Mohon tunggu...
Y. Edward Horas S.
Y. Edward Horas S. Mohon Tunggu... Penulis - Pendiri Cerpen Sastra Grup (cerpensastragrup.com)

Nomine Terbaik Fiksi (Penghargaan Kompasiana 2021). Peraih Artikel Terfavorit (Kompetisi Aparatur Menulis 2020). Pernah menulis opini di KompasTV. Kontributor tulisan dalam buku Pelangi Budaya dan Insan Nusantara. Pendiri Sayembara Menulis Cerpen IG (@cerpen_sastra), Pendiri Perkumpulan Pencinta Cerpen di Kompasiana (@pulpenkompasiana), Pendiri Komunitas Kompasianer Jakarta (@kopaja71), Pendiri Lomba Membaca Cerpen di IG (@lombabacacerpen), Pendiri Cerita Indonesia di Kompasiana (@indosiana_), Pendiri Tip Menulis Cerpen (@tipmenuliscerpen), Pendiri Pemuja Kebijaksanaan (@petikanbijak), dan Pendiri Tempat Candaan Remeh-temeh (@kelakarbapak). Enam buku antologi cerpennya: Rahimku Masih Kosong (terbaru) (Guepedia, 2021), Juang (YPTD, 2020), Kucing Kakak (Guepedia, 2021), Tiga Rahasia pada Suatu Malam Menjelang Pernikahan (Guepedia, 2021), Dua Jempol Kaki di Bawah Gorden (Guepedia, 2021), dan Pelajaran Malam Pertama (Guepedia, 2021). Satu buku antologi puisi: Coretan Sajak Si Pengarang pada Suatu Masa (Guepedia, 2021). Dua buku tip: Praktik Mudah Menulis Cerpen (Guepedia, 2021) dan Praktik Mudah Menulis Cerpen (Bagian 2) (Guepedia, 2021).

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen: Pawai Kartinian Anakku

17 September 2021   17:09 Diperbarui: 17 September 2021   17:42 315
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Pawai Kartinian, sumber: antarafoto.com

Matahari belum menunjukkan batang hidungnya, tetapi anak-anak kecil terutama perempuan sudah sibuk menggunakan hidungnya, membaui bedak-bedak putih yang tertabur di seluruh pipi. Sebagian memakaikan lipstik merah merona pada bibir mungil mereka. 

Ada yang mengenakan sanggul besar dan tebal di bagian belakang kepala, dikencangkan lewat beberapa tusuk konde dan dihias dengan sebuah mahkota dari kuningan yang mengilat begitu kuning berbentuk bando bertakhtakan kristal bening buatan.

Bagi yang sudah selesai berias, masing-masing memilih satu pakaian adat khas daerah tertentu yang terpajang rapi di lemari pakaian di sudut ruangan. Pakaian itu pasti sudah dipesan dan disewa oleh ibu mereka pada pemilik salon jauh-jauh hari.

Dengan kemayu, seorang anak gadis kecil berlenggak-lenggok di depan cermin. Jari-jemarinya yang lentik ia ayunkan perlahan, memperlihatkan warna kuteksnya yang merah muda. 

Ia memandang dirinya sejenak pada cermin. Lekukan bibirnya mengembang, merekah sempurna. Wajahnya penuh sukacita. Ia begitu bersemangat. Ia melempar senyum pada seorang wanita yang terlihat di cermin sedang duduk tidak jauh darinya. 

Wanita itu mendadak berdiri, membuka tas, mengambil dompet, menyerahkan beberapa lembar uang kepada pemilik salon sebagai pertanda bahwa pakaian adat yang dikenakan anaknya sudah lunas dan bebas digunakan seharian penuh. 

Ya, anak gadis kecil itu akan bertemu banyak teman dari berbagai sekolah, baik yang sepantaran dengannya maupun yang lebih senior, dari pagi sampai sore. Mulai dari TK, SD, SMP, hingga SMA, semua berhamburan di jalanan, berarak-arakan membentuk barisan pawai di tengah pusat kota, untuk meramaikan peringatan hari pahlawan emansipasi wanita kebanggaan, Raden Ajeng Kartini.

Secara serempak, mereka akan berjalan mengelilingi jalan-jalan utama, memamerkan busana adat Nusantara, dan berfoto bersama sebagai kenang-kenangan yang selalu saja berhasil menghangatkan hati jika diingat kembali.  

Aku masih terduduk di ruang tamu. Foto-foto itu kubuka kembali di album yang tersimpan di lemari. Terkadang, ketika hatiku sedang gundah, membuka lagi memori dan kenangan manis masa lalu adalah obat yang paling manjur.

Ya, siapa istri yang tidak susah ketika suaminya dipecat begitu saja dari tempat bekerja? Baru semalam, berita buruk itu sampai di telingaku. Secara samar, aku bisa mendengarnya dari mulut suamiku yang berbau miras, yang setelah membuka pintu rumah, ia berjalan sedikit terhuyung, menjatuhkan tubuhnya di atas kasur lantas berbicara seperti mengigau.

Berbeda denganku, ia akan mencari penghiburan dengan menghabiskan sedikit uang membeli minuman keras. Awalnya aku tidak setuju, tetapi selama ia pergi bersama Manto -- yang adalah teman dekatku -- aku tidak khawatir ia akan mabuk. Aku selalu berpesan pada Manto untuk menjaganya. Meskipun minum, jangan sampai hilang kesadaran.

Sebagai seorang istri, aku harus kuat pada saat suamiku terpuruk. Kami sudah berjanji di pelaminan untuk sehidup semati, saat muda sampai tua, saat senang dan susah, sampai saat di mana kami terpisah gara-gara maut sudah datang.

Sangat berat kuakui untuk tetap memasang senyum di depannya. Tetap berusaha berpura-pura menegarkan hati, memandang semua akan baik-baik saja, meskipun mulut ini tidak sanggup berucap sepatah kata pun kata-kata semangat. 

Di atas meja makan tinggal tersisa nasi. Lauk kemarin sore sudah habis dimakan pagi tadi. Besok kontrakan rumah harus dibayar. Tagihan pengobatan ibu di kampung lusa wajib dikirim. Tidak ada lagi yang tersisa di tabungan. Anak gadisku yang berumur sepuluh tahun masih saja merengek.

"Bu...," ia mendekat dan menggelayuti dasterku, "Minah jadi ikut, tidak, Bu?" katanya dengan suara memohon. Matanya memerah, sejak kemarin sudah merah, sampai sekarang pun tepat di depanku masih merah. 

Sepertinya ia tidak habis bertangis-tangisan di kamar semalaman. Aku memang belum mengiyakan permintaannya. Entah kenapa aku punya firasat buruk mulai kemarin, sejak suamiku tidak memberi salam ketika meninggalkan rumah waktu berangkat kerja.

"Teman-teman sudah pada ikut, lho, Bu. Tinggal Minah yang belum daftar. Bu guru Surti sudah telepon tadi. Minah boleh ikut, ya, Bu?" Ia memohon lagi. Kali ini tambah merengek.

Aku mengambil napas panjang. Terkadang aku tidak pernah mengerti, mengapa suatu kali, masalah bisa datang bertubi-tubi. Yang satu belum selesai, yang lain berdatangan. Tambah parah dan lebih parah jika harus dihadapi sendirian.

Aku tidak bisa bergantung lagi pada suamiku. Ia sudah jadi pengangguran sekarang. Dompetnya pun sempat kulihat, kosong melompong, hanya berisi kartu nama lawas yang tentu tidak berlaku lagi sejak ia dipecat.

Dua hari lagi pawai Kartinian akan diselenggarakan. Guru dari sekolah anakku sudah mengingatkan untuk lekas-lekas mendaftar. Memang, jika tidak cepat, pasti kesulitan mencari pakaian adat daerah di salon-salon sekitar. 

Pakaian itu jumlahnya terbatas, tidak seimbang dengan jumlah murid yang ada di seluruh kota. Semua berlomba memesan jauh-jauh hari. Jika kehabisan, stok pakaian dari luar kota terpaksa didatangkan, itu pun harus lebih lama lagi menunggu, yang tentu memesannya lebih lama pula.

Aku menengok dompetku. Tidak berapa lama, aku membuka buku tabungan. Pikiranku melayang sejenak. Apa yang bisa kupakai untuk membayar uang sewa pakaian adat anakku?

Minah sekarang menangis di dalam kamar. Suara isaknya terdengar kencang. Ia tentu ingin sekali ikut pawai. Ia ingin sekali bertemu teman-temannya dari seluruh sekolah. Aku pun tidak kalah ingin membuatnya senang. Tetapi, apa daya?

Masakkah aku harus memakai dulu uang obat untuk ibu? Bagaimana nanti pengobatan ibu? Tidak mungkin pula aku tidak bayar kontrakan. Bisa diusir kami dari rumah ini.

Aku kembali memandang foto di album itu. Aku melihat wajah ibuku yang senang melihatku bergaya di depan cermin. Aku melihat ibuku tersenyum seusai aku berdandan. 

Aku ingin seperti ibuku. Aku ingin lihat anakku sepertiku di foto itu. Air mataku mengalir. Aku tidak kuasa membohongi kesedihan ini. Aku tidak mampu memberikan senyum palsu lagi.

Tiba-tiba suamiku terbangun setelah tidur seharian. Ia mendekat.

"Kenapa, dek?" tanyanya. Tangannya membelai pundakku. 

"Minah, Mas. Minah."

"Oh, soal pawai itu?"

Aku menunduk. Ia terdiam. Malam itu, hening sekali. Suara tangis Minah bertambah jelas. Aku benar-benar tidak tahu apa yang terjadi besok. Aku meletakkan kepalaku di bahu suamiku. Terdengar suara telepon berdering.

Kini aku kembali membuka album itu. Aku mencari bingkai-bingkai plastik yang masih kosong, lantas memasukkan beberapa foto baru di dalamnya.

Di sana, tampak Minah sedang tersenyum bahagia. Aku melihatnya cantik sekali memakai kebaya hitam itu. Ia berjalan dengan anggun, melenggak-lenggokkan tubuhnya, memakai mahkota kuningan yang begitu mengilat dan sesekali melemparkan senyum kepadaku.

Aku tidak mengira, ternyata malam itu kakakku menelepon. Entah, seperti Yang Kuasa sedang mendengar kesedihan kami, kakakku bilang bahwa mulai besok ia yang menanggung seluruh biaya pengobatan ibu. Betapa aku sangat bersyukur, uang pengobatan ibu tidak jadi kami pakai.

Tidak apa, masih nasi yang tertinggal di atas meja. Tidak apa, tidak ada lauk yang bisa kami makan. Semua tergantikan dengan senyuman Minah.

...

Jakarta 

17 September 2021

Sang Babu Rakyat

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun