"Ini lidah penipu, Pak. Orang yang punya lidah ini, suka menipu. Dia kerap mengelabui orang-orang. Contohnya, dia suka bohong, janji mau bayar utang, tapi hilang saja entah ke mana. Sudah banyak orang stres dibuatnya."
"Bapak lihat, pori-pori putih ini berkelok-kelok zig zag? Seperti itulah, Pak. Suka berbohong dia. Tidak lurus hidupnya."
Saya mendengarkannya baik-baik.
"Wah, gak boleh, Pak. Kita gak boleh menipu. Kasihan orang-orang kalau kena tipu. Kita harus memperlakukan orang baik-baik," kata saya.
Sahabat saya tersenyum. Dia betul-betul seperti melihat saya lima tahun lalu, sebelum kami berpisah. Sama sekali tidak berubah. Suka menyemangati dan mengajak orang berbuat baik.
"Kalau yang ini, Pak?" tanya saya sambil menunjuk sebuah lidah di ujung meja. Lidah itu berwarna hitam pekat. Tidak ada pori-pori putih di permukaannya. Seluruh bagian lidah itu benar-benar gelap.
"Kalau ini, lidah pembunuh."
"Maksudnya, orang yang menghabisi nyawa orang?"
"Bukan, Pak. Bukan!"
"Lantas?"
"Lidah ini suka meremehkan orang, Pak. Merendahkan orang-orang. Menjelek-jelekkan dan mematikan semangat hidup orang. Terkadang, lidah ini suka berkata kotor. Tidak sopan dan begitu menyakiti orang. Setiap orang yang mendengarnya, entah mengapa semangat hidupnya bisa hilang."Â