Mohon tunggu...
Hilman Fajrian
Hilman Fajrian Mohon Tunggu... Profesional -

Founder Arkademi.com

Selanjutnya

Tutup

Money Artikel Utama

Mengapa Usaha Kreatif Gagal dan Pendekatan Baru Mengatasinya

24 Mei 2017   13:25 Diperbarui: 24 Mei 2017   18:21 2427
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: Antara Foto

Pertanyaan besar pada zaman kita bukan "Bisakah sesuatu dibuat?", melainkan "Haruskah sesuatu itu dibuat?" Kita berada di persimpangan historis: kesejahteraan generasi mendatang bergantung pada kualitas imajinasi kolektif kita.

Bulan lalu seorang sahabat datang ke rumah. Ia seorang pengusaha (kecil) di bidang industri kreatif. Si teman bercerita tentang tekadnya yang sudah bulat untuk memulai usaha produksi suvenir khas Balikpapan. Ia punya mimpi ini sejak lama karena melihat Balikpapan -- kota kelahiran dan domisili saya -- tak punya produk khas yang bisa dijadikan suvenir yang memiliki brand kuat. Seperti Dagadu di Jogja atau Joger di Bali, contohnya. Pria yang sudah bersahabat dengan saya selama 14 tahun ini mengatakan ia sudah punya beberapa konsep produk. Mulai dari garmen hingga gantungan kunci.

Hingga dia mengajukan pertanyaan pamungkas. "Aku harus mulai dari mana?"
Perasaan saya bercampur aduk antara senang, risau, dan sedih. Terus terang saya kesulitan menemukan jawaban yang tepat bagi orang seperti dia.

Saya senang karena dia tidak pernah kehilangan semangat kewirausahaan dan kreativitas meski dalam beberapa tahun terakhir usaha kreatifnya jatuh bangun. Saya bisa dengan fasih memberinya kuliah semalam suntuk soal manajemen dan akuntansi inovasi mulai dari validate learning, lean thinking, agile development, agile UX, growth hack, sampai sprint --- metode-metode invoasi yang sangat proven (terbukti) dan merupakan ilmu sains baru yang sangat bisa diterapkan dalam industri kreatif yang bukan produk digital. Saya akan bersedia membimbingnya melakukan metode-metode ini tanpa bayaran sampai ia berhasil. Tapi saya tahu dia tidak akan mau. 

Kita terlanjur menganggap kewirausahaan itu sepenuhnya sebagai seni yang mengandalkan intuisi atau kerja keras semata. Kita menelan nasehat Bob Sadino begitu saja: "Bisnis apa yang paling bagus? Binsis yang segera dimulai, bukan yang ditanyakan terus." Atau yang lebih ekstrem, "Orang pintar mikir ribuan mil, jadi terasa berat. Saya nggak pernah mikir karena cuma melangkah saja. Buat apa mikir, kan cuma selangkah."

Kita harus tetap menghargai Bob Sadino dan para senior wirausahawan yang sukses. Mereka tidak salah. Sulit menyalahkan orang yang terbukti sukses. 

Yang salah adalah kita: menganggap dunia itu statis dan waktu tidak bergerak mengubah hal-hal fundamental pada manusia dan ekonomi, sehingga selalu mengacu pada nasehat yang dibuat pada waktu yang berbeda.

Setiap nasehat punya masanya masing-masing. Lebih dari itu: kita perlu metode yang sesuai dengan kenyataan yang kita hadapi, bukan jargon. 

Intuisi tidak boleh dihapus dalam kewirausahaan, seperti juga keberanian. Steve Jobs tidak menggunakan rumus matematika dan 1 terrabyte data ketika ia memutuskan membuat desain ponsel yang sangat superior dan melampaui ekspektasi konsumen. Iphone tercipta karena intuisi dan kenekatan. Setiap orang ingin jadi Steve Jobs atau Bob Sadino. Namun mereka berdua adalah 'spesies sangat langka', sementara kita bukan. Intuisi dan keberanian juga tidak dibentuk lewat sekolah. Mereka dibentuk oleh segenap pengalaman hidup yang panjang dan seringkali menyakitkan. Tak semua orang bisa sekeras Edison 'menyiksa diri' menciptakan lampu lewat kesalahan lebih dari 1.000 kali.

Harga kegagalan itu sangat mahal, baik secara ekonomi maupun sosial. Yang tak kalah pentingnya adalah apa yang kita sendiri korbankan: waktu, tenaga, kreativitas, pikiran, perasaan. Ia tak boleh sia-sia begitu saja. Tapi ada sebuah pendapat umum bahwa untuk sukses kita harus lebih dulu jatuh terguling dan tersiksa oleh sesuatu yang tak bisa kita kontrol: kegagalan. Itu sebabnya orang lebih banyak memilih jadi karyawan karena memiliki pertimbangan masing-masing dalam menghindari derita kewirausahaan.

Sementara, dunia ini --- terlebih lagi Indonesia --- memerlukan lebih banyak wirausahawan. Yang terbukti memiliki daya tahan untuk menggerakkan ekonomi bukan perusahaan minyak atau otomotif. Tapi wirausaha yang dimulai dari kecil. Toh kita melihat sendiri bank-bank dilikuidasi, perusahaan minyak memecat ribuan karyawan, atau General Motor yang bangkrut. UKM juga banyak yang gulung tikar. Namun karena ukurannya yang kecil, dampak yang mereka hasilkan tidak begitu besar dan lebih tangkas untuk bangkit lagi.

Dunia kita juga memerlukan lebih banyak inovasi dan kreativitas untuk kehidupan yang lebih baik. Kita tidak bisa terus mengandalkan produk-produk lama yang banyak menimbulkan masalah. Dunia perlu produk inovasi dan kreatif baru untuk memecahkan lebih banyak masalah. Namun kita tak bisa mengharapkan inovasi itu lahir dari industri besar. Alasannya saya tulis dalam tulisan minggu lalu berjudul Mengapa Inovasi Gagal. Maka tak ada cara lain kecuali berharap inovasi dan kreativitas itu muncul dari usaha yang benar-benar baru dan dimulai oleh wirausahawan baru. Karena baru, tak mungkin ia langsung besar --- kecuali anda anak seorang sultan, yang sayangnya bukan.

Di sini muncul dilema besar: dunia membutuhkan inovasi, kreativitas dan kewirausahawan untuk membuat dunia yang lebih baik, sementara kreativitas dan kewirausahawan itu sendiri mengandung risiko yang teramat tinggi yang membuat banyak orang enggan terjun ke dalamnya. Kegagalan demi kegagalan yang tampaknya sudah dianggap jadi syarat sebelum mencapai kesuksesan wirausaha, juga membuang begitu banyak uang dan sumberdaya yang membuat masyarakat dan dunia jadi lebih sakit. Kegagalan itu merupakan pemborosan kreativitas dan potensi manusia.

Kalau begitu, kita mesti menciptakan lebih banyak wirausahawan yang membawa inovasi dan kreativitas baru ke dunia namun entah bagaimana caranya mereka tidak boleh gagal.

Kemudian kita bertanya: adakah sebuah formula yang membuat sebuah bisnis kecil baru anti gagal?
Tidak ada. Tidak pernah ada. Tidak harus ada. Dan jangan pernah berhadap ada.

Kita tak butuh metode untuk berkhayal seperti apa kelak bila usaha kita sukses: beli mobil sport, liburan ke Bahama, atau kawin lagi. Kita tak perlu banyak bantuan untuk merancang skenario berhasil. Namun kita perlu mengetahui apa yang kelak akan kita lakukan bila gagal dan bagaimana cara memanfaatkan kegagalan itu untuk menuju kesuksesan dengan segera. Sebuah kegagalan yang dirancang dan terkontrol. Kegagalan yang tidak memboroskan dan tak membuat kita kalah. Yang perlu kita pikirkan bukan apa yang akan kita lakukan ketika kita menang, tapi bagaimana bila kita kalah. 

Jadi, jelas itu pertanyaan yang keliru. Harusnya pertanyaannya adalah: Adakah sebuah formula yang bisa menekan risiko kegagalan dan meningkatkan rasio keberhasilan bagi sebuah bisnis kecil baru?
ADA.

Adakah sebuah metode dimana ada ruang untuk kegagalan dalam bisnis baru tapi tetap bisa membuat bisnis kita tetap berjalan?
ADA.
Lebih dari itu, metode ini mengharuskan kita terus menemukan kegagalan yang bisa dikontrol agar selanjutnya mampu menciptakan sebuah produk yang sukses dan meningkatkannya secara terus-menerus. Ini adalah metode dimana kita menjadikan bisnis kita sebagai tempat pembelajaran.

Metode-metode ini merupakan ilmu sains baru yang tidak akan anda dapatkan di sekolah, di pergaulan umum, bahkan di komunitas bisnis mainstream. Ilmu-ilmu baru ini dikembangkan dalam beberapa tahun belakangan ini oleh para pebisnis pelaku eksperimen utamanya di Silicon Valley ketika mereka mencoba mengakselerasi startup-startup agar mencapai nilai miliaran dolar dalam waktu singkat. Bahkan, salah satu metode yang bernama Sprint baru dieksperimentasikan mulai 2011 dan dibukukan tahun 2016. Namun saat ini Sprint telah menjadi metode standar yang diterapkan pada ratusan startup yang dibiayai Google Venture dan ribuan startup lainnya di dunia. Begitu juga denga metode validate learning, agile development, hingga lean UX. 

Tapi produk saya bukan produk digital, software, atau aplikasi, apakah bisa menerapkan metode ini?
BISA.
Metode-metode ini bisa diterapkan pada apapun lini bisnis kita. Bahkan validate learning ala Lean Startup sudah diterapkan di berbagai industri mainstream dan badan pemerintahan di AS. Hasilnya benar-benar menakjubkan.

Bisakah produk yang akan saya ciptakan mengikuti metode ini?
BELUM TENTU.

1. MEMULAI DARI PERTANYAAN
Setiap bisnis hanya punya satu kesempatan emas untuk menciptakan sebuah produk yang superior sebelum akhirnya mereka kehabisan uang.

Dalam kasus teman saya di atas, misal ia punya modal Rp 10 juta dan ingin membuat suvenir gantungan kunci. Ia memilih gantungan kunci karena melihat perilaku belanja suvenir para pelancong. Kemudian ia melakukan riset kecil-kecilan atau kontemplasi dalam menentukan desain gantungan kunci yang ia anggap akan laku. Ada peran besar intuisi di sini dalam menentukan desain yang dianggap memenuhi selera pasar: selera si teman ini sendiri dan pendapatnya akan 'kebenaran sebuah desain'. Bila desain sudah diputuskan, ia pergi memesan ke produsen. Jumlahnya tak bisa sedikit. Kalaupun sedikit, harganya jadi mahal. Kalau harga produksi mahal, harga jual jadi tinggi dan barang terancam tidak laku. Akibatnya ia harus memesan dalam volume besar. Sangat mungkin modal Rp 10 juta itu hanya cukup untuk pemesanan 1-2 desain.

Dengan demikian, Rp 10 juta itu hanya cukup untuk maksimal 2 desain dengan jumlah besar agar harganya kompetitif. Si teman tadi telah memanfaatkan kesempatan emasnya dengan pertaruhan yang besar. Kalau berhasil, mungkin ia akan jadi Bob Sadino selanjutnya. Bila gagal, ia akan masuk lagi ke lubang kegagalan yang sama. Itu sebabnya saya sedih: karena ia menggunakan cara-cara yang tak mengizinkannya mengontrol kegagalan dan memanfaatkan kegagalan itu untuk sukses. Pada metode yang dipakainya hanya ada 2 pilihan: sukses atau mati. Kegagalan tak diberi ruang sama sekali, seperti halnya misi peluncuran roket ke bulan atau sebuah operasi militer.

Kesalahan fatal sudah dimulai di awal: memulai dengan kesimpulan.

Kecuali anda Professor Xavier yang bisa membaca pikiran orang, kita tak boleh memulai sebuah produk baru lewat kesimpulan. Spekulasi selalu jadi bagian terpenting dalam bisnis. Namun kita tidak sedang berada di atas meja poker --- setidaknya tidak sedang mempertaruhkan semua uang hanya karena punya 2 kartu queen. Semestinya, spekulasi itu harus merupakan hipotesis dari sebuah pertanyaan yang lebih dulu kita ajukan kepada diri sendiri. Dari hipotesis itulah kita kemudian beranjak kepada eksperimen untuk menguji hipotesis tersebut. Hasilnya bisa salah dan bisa benar --- namanya juga eksperimen, mana ada yang langsung berhasil. 

Tapi kita kan tidak memulai dengan pertanyaan, lalu bagaimana ceritanya kita bisa punya hipotesis?
Kita menganggap diri kita langsung doing business, lalu bagaimana bisa memperlakukannya sebagai sebuah eksperimen?
Karena kita tidak menganggap sedang melakukan eksperimen, bagaimana kita bisa memberi ruang kegagalan bagi diri sendiri?

Semestinya kawan saya tidak melihat Rp 10 juta tadi sebagai modal usaha atau 'modal bertaruh', tapi sebagai modal belajar dan modal eksperimen untuk menciptakan dan menemukan produk kreatif yang terbukti berhasil di pasar.

Logika-logika untuk memulai bisnis dengan cara seperti ini saja sudah ganjil, kan? Pendapat umum adalah: anda punya modal, bikin produk, lempar ke pasar, lalu berdoa. Tak ada yang mau memberi kita uang modal usaha untuk belajar, bereksperimen dan gagal. Namun kenyataannya, dana ribuan triliun dolar yang berputar di dunia ini untuk startup adalah dana untuk membiayai pembelajaran, eksperimen, dan menemukan kegagalan.

Jake Knapp, pengelola investasi di Google Venture punya pendapat yang tegas: laba terbesar dari investasi adalah kegagalan.

Mengapa? Karena anda bukan anak ajaib, sehingga mustahil anda menemukan satu produk perdana yang langsung sukses. Anda harus menemukan yang salah dulu sebelum menemukan yang benar. Ketika yang benar sudah ditemukan, tinggal anda merepetisi dan mengembangkannya secara bertahap. Yang kita lihat dari produk-produk superior saat ini adalah hasil ciptaan yang mesti melewati akumulasi kegagalan yang tak tampak (atau bahkan pernah tampak). Namun karena kita bukan perusahaan otomotif yang punya uang miliaran dolar, kita perlu metode khusus agar dana yang terbatas bisa digunakan untuk menemukan produk yang tepat.

Penting bagi kawan saya tadi untuk bertanya lebih dulu kepada dirinya sendiri:

  • Apakah produk suvenir khas Balikpapan itu sesuatu yang harus ada?
  • Apakah masalah di pasar yang saya pecahkan lewat produk saya ini?
  • Apa tujuan jangka panjang bisnis saya ini?
  • Bagaimana saya memastikan bisnis ini memiliki daya tahan panjang dan berkesinambungan?

Ia harus bisa meloloskan diri dari 4 pertanyaan ini dulu. Jawabannya bukan kesimpulan, tapi hipotesis yang mesti diuji melewati serangkaian eksperimen, bukan pertaruhan.

2. COSTUMER CENTRIC
Setiap pedagang harus punya satu obsesi, yakni obsesi pada pelanggannya. Doktrin ini merupakan hukum besi dalam bisnis. Tapi sangat tidak mudah melakukannya. Pencipta seringkali merasa superior atau paling tahu. Bila kelak produk kreatifnya gagal, dengan mudah mereka menyalahkan konsumen yang dianggap bodoh atau kompetitor yang jahat. Atau menyalahkan Jokowi.

Di sisi lain, menebak selera pasar bukan sesuatu yang mudah. Tapi sangat mungkin dilakukan. Namun tak mungkin kita bisa menebak selera pasar dan mengujinya bila di awal kita sudah merasa punya jawaban yang benar dan pelanggan harus ikut dengan jawaban kita itu. Jadi, lagi-lagi kita harus beranjak ke pertanyaan selanjutnya: apakah produk yang saya ciptakan ini sesuai dengan keinginan konsumen?

Maka kita mesti membuat hipotesis lagi dan mengujinya.  Kali ini dalam bentuk desain, resep, atau prototype (purwarupa). Mengeksperimenkannya harus langsung berhadapan dengan calon konsumen dan melihat apa reaksinya. Reaksi konsumen itulah yang kita cari, dan itulah kebenaran pasar.

Hipotesis kali ini membutuhkan sesuatu yang nyata berupa purwarupa. Dalam membuatnya diperlukan intuisi, pengetahuan, atau masukan dari orang sekitar kita. Apapun itu tak masalah. Yang penting kita punya sesuatu untuk diuji. Sebenarnya ada panduan atau metode yang lebih detil untuk menjalani proses ini, tapi terlalu panjang untuk saya tulis di sini.

3. PURWARUPA
Akui saja, setiap kita yang berbisnis pasti diawali dari sebuah tebakan akan selera pasar. Tapi kita seringkali -- bila tidak selalu -- menindaklanjutinya dengan pertaruhan. Kita menganggap jawaban kita pasti benar. Sehingga yang kita lakukan selanjutnya adalah memproduksi dan merilis produk hasil tebakan itu dalam jumlah yang langsung besar dan melempar ke pasar. Anda bukan tiket lotere, maka anda harus berhenti melakukan pertaruhan model ini. 

Dengan membuat purwarupa, kita sudah berhasil menghindari pemborosan amat besar memproduksi sesuatu yang tak pasti dan tak teruji. Tujuan purwarupa kita adalah untuk menguji reaksi target konsumen. Ini sama sekali bukan survei pasar ketika anda datang ke calon pelanggan dan membawa kertas checklist lalu bertanya apa yang mereka inginkan. Tidak. Ini sesuatu yang riil yang berasal dari hipotesis anda sendiri.

Karena masih purwarupa, kita mungkin hanya perlu membuatnya 1-2 buah, secukupnya untuk pengujian. Tidak perlu sempurna, namun bisa mengantarkan pengalaman yang riil kepada calon pembeli, khususnya pada fitur-fitur mendasar sehingga kita bisa mendapatkan reaksi. Purwarupa sebenarnya adalah sebuah ilusi yang tampak realistis, tapi bisa membuat konsumen bertindak secara alamiah dan jujur. Dengan demikian, kita bisa membuat purwarupa dengan cepat dan sangat efisien. Dan ingat, purwarupa adalah sarana kita untuk belajar. Jangan sampai tergoda menghabiskan banyak waktu menyiapkan purwarupa yang bisa membuat anda malah jatuh hati kepadanya.

Kita akan membawa purwarupa ini kepada target konsumen dan menjalankan serangkaian ujicoba. Ingat, datanglah ke target konsumen. Jangan datang ke keluarga atau kenalan karena hasilnya bisa sangat bias. Tawarkan secara terang-terangan atau dengan cara tersembunyi. Misalnya anda menggantungkan purwarupa ke deretan gantungan suvenir di toko rekanan dan berpura-pura menjadi penjual. Lihat reaksi calon pembeli ketika membandingkan suvenir itu dengan suvenir-suvenir lain. Atau mungkin memberi dorongan kecil agar purwarupa itu tampak jelas atau diinteraksikan. Lihat reaksinya. Bila mereka ingin membeli, katakan itu hanya bahan ujicoba. Setelah itu mintalah umpan balik dari mereka melalui pertanyaan dengan jawaban bebas: apa, mengapa, siapa, dimana, kapan, bagaimana.

Bila purwarupa berhasil mendapatkan reaksi ketertarikan yang jujur, bahkan sampai hendak dibeli, plus mendapat umpan balik; anda berhasil. Kini saatnya mengembangkan purwarupa itu ke dalam proses produksi dan menyempurakannya berdasarkan hasil umpan balik. Bila gagal, buang purwarupa itu. Ulangi lagi prosesnya dari awal sampai anda berhasil menggunakan informasi umpan balik.

Di titik ini kita sudah bisa membayangkan bagaimana kegagalan bisa dirancang, dikontrol, dan dimanfaatkan hasilnya untuk kesuksesan. Yang pasti, proses ini tidak menghabiskan uang banyak dan waktu yang panjang. Metode ini membuat kita bisa memperlakukan bisnis bukan sebagai pertaruhan hidup-mati, tapi pembelajaran. Bila kawan saya tadi memiliki modal Rp 10 juta, ia hanya harus menghabiskan Rp 100-200 ribu per purwarupa untuk diuji. Anggaplah ia baru berhasil di purwarupa yang ke-10, maka modalnya hanya habis Rp 2 juta atau seperlima. Setelah itu ia bisa menggunakan sisa modalnya untuk memproduksi produk yang sudah tervalidasi. Kalau 10 purwarupa belum juga gagal, kemungkinan besar memang ada yang salah secara mendasar dan membuat kita harus kembali ke pertanyaan nomor 1.

3. BATCH KECIL
Anda ingin berdagang kuliner dan merasa resep rahasia sayur lodeh nenek buyut anda begitu dahsyatnya. Maka anda ingin bangun restoran. Anda tak mau kecil-kecilan dulu, maunya langsung besar (gengsi dong kalau kecil). Minimal 10 meja. Anda perlu modal besar yang tak anda miliki. Maka anda pergi ke bank dan 'menyekolahkan' sertipikat rumah. Restoran berdiri, pengunjung sepi, setahun tutup, rumah hilang. Terdengar familier?

Saya punya teman sejak SMA, Umy Novita namanya. Dulu ia bekerja sebagai staf di sebuah sekolah internasional di Balikpapan. Suatu hari ia keluar karena ingin menghabiskan lebih banyak waktu dengan keluarga dan memulai usaha sendiri. Umy pandai membuat kue. Ia menerima banyak pesanan kue yang dipromosikan dari mulut ke mulut atau media sosial. Ia tak punya toko kue, semuanya dikerjakan di rumah dan dibantu oleh keluarga. Kue yang ia buat hanya berdasarkan pesanan. Merk usahanya bernama Bakul Wadai (bahasa banjar: kue).

Tiba hari dimana Umy melakukan lompatan: menjual burger sebagai produk khas. Merknya Burger Si Lamak (bahasa banjar: gemuk). Usahanya tetap home kitchen dan memproduksi sesuai pesanan. Sampai suatu saat pesanan begitu banyaknya dan konsumen makin menuntut adanya kios. Akhirnya dia menyewa sebuah kios kecil di sentral kuliner di Balikpapan. Dari hanya 1 menu burger, kini Umy punya beberapa model burger yang ia hadirkan secara bertahap. Bisnisnya ramai. Dan kini  Umy meningkatkan lagi usahanya dengan usaha roti di luar burger, tapi masih home kitchen. Umy memang belum bisa beli mobil sport 7 buah dari hasil usahanya. Tapi Umy sukses menumbuhkan usaha kreatifnya secara sehat dan punya daya tahan.

Resep utama keberhasilan bisnis Umy bukan saos atau patty, tapi kemauannya menjalani usaha secara bertahap mulai dari kecil dan terus mengendalikan risiko. Ia menjalankan usaha yang membuatnya bisa tetap lincah dan mampu mendeteksi kesalahan dengan segera. Umy is smart. Be like Umy.

Memproduksi sesuatu mulai dari kuantitas kecil harus diakui kontra intuitif. Ekonomi yang kita kenal saat ini sebenarnya adalah bentukan pengajaran Winslow Taylor. Dalam buku fenomenalnya berjudul The Principles of Scientific Management yang terbit perdana tahun 1911, ia mengajarkan soal efisiensi yang bisa didapatkan dari produksi besar.  Baik itu efisiensi biaya, sumberdaya, maupun tenaga kerja. Namun Taylor pasti tidak membayangkan apa yang terjadi pada abad ke-21 sekarang. Ketika kapasitas produksi jauh melampaui kemampuan kita untuk menentukan dengan bijak apa yang mesti dibuat. Ekonomi kita sarat dengan pemborosan. Asalnya bukan dari pengorganisasian kerja yang tidak efisien, tapi karena mengerjakan hal-hal yang keliru. 

"Tidak ada yang lebih sia-sia selain mengerjakan hal yang sejatinya tidak boleh dikerjakan sama sekali," kata Peter Drucker.

Kita terkurung dalam doktrin batch besar karena percaya itu lebih menguntungkan dibanding batch kecil. Batch adalah proses yang dibutuhkan untuk menciptakan satu unit. Misal kita punya bisnis produksi keripik, maka lazimnya kita ingin memproduksi dalam batch besar, 1.000 bungkus sehari contohnya. Karena kita percaya bahwa itu adalah nilai optimum yang kita sasar. Maka kita beli mesin berkapasitas 1.000, bahan baku, kemasan, dan tenaga kerja yang banyak. Bukan main modalnya. Ketika produk kita ternyata gagal misal karena siklus hidupnya sudah selesai, munculnya kompetitor baru, perubahan perilaku konsumen, atau situasi ekonomi, batch besar itu memangsa diri kita sendiri.

Contoh sukses menggunakan batch kecil adalah Toyota. Usai perang dunia II, hanya pabrik otomotif AS yang mampu memproduksi mobil skala besar. Jepang sedang bangkrut. Tak ada uang untuk memproduksi besar. Hingga Taiichi Ohno dan Shigeo Shingo mengutak-atik mesin pabrik mereka agar bisa tetap efisien memproduksi berbagai komponen umum dalam batch kecil. Cara ini dikenal sebagai konsep single-exchange minute of die (SMED) yang sangat terkenal itu. Berkat batch kecil, Toyota mampu memproduksi produk yang lebih variatif dan melayani pasar yang lebih kecil dan terfragmentasi, tapi tetap bisa bersaing. Dengan batch kecil, Toyota bisa mengidentifikasi masalah kualitas lebih cepat daripada pabrikan AS.

Batch kecil diperlukan dalam usaha kreatif kecil. Tujuan usaha kita bukanlah memproduksi produk yang lebih banyak secara efisien -- setidaknya belum sampai ke situ -- tapi membangun bisnis yang berkesinambungan secepat mungkin. Bagaimana bila pasar dan konsumen berubah menjadi tidak menginginkan produk yang kita buat. Jelas ini bukan kabar baik, tapi lebih baik mengetahuinya lebih cepat. Untuk usaha kecil, bekerja dengan batch kecil bermanfaat meminimalkan risiko terbuangnya waktu, uang, dan pekerjaan bila produk kita nantinya tidak diinginkan oleh konsumen.

4. MULAI DARI YANG SEDERHANA
Apa yang dilakukan Umy di atas (sumpah, saya tidak punya hubungan gelap apapun dengan dia!) juga mencontohkan memulai bisnis dengan produk yang sederhana, tapi bisa memecahkan masalah dasar. Namun produk dasar itu bisa terus dikembangkan secara bertahap. Orang ingin burger, ya dikasih burger. Tidak neko-neko. Tidak diberi kemasan mahal nan cantik berharga mahal. Tidak pakai bendera burger. Tidak pakai kartu nama. Tidak pakai segala yang tidak perlu untuk memecahkan masalah dasar akan kebutuhan burger yang enak. Dengan demikian ia bisa menekan biaya yang otomatis mendapatkan laba yang baik. Produk seperti ini dinamakan minimum viable product (MVP); produk yang bisa memecahkan masalah dasar dan bisa terus dikembangkan. Tujuan utama MVP adalah memulai proses belajar, bukan mengakhirinya.

Metode ini juga kontra intuitif karena biasanya pencipta ingin barangnya langsung sempurna ketika sampai di pasar. Pengusaha punya visi yang membayangkan produknya berkualitas begitu tingginya hingga bisa mengubah dunia, buka coba-coba. Padahal, produk yang ia anggap sempurna itu belum tentu berhasil di pasar. Tak hanya itu, membuat produk sempurna akan membutuhkan waktu, tenaga dan uang sangat besar. Yang ketika gagal, bayangkan pemborosan yang dihasilkan.

Bahkan iPhone generasi pertama pun tidak bisa 3G, tak punya fitur copy paste dan MMS.

5. BANTING SETIR
Kalau kita melakukan 4 metode di atas, maka kita sudah siap melihat kegagalan sebagai proses yang wajar, terkendali, dan jalan menuju keberhasilan. Bukannya kegagalan yang membuat KO. Karena kita sedang melakukan proses pembelajaran yang terus-menerus, bukan pertaruhan. Lalu sangat mungkin kita tiba pada masa ketika produk atau purwarupa kita ternyata gagal di pasar. Langkah-langkah di atas memungkinkan kita untuk mengambil langkah selanjutnya: banting setir.

Banting setir atau pivot adalah koreksi arah yang terstruktur untuk menguji hipotesis fundamental baru tentang produk, strategi, dan mesin pertumbuhan. Bisnis yang produktif bukanlah yang banyak mengeluarkan barang atau fitur baru. Tapi yang mampu menggiring pekerjaannya menjadikan bisnis yang terus tumbuh. Dengan kata lain, banting setir dengan benar adalah keterampilan esensial untuk menciptakan usaha yang berkesinambungan. Seringkali, dalam banting setir ini kita mesti kembali ke langkah nomor 1 atau 2.

Harus diakui banting setir membutuhkan keberanian, terutama bila produk kita sebelumnya sudah sukses bertumbuh. Tak hanya harus keluar dari zona nyaman, tapi kembali dihadapkan pada sesuatu yang tak pasti. Sementara bertahan dengan produk yang sudah habis siklus hidupnya atau purwarupa yang gagal, hanya akan mengantarkan kita kepada kematian usaha dan kerugian lebih besar.

Namun banting setir tidak semenyedihkan itu. Karena kita masih disokong oleh basis konsumen yang telah terbentuk. Banting setir bukan berarti otomatis kita mesti menarik produk lama. Ia bisa dilakukan lewat berbagai cara: mengubah segmen, memposisikan ulang produk, mengubah pola distribusi, mengubah arsitektur bisnis, sampai mengubah hipotesis fundamental kita. Tergantung dari apa penyebab yang membuat kita harus banting setir.

6. TUMBUH DAN UKUR
Bisa jadi ini pekerjaan yang paling membosankan, paling rumit, tapi sekaligus paling penting. Bila tak bisa diukur, berarti bukan bisnis. Bisnis selalu harus bisa diukur dan dihitung. Kita jelas punya target usaha di awal, tugas kita selanjutnya adalah mendekatkan nilai riil yang kita dapat dengan nilai ideal (target) yang kita tetapkan di awal. 

Acuannya hanya 3: pertumbuhan, kecepatan, dan efisiensi.

Mulailah dengan target pertumbuhan, jangan kuantitas. Bila memulainya dengan angka volume, maka kita akan terjebak dalam batch besar. Yang penting adalah usaha yang bertumbuh, dan pertumbuhan itu terjadi dalam kecepatan yang tepat. Misalnya target kita dalam setahun adalah mencapai pertumbuhan rata-rata per bulan 10%, ini sudah baik. Bila kita memulainya dari volume 100 unit, maka bila di bulan ke-2 terjual 110 unit berarti kita sudah mencapai kecepatan yang benar. Bila ternyata pertumbuhannya tak sesuai target atau kecepatannya melambat, berarti ada yang salah dan mesti segera kita tangani.

Salah satu cara meningkatkan laba adalah menekan biaya. Upaya menekan biaya harus menjadi pekerjaan yang berkelanjutan. Tak hanya menyingkirkan biaya yang tak berdampak langsung pada keberhasilan produk, tapi juga memaksimalkan hasil pada setiap sumberdaya yang kita miliki. Misal, kita bisa mengganti kemasan produk yang lebih efisien tapi tak mengurangi nilai di mata konsumen. Atau, bila kita memiliki anggaran beriklan di media, kita bisa menghapusnya dengan cara memanfaatkan dan mengoptimasi media sosial. 

Dalam melakukan efisiensi biaya ini, ingatlah Prinsip Paretto 80-20. 20% komponen pada produk menghasilkan dampak 80% pendapatan. Namun 80% komponen sisanya hanya berdampak 20% pendapatan. Artinya, yang kecil ternyata menghasilkan yang besar, dan yang menghabiskan yang besar hanya menghasilkan kecil. Dengan demikian kita bisa memangkas yang 80% dan mengoptimasi yang 20%.

7. DAYA TAHAN
Pebisnis kecil juga seringkali hanya sibuk dengan hari ini, tapi tidak memetakan apalagi merancang masa depan. Proyeksi bisnis paling jauh yang biasa kita buat adalah ketika mencapai titik impas, 2-3 tahun. Kita seringkali tidak bertanya apa yang terjadi dengan bisnis kita 10 tahun mendatang? Pertanyaan ini sulit dijawab, tapi mudah dikhayalkan.

Sulit dijawab karena banyak faktor yang mesti diperhitungkan. Munculnya kompetitor baru, pembajakan, perubahan perilaku konsumen, teknologi baru, situasi ekonomi, hingga kebijakan pemerintah (Jokowi salah lagi). Kalau dipikir dengan serius, jawaban-jawaban ini malah bisa membuat gentar yang akhirnya kita enggan memulai usaha. Mudah dikhayalkan karena kita hanya punya skenario sukses --- kawin lagi tadi itu.

Saya mengajukan pertanyaan kepada kawan saya yang ingin berbisnis suvenir tadi: bila sampai sekarang belum ada suvenir dengan brand kuat di Balikpapan, mungkin karena belum ada yang mengujinya sehingga belum tervalidasi. Karena belum tervalidasi, orang enggan bermain di situ. Tapi bila kamu mengujinya lalu ternyata tervalidasi dan produkmu sukses, pasti pemain lain bermunculan, baik yang resmi atau yang membajak produkmu. Bahkan bisa saja pemain China datang meniru produkmu dan membanjiri pasar dengan harga lebih murah. Apa yang akan kamu lakukan? Apa yang memastikan bahwa bisnis atau produkmu ini punya daya tahan minimal 10 tahun ke depan?

Dia belum tahu jawabannya. Kalau kita juga diberi pertanyaan begitu, mungkin juga susah menjawabnya. 

Ketika hampir semua hal mungkin dibuat, maka begitu juga replikasi. China membuktikannya, dan mereka punya model produksi dan model bisnis yang sangat andal untuk kegiatan ini. Desain, bentuk, tampilan, kegunaan, rasa, semua bisa direplikasi -- bahkan ketika sudah dipatenkan sekalipun. Yang hampir tak mungkin direplikasi adalah nilai (value). Karena nilai dibangun melalui visi yang kuat dan kultur yang ditempa terus-menerus. Nilailah yang akhirnya memberi pengalaman berbeda-beda pada setiap produk. Kita bisa membuka gerai ayam goreng dengan resep KFC yang bertebaran di internet. Tapi kita tak bisa mereplikasi visi, nilai dan kultur KFC. Karena setiap bisnis itu unik dan mampu mengantarkan pengalaman yang berbeda. Ketika bisnis kita tak memiliki visi dan acuan nilai, kita tak memiliki daya saing yang bisa membuat usaha kita berkelanjutan.

Hal ini tampak pada bisnis waralaba yang (pernah) subur di Indonesia. Orang-orang berlomba menciptakan warlaba mulai dari keripik, es cendol, sampai kebab. Pokoknya semua diwaralabakan. Pada akhirnya kita melihat waralaba kecil berbentuk kios-kios itu bertutupan. Karena yang diandalkan hanya produk, sementara setiap produk punya siklus hidup. Mereka tidak memberikan nilai, karena nilai itu mesti ditempa dalam waktu yang tidak singkat. Sementara setiap bisnis waralaba bahkan langsung ekspansi di hari pertama mereka mulai tanpa sempat menciptakan nilai yang memastikan usaha mereka berkelanjutan.

Ingat selalu bahwa kita ingin membangun usaha yang berkesinambungan, bukan yang 1 tahun tutup. Untuk mencapai kesinambungan dan kelanjutan itu, kita mesti punya visi kuat sebagai bekal menciptakan nilai. Contohlah Dagadu. Kaos mereka dibajak habis-habisan. Dagadu marah, tapi tidak bangkrut, makin hari makin maju. Karena daya tahan mereka tidak terletak pada kata-kata atau kualitas kaos -- sesuatu yang sangat mudah direplikasi. Tetapi dari daya kreativitas yang mengantarkan nilai dan pengalaman yang tak bisa diberikan para pengekor. Anda tak bisa mencontek daya kreatif, karena ia bermula dari visi kuat, penempaan dan pembelajaran yang terus-menerus. Tak ada mesin yang bisa mereplikasi itu semua.

***

Metode-metode yang saya paparkan di atas sejatinya memiliki detil, teknik, dan penjabaran yang lebih luas dan rumit. Tak mungkin saya tulis semua di sini. Tapi garis besar metode-metode ini adalah teknik ilmiah, terukur, dan akuntabel yang tumpuan utamanya adalah manusia, bukan uang dan barang. Saya rasa ini tantangan terbesar kita: memperlakkan bisnis sebagai sesuatu yang saintifik ketika kita menganggapnya lebih sebagai hasil karya intuisi dan pertaruhan. Ini sebabnya saya tetap tak bisa menjelaskan metode-metode ini kepada kawan saya: karena sejak awal ia 'menolak' sesuatu yang saintifik. 

Metode-metode ilmiah di atas juga bukan ilmu rahasia. Anda bisa mendapatkannya di berbagai buku seperti The Lean Startup, Sprint, Running Lean, Lean UX, Fail Fast Fail Cheap Fail Happy, The Future of Radical Price, Zero to One, Lean Thinking, sampai Toyota Way. Sebagian besar belum ada terjemahannya dan belum populer di Indonesia namun sudah best seller di luar negeri.

Karena itu saya merasa perlu bertukar pikiran dengan banyak orang untuk membaurkan metode-metode ini. Bukan hanya demi membantu menciptakan dunia yang lebih baik, tapi juga menemukan metode-metode baru yang lebih baik dari pengalaman nyata kita masing-masing. Seperti juga yang dilakukan oleh Google Venture dalam mengimplementasikan metode-metode tersebut kepada ratusan startup yang mereka danai. Sains dalam memulai atau mengelola bisnis di atas tak hanya diterapkan pada produk digital, tapi juga produk non-digital, hingga instutisi pemerintah dan pendidikan. Dan terbukti sukses.

Kita perlu pendekatan-pendekatan baru untuk menciptakan dunia yang lebih sejahtera dan menghindari pemborosan yang berlebih-lebihan dalam kewirausahaan. 

Sains manajemen ala Taylor telah membentuk dunia yang kita kenal sekarang, dan terbukti punya masalah. Kita tak boleh menyerah. Kali ini pendekatan sains kembali memberikan metode-metode anyar yang bisa mengantarkan kita lebih dekat dan lebih cepat pada kesuksesan. Bila anda menjalankan sebuah industri kreatif, percayalah pada sains. Seperti juga sains adalah salah satu kreativitas terbesar manusia.

Data US Small Business Association menunjukkan bahwa 60-80% lapangan pekerjaan baru berasal dari usaha kecil. Orang-orang seperti kita yang bergerak di industri kecil khususnya industri kreatif, memiliki peran dan tanggungjawab penting untuk mewujudkan dunia yang lebih baik. Kita hanya perlu menemukan dan mengimplementasikan metode serta pendekatan baru yang bisa mengantar kita pada rasio keberhasilan yang lebih tinggi dan tak memboroskan berbagai sumberdaya paling berharga yang kita punya.(*)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun