Mohon tunggu...
Y. Edward Horas S.
Y. Edward Horas S. Mohon Tunggu... Penulis - Pendiri Cerpen Sastra Grup (cerpensastragrup.com)

Nomine Terbaik Fiksi (Penghargaan Kompasiana 2021). Peraih Artikel Terfavorit (Kompetisi Aparatur Menulis 2020). Pernah menulis opini di KompasTV. Kontributor tulisan dalam buku Pelangi Budaya dan Insan Nusantara. Pendiri Sayembara Menulis Cerpen IG (@cerpen_sastra), Pendiri Perkumpulan Pencinta Cerpen di Kompasiana (@pulpenkompasiana), Pendiri Komunitas Kompasianer Jakarta (@kopaja71), Pendiri Lomba Membaca Cerpen di IG (@lombabacacerpen), Pendiri Cerita Indonesia di Kompasiana (@indosiana_), Pendiri Tip Menulis Cerpen (@tipmenuliscerpen), Pendiri Pemuja Kebijaksanaan (@petikanbijak), dan Pendiri Tempat Candaan Remeh-temeh (@kelakarbapak). Enam buku antologi cerpennya: Rahimku Masih Kosong (terbaru) (Guepedia, 2021), Juang (YPTD, 2020), Kucing Kakak (Guepedia, 2021), Tiga Rahasia pada Suatu Malam Menjelang Pernikahan (Guepedia, 2021), Dua Jempol Kaki di Bawah Gorden (Guepedia, 2021), dan Pelajaran Malam Pertama (Guepedia, 2021). Satu buku antologi puisi: Coretan Sajak Si Pengarang pada Suatu Masa (Guepedia, 2021). Dua buku tip: Praktik Mudah Menulis Cerpen (Guepedia, 2021) dan Praktik Mudah Menulis Cerpen (Bagian 2) (Guepedia, 2021).

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen: Restoran Lidah

11 April 2021   22:35 Diperbarui: 11 April 2021   23:06 667
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Saya tidak menyangka diajak teman saya ke restoran itu. Saya tidak menduga mengapa saya bisa dengan mudah melangkahkan kaki begitu saja mengikuti ajakannya. Apakah karena saya sudah begitu rindu bertemu dengannya, sehingga saya ingin mengulang kisah-kisah persahabatan kami dulu yang begitu dekat dan akhirnya terpisah karena dia pindah ke luar kota? Apakah hanya sebab saya orangnya tidak enakan menolak ajakan orang?

Saya memang tidak tega dan sulit mengatakan tidak pada orang. Tidak itu adalah sebuah penolakan yang sering mengecewakan. Tidak itu kata yang kerap mematahkan semangat. Saya cukup tahu betapa menyedihkan derita dalam kesendirian. Saya cukup paham bagaimana rasanya tidak ditolong orang.

"Harus tengah malam?" tanya saya pada sahabat saya itu.

Ia mengangguk. "Kita tunggu sebentar lagi ya. Tidak jauh dari sini. Paling lama seperempat jam naik motor," katanya begitu santai. Tangannya menyalakan sebuah cerutu.

Rumahnya masih sama seperti dulu. Tetap klasik, seperti rumah orang desa. Padahal dia tinggal di kota. Dia memang suka gaya sederhana. Kalau bagi saya, kuno. Saya memang sengaja bertamu jauh-jauh ke rumahnya.

Sambil membunuh waktu, kami saling bercerita. Saya begitu bersemangat mendengarkan satu demi satu ceritanya yang dia utarakan dengan begitu menarik, sampai mata saya terus memandangnya lekat. Saya bersemangat mendengarkannya. Saya tidak berkata apa-apa, sebelum dia selesai berbicara. Saya tidak ingin menyakiti hatinya. Saya tahu, pembicaraan yang disela di tengah itu menjengkelkan sebagian orang.

"Mari berangkat!"

Dia mengambil motor di garasi. Kami berdua pergi ke restoran itu. Tidak berapa lama, kami sampai. Kami turun dari motor. Kami mendekati restoran itu. Restoran itu ada di pinggir kota. Sudah banyak orang mengantre membeli.

Restoran itu tidak seberapa besar. Bagian depan ada sebuah meja panjang dengan jajaran bahan makanan yang bebas dipilih konsumen, lalu bebas pula menentukan ingin dimasak seperti apa. 

Ada dua orang mengipas-ngipas sate. Ada tiga orang menanak nasi. Ada empat orang memotong sayuran dan mempersiapkan bumbu-bumbu. Keseluruhan pegawai itu bekerja tanpa bersemangat. Tangan mereka layu dan lambat dalam mengipas. Ketika memotong bawang, pelan sekali. Mengangkat nasi pun sesekali jatuh-jatuh nasinya. Ada yang terserak di lantai.

Sejenak saya berhenti. Di depan meja itu, saya mengedipkan mata berulang-ulang. Saya tidak percaya dengan apa yang saya saksikan.

"Apa itu lidah?" tanya saya pada sahabat saya itu.

Beberapa daging tebal tak bertulang dengan pori-pori terbuka di permukaannya, berbentuk setengah lingkaran agak memanjang tergeletak begitu saja di atas meja. Pada bagian ujungnya, ada urat-urat kecil kemerah-merahan yang terserak. 

Ada seseorang menaburkan semacam bubuk seperti garam ke atas daging-daging itu. Lalu, daging-daging itu bergerak-gerak. Beberapa pembeli tersenyum. Daging-daging itu seolah-olah segar karena bergerak-gerak.

"Iya, betul. Kamu tahu dari mana itu lidah?"

"Ya tahulah, kan saya punya."

Dia tertawa. Seorang lelaki tua dengan topi hitam di kepala mendekati kami. Wajahnya kusam sekali, sangat tidak bersemangat. Tidak ada senyuman.

"Bapak mau makan yang mana?"

"Itu lidah apa, Pak?" kata saya.

"Yang ini?"

"Ya, benar. Yang itu, Pak."

Lelaki tua itu memegang lidah itu. Lidah itu berwarna cokelat tua. Ada belahan tengah di ujung lidah, seperti lidah ular. Pada permukaannya, ada pola pori-pori berkelok-kelok, yang begitu menonjol.

"Ini lidah penipu, Pak. Orang yang punya lidah ini, suka menipu. Dia kerap mengelabui orang-orang. Contohnya, dia suka bohong, janji mau bayar utang, tapi hilang saja entah ke mana. Sudah banyak orang stres dibuatnya."

"Bapak lihat, pori-pori putih ini berkelok-kelok zig zag? Seperti itulah, Pak. Suka berbohong dia. Tidak lurus hidupnya."

Saya mendengarkannya baik-baik.

"Wah, gak boleh, Pak. Kita gak boleh menipu. Kasihan orang-orang kalau kena tipu. Kita harus memperlakukan orang baik-baik," kata saya.

Sahabat saya tersenyum. Dia betul-betul seperti melihat saya lima tahun lalu, sebelum kami berpisah. Sama sekali tidak berubah. Suka menyemangati dan mengajak orang berbuat baik.

"Kalau yang ini, Pak?" tanya saya sambil menunjuk sebuah lidah di ujung meja. Lidah itu berwarna hitam pekat. Tidak ada pori-pori putih di permukaannya. Seluruh bagian lidah itu benar-benar gelap.

"Kalau ini, lidah pembunuh."

"Maksudnya, orang yang menghabisi nyawa orang?"

"Bukan, Pak. Bukan!"

"Lantas?"

"Lidah ini suka meremehkan orang, Pak. Merendahkan orang-orang. Menjelek-jelekkan dan mematikan semangat hidup orang. Terkadang, lidah ini suka berkata kotor. Tidak sopan dan begitu menyakiti orang. Setiap orang yang mendengarnya, entah mengapa semangat hidupnya bisa hilang." 

"Ada beberapa yang bunuh diri karena termakan omongannya. Mereka percaya, mereka tidak berguna. Mereka percaya, mereka tidak bisa apa-apa. Buat apa hidup kalau begitu?"

Saya menghela napas.

"Wah, jahat sekali orang itu. Tidak boleh seperti itu. Semangat adalah dasar orang untuk hidup. Bila sudah dipatahkan, ya begitu, gampang orang putus asa. Kita harus hadir menyemangati orang-orang, Pak."

Lelaki tua itu tersenyum. Dia seperti terpukau. Mungkin belum ada orang seperti saya yang datang ke restorannya.

Malam semakin larut. Terdengar desau angin. Udara begitu dingin. Beberapa toko di dekat restoran sudah tutup. Masih ada orang yang mengantre membeli.

"Atau, Bapak mau yang ini?" Lelaki tua itu mengambil sebuah lidah. Berwarna merah muda menyala, begitu segar dan menggairahkan.

"Kalau ini, lidah perayu, Pak. Yang punya suka merayu wanita. Banyak yang sudah ditidurinya. Banyak yang setelah diperkosa, ditinggalkan begitu saja. Perempuan-perempuan paling benci dengan orang berlidah ini, Pak."

"Bukan perempuan saja, Pak. Saya juga sebagai laki-laki benci. Perempuan wajib dihormati, wajib pula disemangati," kata saya.

Lelaki tua itu semakin tersenyum. Matanya yang dari awal sinarnya terus meredup, perlahan berbinar-binar. Apa energi positif saya tertular padanya?

"Kamu memang perlu datang ke sini, sahabatku. Mereka sedang butuh semangat," tukas sahabat saya.

"Apa jadinya, Pak, kalau kami makan lidah-lidah itu? Apa kami akan menjadi seperti mereka, yang punya lidah itu?" Saya tiba-tiba penasaran.

"Tenang. Kalau seperti itu, kami tidak akan jual. Sebelum dimasak, lidah-lidah ini sudah kami beri mantra-mantra, Pak. Setiap orang yang memakannya, memang punya keahlian seperti pemilik lidah. Tetapi, hanya untuk kebaikan."

"Untuk lidah penipu, ia akan mudah berpikir cerdik, mengatur siasat, dan merangkai alibi sedemikian rupa, untuk menjebak para penipu. Untuk lidah pembunuh, dia akan punya kemampuan berbicara mematahkan setiap perkataan para pembunuh yang mengeluarkan teror di mana-mana. Sementara lidah perayu, akan mudah merayu orang-orang untuk berbuat kebaikan dan menghindari kejahatan."

"Jadi, mereka yang makan lidah itu, menjadi semacam orang pemburu kejahatan dan penebar kebaikan, begitu?"

"Iya, begitu, Pak. Mereka akan membantu kami menjalankan misi ini. Kerinduan kami, hanya kebaikan yang ada di kota ini."

Misi? Apa maksudnya misi? Bukankah mereka hanya pegawai restoran? Ah, masa bodoh. Saya sudah begitu takjub dengan khasiat lidah-lidah itu. Ada makanan begitu ajaib di sini. Saya jadi tidak sabar memakan lidah-lidah itu. 

"Yang ini dimasak tongseng, Pak. Ini digoreng. Sementara ini, ditumis pedas saja."

"Baik-baik, Pak. Segera kami siapkan. Bapak silakan duduk sebentar."

Kami berdua duduk di kursi, menghadap sebuah meja panjang bertaplak merah. Lelaki tua itu membawa sepotong lidah penipu, sepotong lidah pembunuh, dan sepotong lidah perayu.

Ia pergi ke belakang restoran. Ia melewati sebuah pintu yang tertutup sehelai kain gorden hitam. Lewat jendela kaca, saya bisa melihat dapurnya. Dia begitu lihai memasak ketiga masakan itu.

Tidak berapa lama, dengan membawa piring dan mangkuk yang telah tersaji beberapa masakan, dia menghampiri kami.

"Silakan dinikmati, Pak," ujarnya.

Ada semangkuk tongseng lidah pembunuh, ada sepiring gorengan lidah penipu, dan ada sambal lidah perayu. Kami menikmatinya dengan sepiring nasi hangat, sebotol kecap, dan sambal terasi. Sekejap, piring dan mangkuk kami licin tandas.

Lelaki tua itu masih menemani kami makan. Mukanya mendadak kusam. Dia kembali tidak bersemangat seperti pertama kami menjumpainya. Setelah makan, kami mengobrol dengannya.

"Kenapa Bapak tidak semangat? Ada masalah, Pak?"

Lelaki tua itu mendeham.

"Begini, Pak. Sebetulnya kami tidak sekadar pegawai restoran. Kami pemburu kejahatan."

Saya terkesiap. Apakah ini arti misi itu?

"Lantas, apa yang membuat Bapak lemas? Ayo, semangat, Pak!"

"Begitulah, Pak. Kami sudah terus memburu para penjahat. Lidah-lidah mereka kami potong, supaya mereka jera. Agar mereka tidak bisa berbicara dengan sesama penjahat. Tetapi, tetap saja, jumlah para penipu, pembunuh, dan perayu masih banyak." 

"Kami sudah terlalu capek, mereka tidak berubah. Bahkan, beberapa kami habisi nyawanya. Terlalu banyak mereka beredar. Semakin kami berantas, ada saja pengikut mereka yang terus bertambah." 

"Pengikut-pengikut itu sudah buta, tidak bisa membedakan mana yang benar dan salah. Mereka termakan hasutan lidah-lidah bangsat itu. Semangat kami mulai pudar. Tidak ada lagi kesenangan mengenyahkan mereka dari muka bumi. Kami sempat merasa sia-sia. Mengapa kejahatan ada dan tetap ada? Kami sudah bosan."

Saya terus mendengarkannya dengan tenang.

"Tetapi, sepanjang pembicaraan kita, Pak, saya merasa ada semangat dan energi baru dari setiap ucapan Bapak. Saya selalu tertarik dan terpukau dengan begitu mudah Bapak menyemangati orang. Mungkin ini jalan terbaik saat ini. Bisakah Bapak tunggu di sini?" lanjutnya.

Saya tidak mengerti. Apa maksud ucapannya itu? Lelaki tua itu pergi ke dapur. Tidak berapa lama, ia kembali.

"Bolehkah kami minta tolong, Pak?"

"Maksud Bapak?" tanya saya.

"Demi kelanjutan pemberantasan para penjahat itu, demi semangat kami kembali lagi membara menegakkan pemusnahan kejahatan, bolehkah kami memotong lidah Bapak untuk dibagikan dan dinikmati oleh semua pegawai restoran yang sudah lesu ini?"

Bapak itu mengeluarkan sebilah belati yang disembunyikan di balik pinggangnya. Saya lari tunggang-langgang.

...

Jakarta

11 April 2021

Sang Babu Rakyat

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun