Mohon tunggu...
Hikmah Amalia Hasanah
Hikmah Amalia Hasanah Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Sejarah dan Peradaban Islam di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Saya merupakan mahasiswa akhir Sejarah dan Peradaban Islam di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang memiliki berbagai macam ketertarikan akan topik-topik tertentu, seperti halnya politik, ekonomi, sastra, agama, serta hal-hal lainnya yang tentunya disajikan dalam narasi tulisan sejarah. Dengan itu, tetap nantikan terus tulisan saya, selamat membaca ...

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Stimulus Kesejahteraan Rakyat atau Oligarki?

18 Desember 2022   10:00 Diperbarui: 18 Desember 2022   10:20 577
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Kesejahteraan merupakan kata yang sangat mudah untuk diucapkan, namun dalam pelaksanaannya malah menunjukan realita yang sangat berkebalikan. Bahkan menurut Lee Kuan Yew dalam buku One Man's View of The World dikatakan, "Indonesia merupakan negara yang dikaruniai sumber daya alam melimpah. Kekayaan alam itu semestinya bisa dijadikan sebagai salah satu modal untuk berkembang menjadi negara maju." Namun naas hingga 76 tahun pasca kemerdekaanya, Indonesia tetap tak kunjung maju bahkan untuk mengecap nikmatnya kesejahteraan pun sangat sulit untuk mereka rasakan.

Permasalahan yang menerpa Indonesia pun tak pernah kunjung usai, bahkan masyarakat Indonesia harus menerima fakta bahwa dalam pentas demokrasi yang selama ini kian dijunjung tinggi menjadi pedoman terbaik dalam menjalani kehidupan berbangsa dan bernegara, harus rela ternodai dengan aksi-aksi para oligarki (kalangan elit) yang haus akan keinginan untuk menambah serta melindungi kekayaannya. Dalam melaksanakan aksinya, para oligarki menjadikan Negara sebagai alat untuk mencapai tujuan mereka, sehingga tujuan yang menyangkut kesejahteraan rakyat, keadilan, dan kemerdekaan perorangan mereka abaikan begitu saja.

Sebagaimana dikutip dari pernyataan Winters, bahwa "sistem oligarki pertama kali muncul di Indonesia pada tahun 1970 yang dibangun oleh Soeharto." Dalam memuluskan aksinya, pemimpin yang kita kenal akan kediktatorannya ini berlagak layaknya seorang The Godfather yang seolah dengan sangat dermawan membagi-bagi kekayaan yang justru bukan kepemilikannya, namun kekayaan alam Indonesia yang ia bagikan pada kelompok-kelompok tertentu, seperti kelompok para jenderal, penguasa etnis Tionghoa dan kelompok pribumi. 

Akan tetapi, sistem oligarki ini mulai mengalami gangguan setelah anak-anak Soeharto menjadi dewasa dan mulai berbisnis, tingkah laku mereka pun menjadi sulit untuk dikendalikan hingga akhirnya menjadi salah satu stimulus yang mendorong pemerintahan Soeharto jatuh menuju jurang kehancuran.

Namun pertanyaannya kini, Mengapa jatuhnya pemerintahan yang buruk tetap tak mampu menghadirkan kesejahteraan bagi rakyatnya?. Maka dalam menganalisis permasalahan ini, terdapat salah satu jawaban yang diungkapkan oleh Olson, alasannya karena perubahan politik dari otoriter menuju demokrasi hanya merubah tipe penjahatnya yakni perubahan dari "penjahat yang diam (pasif)" menjadi "penjahat yang aktif". Dengan demikian, dapatlah kita fahami bahwa metode otoritarian yang diterapkan di masa Orde Baru memang terbukti mampu menekan kekuasaan para oligarki untuk tetap bersikap pasif dan hanya tunduk di bawah kendali mutlak Soeharto. 

Akan tetapi, tatkala gaung kebebasan telah diperdengarkan secara lantang kepada seluruh kalangan masyarakat, momentum ini malah menunjukan gejala yang berkebalikan, di mana seharusnya era kebebasan ini dapat menstimulus tercapainya kesejahteraan di dalam kehidupan masyarakat, malah tampaknya lebih berhasil menstimulus kesejahteraan para Oligarki.

Karena gelar sebagai penjahat aktif telah secara resmi mereka sandang, maka berbagai aksi yang mereka lakukan pun cenderung dijalankan secara terbuka dan menyebar ke dalam banyak kutub persaingan kaum elit. Mereka saling-bersaing memperebutkan posisi puncak kekuasaan, yang secara khususnya mereka perjuangkan melalui mekanisme kompetisi electoral yakni ajang Pemilu. Dengan demikian, wajar saja bila masyarakat Indonesia merasa sangat kecewa kepada para pemimpinnya karena ajang Pemilu yang seharusnya dapat menjadi pentas dari terwujudnya demokrasi di Indonesia malah harus ternodai dengan aksi-aksi bejat para oligarki.

Gambaran umum yang dapat mewakili sebagian aksi dari para oligarki dapat kita lihat dari tulisan Sistim Politik Oligarki yang ditulis oleh seorang dosen Sejarah di Fakultas Adab & Humaniora UIN Jakarta yakni bapak Saidun Derani, dikatakan bahwa Prof Mahfud MD menyebutkan situasi yang terjadi di Indonesia adalah politik transaksional, di mana dalam Pilkada untuk tingkat Bupati/Walikota dibutuhkan dana kisaran Rp 30 - Rp 50 M, Pilkada Gubernur kisaran Rp 50 -- Rp 100 M, dan Pilpres kisaran dana yang dibutuhkan Rp 6 - 7 Triliun. Maka bila kita analisis, bahwa para kandidat tidak akan mampu mengeluarkan dana sebesar itu jika tidak dibantu oleh para oligarki yang juga kebanyakan berasal dari kalangan Taipan. Dengan kekayaan yang mereka miliki baik itu dalam bentuk audit maupun non-audit, mereka gunakan secara cermat untuk membayari para politisi pada masa kampanye, sekaligus suara pemilih pun mereka beli melalui uang yang digelontorkan lewat para politisi yang mereka bina atau dukung.

Tentunya dana yang mereka kucurkan tidak diberikan secara gratis, karena dibalik itu semua mereka menjadikan partai-partai tersebut sebagai alat untuk memuluskan tujuan-tujuan mereka. Sehingga sangatlah mungkin bagi para oligarki untuk menentukan pejabat mana yang patut diangkat atau dipilih untuk menduduki jabatan-jabatan publik. 

Maka dari hubungan yang terjalin antara partai politik dan oligarki ini mengarahkan kepada kita bahwa kebijakan-kebijakan yang diterapkan kepala daerah maupun negara seringkali tidak memihak kepada rakyat  karena memang sebenarnya UU yang mereka bentuk dan jalankan itu bukan diarahkan untuk kepentingan rakyat seperti slogan demokrasi yang selama ini digaungkan, namun kebijakan-kebijakan tersebut murni diarahkan untuk kepentingan para Oligarki.

Lalu bagaimana solusinya? Apakah kita hanya menyaksikan dan menerima kenyataan akan ketertindasan rakyat di bawah jeratan oligarki?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun