Mohon tunggu...
Y. Edward Horas S.
Y. Edward Horas S. Mohon Tunggu... Penulis - Cerpenis.

Nomine Terbaik Fiksi (Penghargaan Kompasiana 2021). Peraih Artikel Terfavorit (Kompetisi Aparatur Menulis 2020). Pernah menulis opini di KompasTV. Kontributor tulisan dalam buku Pelangi Budaya dan Insan Nusantara. Pendiri Sayembara Menulis Cerpen IG @cerpen_sastra, Pendiri Perkumpulan Pencinta Cerpen (Pulpen) Kompasiana, Pendiri Komunitas Kompasianer Jakarta (Kopaja71), Pendiri Lomba Membaca Cerpen di IG (@lombabacacerpen), dan Pendiri Cerita Indonesia di Kompasiana (Indosiana). Enam buku antologi cerpennya: Rahimku Masih Kosong (terbaru) (Guepedia, 2021), Juang (YPTD, 2020), Kucing Kakak (Guepedia, 2021), Tiga Rahasia pada Suatu Malam Menjelang Pernikahan (Guepedia, 2021), Dua Jempol Kaki di Bawah Gorden (Guepedia, 2021), dan Pelajaran Malam Pertama (Guepedia, 2021). Satu buku antologi puisi: Coretan Sajak Si Pengarang pada Suatu Masa (Guepedia, 2021). Dua buku tip: Praktik Mudah Menulis Cerpen (Guepedia, 2021) dan Praktik Mudah Menulis Cerpen (Bagian 2) (Guepedia, 2021).

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen: Pawai Kartinian Anakku

17 September 2021   17:09 Diperbarui: 17 September 2021   17:42 315
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Pawai Kartinian, sumber: antarafoto.com

Minah sekarang menangis di dalam kamar. Suara isaknya terdengar kencang. Ia tentu ingin sekali ikut pawai. Ia ingin sekali bertemu teman-temannya dari seluruh sekolah. Aku pun tidak kalah ingin membuatnya senang. Tetapi, apa daya?

Masakkah aku harus memakai dulu uang obat untuk ibu? Bagaimana nanti pengobatan ibu? Tidak mungkin pula aku tidak bayar kontrakan. Bisa diusir kami dari rumah ini.

Aku kembali memandang foto di album itu. Aku melihat wajah ibuku yang senang melihatku bergaya di depan cermin. Aku melihat ibuku tersenyum seusai aku berdandan. 

Aku ingin seperti ibuku. Aku ingin lihat anakku sepertiku di foto itu. Air mataku mengalir. Aku tidak kuasa membohongi kesedihan ini. Aku tidak mampu memberikan senyum palsu lagi.

Tiba-tiba suamiku terbangun setelah tidur seharian. Ia mendekat.

"Kenapa, dek?" tanyanya. Tangannya membelai pundakku. 

"Minah, Mas. Minah."

"Oh, soal pawai itu?"

Aku menunduk. Ia terdiam. Malam itu, hening sekali. Suara tangis Minah bertambah jelas. Aku benar-benar tidak tahu apa yang terjadi besok. Aku meletakkan kepalaku di bahu suamiku. Terdengar suara telepon berdering.

Kini aku kembali membuka album itu. Aku mencari bingkai-bingkai plastik yang masih kosong, lantas memasukkan beberapa foto baru di dalamnya.

Di sana, tampak Minah sedang tersenyum bahagia. Aku melihatnya cantik sekali memakai kebaya hitam itu. Ia berjalan dengan anggun, melenggak-lenggokkan tubuhnya, memakai mahkota kuningan yang begitu mengilat dan sesekali melemparkan senyum kepadaku.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun