"Di SBP saya merasa berada di dunia baru dan itu sangat menerima saya. Saya berbahagia, makanya sampai sekarang  masih ada di SBP," jelas lulusan SMA Negeri 2 Yogyakarta itu.
Tosa San Tosa meyakini bahwa dunia seni membuat siapa pun lebih bernilai.
Sonia Prabowo, perempuan muda serba bisa, meskipun berlatar belakang sekolah ekonomi dan bekerja di lembaga penelitian di bawah pimpinan Mari Pangestu, sangat menyukai seni.
"Saya tidak pernah menyatakan diri sebagai seniman karena saya anak baru di segala lini. Baru belajar dengan teman-teman dengan modal nekat, sing penting dadi," ujar penghobi memotret, merendah.
Ia nekat membuat buku puisi pertamanya. Niat semula menghadirkan buku fotografi, tapi karena punya banyak puisi, curahatan-curhatan sing ora cetho, akhirnya jadilah buku puisi.Â
Ketika itu, setelah covid berlalu, Mas Farid (fotografer) memperkenalkan dirinya kepada Mas Ons Untoro (koordinator SBP), sejak itulah ia lalu terlibat dalam kegiatan SBP.
"Terus terang saya tidak pernah masuk komunitas karena  tidak suka berkomunitas, kecuali di SBP. Hal ini terjadi karena sikap teman-temen di sini netral dan semua ingin maju bersama," ujar Sonia bangga sekaligus penuh haru.
Di SBP, ia merasa nyaman karena dalam pelaksanaan kegiatan selalu berjalan lancar, meskipun tanpa iuran.
Bagi saya pribadi, Ons Untoro, pendiri sekaligus koordinator SBP merupakan sosok yang sekaligus berperan sebagai pengayom, Â pembaca (kritikus), merangkap penulis.Â
Modal yang ia punyai untuk "menghidupi" SBP selama empat belas tahun adalah masa lalunya yang tidak dapat dilepaskan dari LSM, aktivis mahasiswa, kedekatan dengan media massa/jurnalistik, gedung kesenian, dan kepiawaiannya menjaga relasi dan ngopeni orang-orang yang diprediksi mampu melangkah lebih jauh.Â