Mohon tunggu...
Hara Nirankara
Hara Nirankara Mohon Tunggu... Penulis - Penulis Buku
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Penulis Buku | Digital Creator | Member of Lingkar Kajian Kota Pekalongan -Kadang seperti anak kecil-

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Kartu Merah untuk Jokowi-Ma'ruf

21 Oktober 2020   01:34 Diperbarui: 21 Oktober 2020   01:41 309
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Image via mediarealitas.com

20 Oktober 2020 merupakan tanggal di mana Jokowi dan Ma'ruf Amin genap satu tahun usia pemerintahannya, dan, pada tahun pertama ini banyak kebijakan dari Pemerintah yang disorot oleh banyak kalangan elemen masyarakat. 

Bahkan, mantan koresponden asing di Jakarta, Hong kong, dan Hanoi untuk media Financial Times, Benjamin "Ben" Bland, seorang peneliti Lowy Institute ikut memberikan kritik kepada Jokowi dalam buku biografi yang berjudul "Man of Contradictions: Joko Widodo and the Struggle to Remake Indonesia". 

Dalam bukunya itu, Ben memberikan kritikan atas keberpihakan Jokowi kepada China dalam urusan pembangunan infrastruktur, sehingga negara barat tidak mempunyai kesempatan untuk menyeimbangi pengaruh China di Asia Tenggara. 

Ben menyebutkan bahwa Pemerintah Indonesia 'menunjukan banyak sifat terburuknya' selama kepemimpinan Presiden Jokowi dengan mengabaikan nasehat para ahli, kurangnya kepercayaan kepada masyarakat sipil, kegagalan untuk mengembangkan strategi koheren, buruknya penanganan virus corona, hingga rencana pemindahan Ibu Kota baru.

Laman The Sydney Morning Herald pada kamis (13/8) menyebutkan, atas kinerja yang buruk itu mengakibatkan munculnya 2 juta pengangguran baru, dan, menjadikan Indonesia sebagai salah satu negara dengan kasus virus corona tertinggi di Asia Tenggara. 

Salah satu kritikan Ben yang lain adalah, soal strategi Jokowi yang tertarik untuk menarik investasi dari siapa pun yang memiliki uang tunai paling banyak, guna mencapai tujuan ekonomi domestik. 

China adalah salah satu negara yang disebutkan oleh Ben dalam buku biografi itu. Karena seperti yang pernah Saya tulis sebelumnya, bahwa China berambisi menguasai Asia Pasifik dengan menjalankan mega proyek yang bernama One Road One Belt. 

Ben mengatakan bahwa banyak pihak di Canberra yang mengharapkan Jokowi untuk membuka keran investasi bagi Australia, sehingga dapat berdiri di kawasan Indonesia serta dapat mengimbangi pengaruh China.

Kritikan lain juga datang dari ekonom di Institute for Development of Economics and Finance, Bima Yudhistira, yang menilai bahwa Pemerintah lebih fokus menggenjot investasi ketimbang penanganan virus corona. Bima sendiri mengkritik pembentukan Omnibus Law UU Cipta Kerja di tengah pendemi, yang menurutnya tidak ada satu pun negara di dunia saat ini yang fokus mengurus masalah regulasi investasi. 

Negara lain lebih meyakini bahwa, pemulihan ekonomi bergantung pada seberapa cepat penanganan Covid 19 di negara mereka. Hal ini selaras dengan kritikan Saya kepada Jokowi beberapa waktu yang lalu, bahwa, menurut Saya investor tidak akan melirik Indonesia sebagai "ladang subur" walau Omnibus Law telah disahkan. 

Karena, mau seringkas apapun aturan regulasi dalam hal investasi, jika pokok permasalahannya (Covid 19) tidak kunjung diselesaikan, maka keadaan akan sama saja. Iklim investasi, perputaran uang, minat belanja masyarakat, tentu dipengaruhi oleh keberadaan virus corona. 

Sekarang bayangkan, untuk apa masyarakat giat memutarkan uang jika masih dihantui oleh Covid 19? Hal ini pun dibuktikan dengan banyaknya uang milik orang kaya yang justru mengendap di bank, sehingga membuat ekonomi Indonesia semakin lesu.

Laman Detik Finance pada Rabu (14/10) memuat berita yang berjudul "Pantas Ekonomi Lesu, Duit Orang Tajir RI 'Nganggur' Rp 373 Triliun". Kepala Ekonom Bank Mandiri, Andry Asmoro mengatakan, "Kalau dari data perbankan, ini kami baru mencoba lihat data per Agustus, itu kalau dilihat dari data penabung meningkat pesat. 

Kalau hitungan kami secara industri, DPK (Dana Pihak Ketiga) tahun ini bisa tumbuh di atas 8%, padahal kredit maksimal hanya 1,5%." Ungkapnya dalam acara Webinar Bincang APBN 2021, selasa (13/10). Andy mencatat, untuk tabungan di atas Rp 5 miliar itu sudah naik Rp 373 triliun year to date. 

Jadi, kalau dibandingkan dengan periode yang sama tahun lalu, hanya Rp 115 triliun. Menurutnya, penabung di atas Rp 5 miliar itu berasal dari kategori nasabah institusi dan individu. 

Meningkatnya tabungan para miliarder itu mengindikasikan bahwa masyarakat menengah ke atas, saat ini lebih memilih mengamankan uangnya. Ketika orang kaya engga berbelanja, roda ekonomi sulit berputar, dan akhirnya masyarakat kalangan bawah semakin terpuruk.

Fakta bahwa kalangan orang kaya lebih memilih untuk mengamankan uangnya, menunjukan bahwa seharusnya Pemerintah lebih menekan angka penyebaran Covid 19 ketimbang menggenjot Omnibus Law. 

Karena seperti yang Saya katakan tadi, mau seringkas apapun regulasi investasi, jika masalah pokoknya (Covid 19) tidak kunjung diselesaikan, maka keadaan akan sama saja. Karena menurut Saya, investor lebih mahir dalam melihat potensi riskan dalam investasi yang akan mereka lakukan. Dalam konteks ini, semakin terlihat jelas betapa kacaunya pemerintahan Jokowi dalam membuat kebijakan jangka panjang.

Kritikan yang berikutnya muncul dari Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance, Tauhid Ahmad. Tauhid menganggapi hasil survey dari TMF Group yang menempatkan Indonesia sebagai negara yang paling rumit untuk urusan bisnis berdasarkan Indeks Kompleksitas Bisnis Global (GBCI) 2020. 

Dia menilai, selama ini sistem perizinan investasi satu pintu (single online submission) tidak efektif. Tauhid menyebut bahwa Badan Koordinasi Penanaman Modal sebagai penanggung jawab OSS, tidak mampu menghadirkan peta ruang investasi yang detail di Indonesia, termasuk status tanah, kepemilikan, dan lahan-lahan yang tidak diizinkan untuk kepentingan korporasi. Investor pun akan merasa kesulitan, sehingga minat untuk menanamkan modalnya amblas (Tempo.co).

Kebijakan lain yang patut dikritisi selain Omnibus Law adalah, rencana Kominfo yang akan menyiapkan Peraturan Menteri (PerMen) yang akan mengatur dengan jelas tahapan pemblokiran media sosial. Saya yakin, peraturan ini merupakan buntut dari pernyataan Menteri J. G. Plate dalam acara Mata Najwa yang mengatakan, "kalau pemerintah mengatakan hoax, berarti hoax". 

Ketidakbecusan pemerintah dalam mengelola negara semakin membuat rakyat tidak percaya, sehingga aturan-aturan konyol sengaja dipaksakan untuk membatasi ruang beraspirasi bagi rakyat. Hal ini dibuktikan melalui survei Litbang Kompas yang menyebutkan, 52,5% rakyat tidak puas atas kinerja pemerintahan Jokowi-Maruf. 

Hasil itu didapat dari survei yang dilakukan terhadap 529 responden selama 14-16 Oktober 2020. Direktur Jenderal Aplikasi Kemenkominfo, Semuel A. Pangerapan menjelaskan, Peraturan Menteri akan membahas soal sanksi administratif dan kejelasan hukum dalam pemblokiran media sosial. Nantinya, platform media sosial yang terbukti membiarkan kabar hoax beredar dalam platform mereka akan menerima denda, sanksi, dan juga pemblokiran dari Pemerintah.

Artikel ini akan sangat panjang jika membahas kebijakan Pemerintah yang mendapat kritikan elemen masyarakat. Maka dari itu, untuk mempersingkat artikel ini, Saya akan sedikit memberikan masukan kepada pemerintahan Jokowi-Ma'ruf Amin.

Saat ini gelombang penolakan terhadap Omnibus Law semakin meluas, disertai dengan aksi-aksi oleh buruh, mahasiswa, pelajar. Saya hanya ingin memberi masukan singkat, bahwa seharusnya Presiden Jokowi tidak tergesa-gesa dalam mensahkan Omnibus Law. 

Aksi massa dalam tuntutannya sudah jelas, yaitu menolak pasal-pasal yang merugikan buruh, merusak alam dan lingkungan, hingga keringanan sanksi bagi korporasi yang terbukti melakukan penyimpangan. Hemat Saya, seharunya Presiden Jokowi menemui aksi massa dan mengatakan akan merevisi pasal-pasal yang dipermasalahkan oleh aksi massa.

Saya rasa tindakan itu sangat bijak, mengingat saat ini Presiden Jokowi sedang mengalami krisis kepercayaan dari rakyat.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun