yang harus terus dijaga. Tidak perlu kita terbenam dalam perasaan malu yang berlebihan.

Ketiga, tetaplah menulis dan unggah. Perhatikan reaksi pembaca dan pelajari semua pendapat. Barangkali ada yang terasa tajam dan mengupas sangat dalam, patutlah kita bersyukur. Berarti cerpen kita dibaca benar dan diteliti olehnya.

Keempat, seiring penulisan cerpen berikutnya, giatlah belajar dari cerpen yang berkualitas. Kalau mau standarnya meningkat, tentu kita belajar dari pengarang yang sudah mendapat pengakuan.

Terakhir, jangan lupa perbandingkan. Pada penulisan cerpen yang ke sekian, tengoklah dan bandingkan dengan cerpen pertama. Apakah ada perbedaan dan perubahan yang lebih baik? Apakah jumlah kata semakin meningkat? Apakah konflik semakin tajam dan menarik? Apakah akhir cerita semakin sulit ditebak?

Perbandingan itu berguna untuk menilai seberapa jauh kita sudah maju. Seberapa berhasil kita menyerap apa yang dipelajari. Seberapa berubah cara kita dalam menulis cerpen.

Akhirnya...

Kita tentu berharap, semakin berganti hari, semakin baik pula kualitas cerpen kita. Apa yang terjadi pertama kali begitulah adanya dan kita tidak mau itu terulang kembali sekarang. Tetaplah menulis sembari giat belajar. Saya sudah buktikan dan alami sendiri.

Tulisan ini bukan berarti cerpen saya paling bagus di antara cerpen Anda. Tetapi, cerpen saya sekarang lebih bagus daripada yang pertama kali. Yang jelek itu. Anda juga mau bukan, seperti demikian? 

...

Jakarta

19 September 2021

Sang Babu Rakyat

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hobby Selengkapnya
Lihat Hobby Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun