Mohon tunggu...
Y. Edward Horas S.
Y. Edward Horas S. Mohon Tunggu... Penulis - Pendiri Cerpen Sastra Grup (cerpensastragrup.com)

Nomine Terbaik Fiksi (Penghargaan Kompasiana 2021). Peraih Artikel Terfavorit (Kompetisi Aparatur Menulis 2020). Pernah menulis opini di KompasTV. Kontributor tulisan dalam buku Pelangi Budaya dan Insan Nusantara. Pendiri Sayembara Menulis Cerpen IG (@cerpen_sastra), Pendiri Perkumpulan Pencinta Cerpen di Kompasiana (@pulpenkompasiana), Pendiri Komunitas Kompasianer Jakarta (@kopaja71), Pendiri Lomba Membaca Cerpen di IG (@lombabacacerpen), Pendiri Cerita Indonesia di Kompasiana (@indosiana_), Pendiri Tip Menulis Cerpen (@tipmenuliscerpen), Pendiri Pemuja Kebijaksanaan (@petikanbijak), dan Pendiri Tempat Candaan Remeh-temeh (@kelakarbapak). Enam buku antologi cerpennya: Rahimku Masih Kosong (terbaru) (Guepedia, 2021), Juang (YPTD, 2020), Kucing Kakak (Guepedia, 2021), Tiga Rahasia pada Suatu Malam Menjelang Pernikahan (Guepedia, 2021), Dua Jempol Kaki di Bawah Gorden (Guepedia, 2021), dan Pelajaran Malam Pertama (Guepedia, 2021). Satu buku antologi puisi: Coretan Sajak Si Pengarang pada Suatu Masa (Guepedia, 2021). Dua buku tip: Praktik Mudah Menulis Cerpen (Guepedia, 2021) dan Praktik Mudah Menulis Cerpen (Bagian 2) (Guepedia, 2021).

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen: Utang Papa

1 Februari 2021   23:45 Diperbarui: 2 Februari 2021   00:55 501
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber:cakradunia.co

Apakah saya ditakdirkan hidup tanpa kebebasan? Hidup di dunia dengan banyak ikatan dan aturan yang membelenggu sangat melelahkan. Kali ini saja biarkan saya merasakan kemerdekaan.

Sudah berulang kali saya diam. Setiap Papa dan Mama mengajak bicara panjang saat makan malam di atas meja makan, saya memilih cepat-cepat membawa piring dan gelas ke dalam kamar.

Awalnya mereka bertanya basa-basi tentang bagaimana pekerjaan saya pagi tadi. Kemudian, perlahan beralih pada apa rencana saya ke depan nanti. Sampai akhirnya ditutup dengan menyebut satu nama.

Mau Senin, Selasa, sampai Minggu, itu-itu saja bahan pembicaraannya. Sebagai anak yang sedari kecil diajari hormat pada orangtua, saya memberikan waktu barang lima menit di awal, untuk melihat wajah mereka dan bertanya bagaimana kabar hari ini. Selebihnya, nasi dan lauk yang Mama masak saya habiskan dalam kamar.

Kuping saya sudah bosan. Bagaimana mereka memuji-muji Sarmaji, bercerita tentang kebaikan orangtuanya dan meramalkan dia juga baik seperti orangtuanya sungguh merusak nafsu makan saya. Padahal saya tahu benar, hingga detik ini, Papa belum pernah bertemu langsung dengannya.

"Sarmaji itu anak baik-baik. Kamu pasti tidak akan menyesal. Papa pun tahu, kamu anak baik. Kamu selalu membanggakan Papa. Ayolah, hanya kamu harapan Papa. Siapa lagi yang bisa membantu Papa?"

Sebetulnya saya sedikit bangga dengan ucapan Papa yang membesar-besarkan kepala saya itu. Seolah-olah, nasib Papa bergantung penuh di tangan saya. Tetapi, ya begitulah, bila ada maunya, tidak hanya Papa, orang-orang juga memuji-muji dengan wajah tulus yang dibuat-buat. Memuakkan.

Dulu, Papa memiliki seorang sahabat akrab. Mereka telah menjalin hubungan dari SD, SMP, SMA, dan waktu kuliah mereka berpisah. Sahabatnya memilih melanjutkan pendidikan dan bekerja di luar negeri. 

Ketika Papa sedang jatuh-jatuhnya, kehilangan pekerjaan karena masa krisis moneter, rumah dijual, tunggakan kredit kian menumpuk, sekadar untuk makan tiga kali sehari tidak mampu, bahkan sampai-sampai Papa sempat ingin bunuh diri, tiba-tiba sahabat itu menghubunginya. Dia berjanji akan memberi pekerjaan bersama bantuan dana untuk bertahan hidup beberapa bulan. Saat itu, Mama mengandung saya.

Seperti mendapat durian runtuh, Papa lekas menerima tawaran itu tanpa sedikit pun ragu. Dia tahu, sahabatnya tidak pernah bohong. Dan benar, sababatnya itu menepati janji. Berkat keuletan dan kerja keras serta patuh setianya pada sahabatnya itu, dua puluh tahun berlalu Papa bisa menjadi direktur di salah satu anak perusahaan sahabatnya itu di dalam negeri.

Papa merasa berutang. Kala itu, ketika berterima kasih, dia berucap janji.

"Kalau nanti anak saya lahir, saya berikan padamu, Sarmaun. Biarlah ini menjadi tanda ucapan terima kasihku padamu" ucap Papa melalui surat balasannya, setelah melepas rindu melihat Sarmaun memeluk anak laki-lakinya berumur dua tahun pada foto yang dia kirimkan lewat surat.

Buat apa hidup bila tanpa kebebasan? Apakah menyenangkan orangtua itu harus dengan membuat diri menderita? Sampai-sampai tidak bisa pula memilih pasangan hidup? Pernikahan hanya sekali seumur hidup, tentu harus bersama orang yang dicintai.

Hari berganti hari, Sarmaji semakin besar dan dewasa. Di luar negeri, dia berhasil mengelola perusahaan ayahnya sampai beranak pinak dan namanya mulai tersohor sebagai pengusaha muda dengan kekayaan melimpah ruah.

"Nanti hidupmu terjamin, Aksila. Dia kaya raya di sana. Kamu bisa beli apa saja. Kamu tidak perlu pusing dengan masa depanmu" tulis Papa melalui pesan singkatnya lewat ponsel. Papa sepertinya berjuang keras tetap memaksa, kendati tidak bertemu muka.

Pesan itu saya baca, tetapi tidak saya balas. Bentuk perlawanan saya adalah diam. Dalam rumah ini, saya hanya bicara sekenanya, basa-basi seperlunya, dan menghindar bila bau-bau perjodohan mulai dibahas.

"Mama, bantu Papa! Bagaimana nanti Papa bicara dengan Sarmaun? Mama mau Papa dipecat? Papa juga tidak mungkin menjilat ludah sendiri."

Papa mencari bantuan. Setelah kakak pertama dan kedua saya menolak, karena tahu betapa pedihnya menikah dalam perjodohan--mereka sama-sama dipaksa menikah dengan orang tak dikenal--, Mama menjadi satu-satunya harapan.

Mama memohon dengan merengek di depan saya. Tiba-tiba dalam pikirannya terbayang rumah megah beserta perabotan-perabotan ini. Terbayang lima mobil mewah di garasi. Terbayang pula jabatan eksklusif Papa beserta fasilitas kantor yang nyaman dinikmati. Bagaimana bila hidup tanpa itu semua? Saya tetap bergeming.

Apakah anak harus hidup di dunia untuk memenuhi ambisi orangtua? Saya selalu menuruti keinginan mereka. Dari kecil menjadi anak baik-baik dengan belajar tekun, rajin beribadah, dan menolong teman. Tidak berani saya keluar rumah tanpa izin. Mulai remaja saya bersekolah di sekolah yang Papa daftarkan, kendati saya tidak suka. Bahkan kuliah pun universitasnya dipilihkan. Dan saya menurut. Apakah kali ini saja saya tidak bisa menggunakan hak saya?

Secara diam-diam, mulai awal tahun lalu dan sekarang telah lewat delapan bulan, saya menjalin hubungan dekat dengan Jamali, salah satu pegawai di perusahaan Papa. Dia orang yang bisa mengerti hati saya. Dia selalu sabar dan tetap ada bahkan saat saya marah. Wajahnya biasa-biasa saja, tetapi kesetiaan dan kerelaannya memberi waktu mendengar ocehan saya, itu yang saya suka. Selama ini tidak pernah saya dapatkan itu semua dari keluarga.

Dan malam itu, ketika rintik hujan mulai berjatuhan, untuk pertama kali saya keluar dari kamar. Setelah mengumpulkan keberanian sepanjang hari, saya rasa paksaan ini perlu diakhiri. Saya menghabiskan waktu makan malam bersama Papa dan Mama sampai selesai. Bersama pula dengan Jamali.

"Pa, Aksila mau bicara" Tanpa banyak basa-basi, saya ambil alih pembicaraan. Sementara Papa sembari makan sibuk menandatangani dokumen kantor yang dibawa Jamali ke rumah. Seharian itu Papa sedang tidak enak badan, jadi tidak masuk kantor. Jamali mendapat giliran piket mengantar dokumen. Sebagai ucapan terima kasih, Papa mengajak Jamali makan bersama.

"Bicaralah" Dengan suara masih lesu, Papa menjawab.

"Saya mau menikah, Pa"

Papa terkesiap. Dia melompat kegirangan. Kesakitan di sekujur tubuh yang diderita dari pagi serasa hilang. Matanya berbinar-binar. Wajahnya memerah. Mama duduk terpaku menatap tajam.

"Oh, bagus itu. Papa suka akhirnya kamu nurut. Nanti Papa telepon Sarmaun. Secepatnya kita siapkan semua"

Saya mengambil napas dalam-dalam. Bersama hujan yang kian deras dan dinginnya malam itu, saya melanjutkan ucapan.

"Bersama Jamali, Pa"

"Apa?"

"Dengan Jamali, Pa" saya mengeraskan suara.

Mata Papa tiba-tiba melotot. Tangannya menggebrak meja. Piring dan gelas berjatuhan. Sop ikan tumpah dan terserak di atas meja. Jamali yang duduk di kursi paling ujung semakin menundukkan kepala.

Dalam amarahnya itu, saya sodorkan alat test pack yang saya sembunyikan di kantong saya. Alat itu menunjukkan hasil positif. Mama terkaget-kaget.

"Masa bodoh dengan utang Papa. Saya lebih baik kehilangan kehormatan tetapi hidup bersama cinta, daripada hidup dengan orang yang sama sekali tidak saya kenal. Tidak bolehkah saya menggunakan hak sebagai manusia?"

Papa terdiam. Mukanya amat gusar.

...

Jakarta

1 Februari 2021

Sang Babu Rakyat

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun