Oleh: Hilma Nuraeni
Ia berdiri di balik cahaya malam,
mengenakan gaun tipis dari sisa-sisa masa muda
yang pernah membuat dunia menoleh.
Tapi kini, angin bertiup pelan,
dan semua yang dulu gemerlap
hanya menjadi bayangan samar di cermin kamar.
Orang-orang berkata ia cantik,
seperti musim semi yang lewat sesaat.
Tapi musim berganti,
dan ia takut
bunga yang layu tak lagi dicium,
hanya disapu pelan,
lalu dilupakan.
Ia menatap langit seperti menatap Tuhan
dengan pertanyaan sederhana yang menyayat,
"Jika aku tak lagi muda dan memesona,
akankah aku tetap dicinta?"
Ia tak ingin kekal,
ia hanya ingin dikenang bukan karena kilau pipi,
tapi karena apa yang ia bawa dalam senyap,
kerapuhan, lembut, dan hati
yang pernah mencintai tanpa syarat.
Ia menyebut nama cinta
dalam doa yang tak pernah keras,
karena ia tahu,
kadang cinta datang bukan untuk tinggal,
hanya untuk membuatmu merasa cukup indah
meski tak lagi disebut cantik.
Dan saat lilin mulai redup,
dan bayangan wajahnya tak lagi utuh di kaca,
ia mengulum senyum,
karena pertanyaan itu masih ada,
tapi kini ia tahu, ia pun tetap bisa mencinta,
meski tak ada yang menjawabnya.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI