Mohon tunggu...
Hilman Fajrian
Hilman Fajrian Mohon Tunggu... Profesional -

Founder Arkademi.com

Selanjutnya

Tutup

Money Artikel Utama

Mengapa Usaha Kreatif Gagal dan Pendekatan Baru Mengatasinya

24 Mei 2017   13:25 Diperbarui: 24 Mei 2017   18:21 2427
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: Antara Foto

Memproduksi sesuatu mulai dari kuantitas kecil harus diakui kontra intuitif. Ekonomi yang kita kenal saat ini sebenarnya adalah bentukan pengajaran Winslow Taylor. Dalam buku fenomenalnya berjudul The Principles of Scientific Management yang terbit perdana tahun 1911, ia mengajarkan soal efisiensi yang bisa didapatkan dari produksi besar.  Baik itu efisiensi biaya, sumberdaya, maupun tenaga kerja. Namun Taylor pasti tidak membayangkan apa yang terjadi pada abad ke-21 sekarang. Ketika kapasitas produksi jauh melampaui kemampuan kita untuk menentukan dengan bijak apa yang mesti dibuat. Ekonomi kita sarat dengan pemborosan. Asalnya bukan dari pengorganisasian kerja yang tidak efisien, tapi karena mengerjakan hal-hal yang keliru. 

"Tidak ada yang lebih sia-sia selain mengerjakan hal yang sejatinya tidak boleh dikerjakan sama sekali," kata Peter Drucker.

Kita terkurung dalam doktrin batch besar karena percaya itu lebih menguntungkan dibanding batch kecil. Batch adalah proses yang dibutuhkan untuk menciptakan satu unit. Misal kita punya bisnis produksi keripik, maka lazimnya kita ingin memproduksi dalam batch besar, 1.000 bungkus sehari contohnya. Karena kita percaya bahwa itu adalah nilai optimum yang kita sasar. Maka kita beli mesin berkapasitas 1.000, bahan baku, kemasan, dan tenaga kerja yang banyak. Bukan main modalnya. Ketika produk kita ternyata gagal misal karena siklus hidupnya sudah selesai, munculnya kompetitor baru, perubahan perilaku konsumen, atau situasi ekonomi, batch besar itu memangsa diri kita sendiri.

Contoh sukses menggunakan batch kecil adalah Toyota. Usai perang dunia II, hanya pabrik otomotif AS yang mampu memproduksi mobil skala besar. Jepang sedang bangkrut. Tak ada uang untuk memproduksi besar. Hingga Taiichi Ohno dan Shigeo Shingo mengutak-atik mesin pabrik mereka agar bisa tetap efisien memproduksi berbagai komponen umum dalam batch kecil. Cara ini dikenal sebagai konsep single-exchange minute of die (SMED) yang sangat terkenal itu. Berkat batch kecil, Toyota mampu memproduksi produk yang lebih variatif dan melayani pasar yang lebih kecil dan terfragmentasi, tapi tetap bisa bersaing. Dengan batch kecil, Toyota bisa mengidentifikasi masalah kualitas lebih cepat daripada pabrikan AS.

Batch kecil diperlukan dalam usaha kreatif kecil. Tujuan usaha kita bukanlah memproduksi produk yang lebih banyak secara efisien -- setidaknya belum sampai ke situ -- tapi membangun bisnis yang berkesinambungan secepat mungkin. Bagaimana bila pasar dan konsumen berubah menjadi tidak menginginkan produk yang kita buat. Jelas ini bukan kabar baik, tapi lebih baik mengetahuinya lebih cepat. Untuk usaha kecil, bekerja dengan batch kecil bermanfaat meminimalkan risiko terbuangnya waktu, uang, dan pekerjaan bila produk kita nantinya tidak diinginkan oleh konsumen.

4. MULAI DARI YANG SEDERHANA
Apa yang dilakukan Umy di atas (sumpah, saya tidak punya hubungan gelap apapun dengan dia!) juga mencontohkan memulai bisnis dengan produk yang sederhana, tapi bisa memecahkan masalah dasar. Namun produk dasar itu bisa terus dikembangkan secara bertahap. Orang ingin burger, ya dikasih burger. Tidak neko-neko. Tidak diberi kemasan mahal nan cantik berharga mahal. Tidak pakai bendera burger. Tidak pakai kartu nama. Tidak pakai segala yang tidak perlu untuk memecahkan masalah dasar akan kebutuhan burger yang enak. Dengan demikian ia bisa menekan biaya yang otomatis mendapatkan laba yang baik. Produk seperti ini dinamakan minimum viable product (MVP); produk yang bisa memecahkan masalah dasar dan bisa terus dikembangkan. Tujuan utama MVP adalah memulai proses belajar, bukan mengakhirinya.

Metode ini juga kontra intuitif karena biasanya pencipta ingin barangnya langsung sempurna ketika sampai di pasar. Pengusaha punya visi yang membayangkan produknya berkualitas begitu tingginya hingga bisa mengubah dunia, buka coba-coba. Padahal, produk yang ia anggap sempurna itu belum tentu berhasil di pasar. Tak hanya itu, membuat produk sempurna akan membutuhkan waktu, tenaga dan uang sangat besar. Yang ketika gagal, bayangkan pemborosan yang dihasilkan.

Bahkan iPhone generasi pertama pun tidak bisa 3G, tak punya fitur copy paste dan MMS.

5. BANTING SETIR
Kalau kita melakukan 4 metode di atas, maka kita sudah siap melihat kegagalan sebagai proses yang wajar, terkendali, dan jalan menuju keberhasilan. Bukannya kegagalan yang membuat KO. Karena kita sedang melakukan proses pembelajaran yang terus-menerus, bukan pertaruhan. Lalu sangat mungkin kita tiba pada masa ketika produk atau purwarupa kita ternyata gagal di pasar. Langkah-langkah di atas memungkinkan kita untuk mengambil langkah selanjutnya: banting setir.

Banting setir atau pivot adalah koreksi arah yang terstruktur untuk menguji hipotesis fundamental baru tentang produk, strategi, dan mesin pertumbuhan. Bisnis yang produktif bukanlah yang banyak mengeluarkan barang atau fitur baru. Tapi yang mampu menggiring pekerjaannya menjadikan bisnis yang terus tumbuh. Dengan kata lain, banting setir dengan benar adalah keterampilan esensial untuk menciptakan usaha yang berkesinambungan. Seringkali, dalam banting setir ini kita mesti kembali ke langkah nomor 1 atau 2.

Harus diakui banting setir membutuhkan keberanian, terutama bila produk kita sebelumnya sudah sukses bertumbuh. Tak hanya harus keluar dari zona nyaman, tapi kembali dihadapkan pada sesuatu yang tak pasti. Sementara bertahan dengan produk yang sudah habis siklus hidupnya atau purwarupa yang gagal, hanya akan mengantarkan kita kepada kematian usaha dan kerugian lebih besar.

Namun banting setir tidak semenyedihkan itu. Karena kita masih disokong oleh basis konsumen yang telah terbentuk. Banting setir bukan berarti otomatis kita mesti menarik produk lama. Ia bisa dilakukan lewat berbagai cara: mengubah segmen, memposisikan ulang produk, mengubah pola distribusi, mengubah arsitektur bisnis, sampai mengubah hipotesis fundamental kita. Tergantung dari apa penyebab yang membuat kita harus banting setir.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun