Dan malam itu, ketika rintik hujan mulai berjatuhan, untuk pertama kali saya keluar dari kamar. Setelah mengumpulkan keberanian sepanjang hari, saya rasa paksaan ini perlu diakhiri. Saya menghabiskan waktu makan malam bersama Papa dan Mama sampai selesai. Bersama pula dengan Jamali.
"Pa, Aksila mau bicara" Tanpa banyak basa-basi, saya ambil alih pembicaraan. Sementara Papa sembari makan sibuk menandatangani dokumen kantor yang dibawa Jamali ke rumah. Seharian itu Papa sedang tidak enak badan, jadi tidak masuk kantor. Jamali mendapat giliran piket mengantar dokumen. Sebagai ucapan terima kasih, Papa mengajak Jamali makan bersama.
"Bicaralah" Dengan suara masih lesu, Papa menjawab.
"Saya mau menikah, Pa"
Papa terkesiap. Dia melompat kegirangan. Kesakitan di sekujur tubuh yang diderita dari pagi serasa hilang. Matanya berbinar-binar. Wajahnya memerah. Mama duduk terpaku menatap tajam.
"Oh, bagus itu. Papa suka akhirnya kamu nurut. Nanti Papa telepon Sarmaun. Secepatnya kita siapkan semua"
Saya mengambil napas dalam-dalam. Bersama hujan yang kian deras dan dinginnya malam itu, saya melanjutkan ucapan.
"Bersama Jamali, Pa"
"Apa?"
"Dengan Jamali, Pa" saya mengeraskan suara.
Mata Papa tiba-tiba melotot. Tangannya menggebrak meja. Piring dan gelas berjatuhan. Sop ikan tumpah dan terserak di atas meja. Jamali yang duduk di kursi paling ujung semakin menundukkan kepala.