Judulnya "Malu". Sekarang saya benar-benar dibuat malu olehnya karena jelek. Saya tidak akan bilang kurang bagus. Dari jumlah katanya saja hanya 280 kata. Barangkali saat itu saya berpikir hendak menulis puisi, tetapi karena kepanjangan, saya ubah jadi cerpen.
Merasa lebih sedikit panjang dari puisi, saya sudah menganggap cerpen. Setelah saya tahu cerpen yang mini saja minimal 750 kata, betapa malu saya dengan cerpen itu.
Masalah kedua adalah saya tidak bisa menulis kalimat langsung di sana. Kemudian ada pula gaya berlebihan dengan membuat miring kalimat percakapan, untuk membedakan siapa yang sedang bercakap.
Materinya lebih kepada hanya curahan hati seorang perempuan sebagai istri. Konflik tidak tajam, bahkan seketika selesai dengan jawaban singkat dari suami.
Jika saya baca cerpen saya sekarang, ingin sekali saya hapus cerpen itu. Tetapi, tidak apalah, sebagai bahan pembelajaran dan bukti bahwa dulu saya tidak mengerti apa-apa soal cerpen.
Pendapat objektif
Suatu kali ada Kompasianer mampir ke salah satu cerpen saya. Beliau mengutarakan pendapatnya secara jujur dan objektif. Saya suka dan menjadikannya pelecut untuk perbaikan.
Katanya -- secara garis besar -- cerpen saya terlalu kaku. Masih belum luwes dan perlu diperbaiki soal penceritaan. Beliau memberikan pendapat itu agar ke depan, penulisan cerpen saya semakin baik.
Kalau mau dibilang kritik sastra, tentu belum layak. Memberi kritik yang tepat ada ilmunya. Sebaiknya sekolah dulu agar lebih mantap. Tetapi, kritik beliau sangat berguna dan telah mengubah cara saya menulis cerpen.
Jadi, apa pendapat saya tentang kejelekan cerpen itu?
Pertama, terima kenyataan. Sebagaimana saya ulas di atas, dengan segala kebelummengertian kita soal cerpen pada awal menulis, tentu kemungkinan besar jelek.