Papa merasa berutang. Kala itu, ketika berterima kasih, dia berucap janji.
"Kalau nanti anak saya lahir, saya berikan padamu, Sarmaun. Biarlah ini menjadi tanda ucapan terima kasihku padamu" ucap Papa melalui surat balasannya, setelah melepas rindu melihat Sarmaun memeluk anak laki-lakinya berumur dua tahun pada foto yang dia kirimkan lewat surat.
Buat apa hidup bila tanpa kebebasan? Apakah menyenangkan orangtua itu harus dengan membuat diri menderita? Sampai-sampai tidak bisa pula memilih pasangan hidup? Pernikahan hanya sekali seumur hidup, tentu harus bersama orang yang dicintai.
Hari berganti hari, Sarmaji semakin besar dan dewasa. Di luar negeri, dia berhasil mengelola perusahaan ayahnya sampai beranak pinak dan namanya mulai tersohor sebagai pengusaha muda dengan kekayaan melimpah ruah.
"Nanti hidupmu terjamin, Aksila. Dia kaya raya di sana. Kamu bisa beli apa saja. Kamu tidak perlu pusing dengan masa depanmu" tulis Papa melalui pesan singkatnya lewat ponsel. Papa sepertinya berjuang keras tetap memaksa, kendati tidak bertemu muka.
Pesan itu saya baca, tetapi tidak saya balas. Bentuk perlawanan saya adalah diam. Dalam rumah ini, saya hanya bicara sekenanya, basa-basi seperlunya, dan menghindar bila bau-bau perjodohan mulai dibahas.
"Mama, bantu Papa! Bagaimana nanti Papa bicara dengan Sarmaun? Mama mau Papa dipecat? Papa juga tidak mungkin menjilat ludah sendiri."
Papa mencari bantuan. Setelah kakak pertama dan kedua saya menolak, karena tahu betapa pedihnya menikah dalam perjodohan--mereka sama-sama dipaksa menikah dengan orang tak dikenal--, Mama menjadi satu-satunya harapan.
Mama memohon dengan merengek di depan saya. Tiba-tiba dalam pikirannya terbayang rumah megah beserta perabotan-perabotan ini. Terbayang lima mobil mewah di garasi. Terbayang pula jabatan eksklusif Papa beserta fasilitas kantor yang nyaman dinikmati. Bagaimana bila hidup tanpa itu semua? Saya tetap bergeming.
Apakah anak harus hidup di dunia untuk memenuhi ambisi orangtua? Saya selalu menuruti keinginan mereka. Dari kecil menjadi anak baik-baik dengan belajar tekun, rajin beribadah, dan menolong teman. Tidak berani saya keluar rumah tanpa izin. Mulai remaja saya bersekolah di sekolah yang Papa daftarkan, kendati saya tidak suka. Bahkan kuliah pun universitasnya dipilihkan. Dan saya menurut. Apakah kali ini saja saya tidak bisa menggunakan hak saya?
Secara diam-diam, mulai awal tahun lalu dan sekarang telah lewat delapan bulan, saya menjalin hubungan dekat dengan Jamali, salah satu pegawai di perusahaan Papa. Dia orang yang bisa mengerti hati saya. Dia selalu sabar dan tetap ada bahkan saat saya marah. Wajahnya biasa-biasa saja, tetapi kesetiaan dan kerelaannya memberi waktu mendengar ocehan saya, itu yang saya suka. Selama ini tidak pernah saya dapatkan itu semua dari keluarga.