Mohon tunggu...
Hida Al Maida
Hida Al Maida Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Sastra Indonesia Universitas Sumatera Utara

Seorang introvert yang menyukai seni, puisi, langit, bintang, hujan, laut, bau buku, dan menulis. Punya kebiasaan aneh berbicara dengan diri sendiri, dan mencoret-coret setiap halaman paling belakang buku pelajarannya karena merasa isi kepalanya terlalu meriah, riuh, dan berisik untuk didiamkan begitu saja. Gemar menulis novel, puisi, serta tertarik tentang banyak hal berkaitan dengan hukum, perempuan, dan pendidikan. Baginya, setiap hal di muka bumi ini adalah keindahan dan makna yang perlu diselami sampai jauh, sampai kita menemukan sesuatu bernama hidup.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Surat Putih dan Perjalanan Kereta (Bagian 1)

2 Desember 2022   23:11 Diperbarui: 2 Desember 2022   23:29 368
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

            "Memangnya apa kabar yang lebih baik dari itu?"

Ryshaka tertawa pendek. "Kalau begitu, belajar sajalah! Kau harus mengejar gelar sarjanamu."

Renjana tak menyahut. Ryshaka mengunci mata di pandangan gadis itu, mengikutinya. Melihat pria tambun yang duduk di kursi sebelah mereka tengah tertidur pulas sembari mendengkur, juga balita di bangku depannya yang memencet-mencet perut pria itu sembari terkekeh geli. Tidak ada ekspresi berarti di wajah Renjana. Padahal dalam ingatan Ryshaka, Renjana yang lama akan tersenyum geli melihat momen sederhana itu.

Sesuatu benar-benar telah mengubahnya.

"Kurasa ada banyak hal yang tidak kau percayai lagi di dunia ini, Nana," celetuk Ryshaka. Renjana mengangguk tanpa menatapnya.

"Ada banyak sekali," katanya bergumam. Usai melepaskan pandangannya dari pria tambun dan balita di sebelah mereka, gadis itu melepas sepatunya, lalu duduk bersila di bangku kereta yang tak seberapa luas.

Ryshaka masih jadi pengamat setianya. Menggali-gali ingatan masa lampau sembari membandingkannya dengan sosok yang ada di depannya. Benar-benar berubah. Bukan garis wajahnya yang mendewasa, tetapi tulang pipinya yang menonjol. Urat-urat tangannya menyembul, kontras dengan warna kulitnya yang pucat dan rapuh. Lalu, saat Ryshaka menatap wajahnya lagi, pria itu sulit menemukan adanya nyawa di sana.

Ryshaka berdehem. Mendadak merasa ada atmosfir sendu di atas kepala Renjana yang tengah mengintainya---melarang Ryshaka untuk tertawa lagi. "Di antara banyak hal yang sudah tidak kau percaya, apa yang masih kau percaya."

            "Rasa sup buatan Ibuku, kue mata ikannya, telur dadar di pagi hari, dan... suaranya. Aku masih percaya semua itu tidak akan berubah. Ah, ya, aku juga masih percaya Tuhan dan diriku."

            "Itu berarti kau tidak terluka sebanyak itu."

            "Luka tidak boleh diukur dari kuantitas atau kualitas lukanya, tapi dari kuantitas dan kualitas hati penerimanya," sahutnya terlalu cepat. Kentara sekali tidak terima.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun