Mohon tunggu...
Herry Mardianto
Herry Mardianto Mohon Tunggu... Penulis

Suka berpetualang di dunia penulisan

Selanjutnya

Tutup

Seni Artikel Utama

Sastra Bulan Purnama, Merawat Kebersamaan Pecinta Sastra

10 Oktober 2025   10:09 Diperbarui: 10 Oktober 2025   20:54 299
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Majalah peninggalan Romo Dick Hartoko/Foto: Hermard

Mengapa pengembangan dan perkembangan sastra terus berdetak tak pernah mati di Yogyakarta? Apakah semata-mata karena penerbitan buku karya sastra tak lekang oleh waktu? Atau karena banyaknya perguruan tinggi dengan jurusan seni, bahasa, dan sastra? Barangkali bisa  juga disebabkan oleh banyaknya media (majalah, koran) yang memiliki rubrik budaya dan sastra?

Bagi saya pribadi, sebagai kota seni dan budaya, Yogyakarta memang merupakan lahan subur untuk tumbuh kembang kesenian, termasuk di dalamnya dunia sastra. 

Dari lahirnya koran Kedaulatan Rakyat, Minggu Pagi, Bernas, majalah Basis, Citra Yogya, munculnya era buku indie, dan berbagai platform media sosial pada belakangan ini, Yogyakarta senantiasa menghadirkan denyut sastra tak berkesudahan.

Majalah peninggalan Romo Dick Hartoko/Foto: Hermard
Majalah peninggalan Romo Dick Hartoko/Foto: Hermard
Detak sastra  tidak hanya berasal dari institusi formal, melainkan tumbuh berkat keberadaan berbagai komunitas sastra yang setia merawat ruang perjumpaan dengan cara mereka masing-masing.

Komunitas sastra mengakar kuat dalam pertumbuhan sastra di Yogyakarta. Setidaknya jika seseorang ingin menulis perkembangan sastra di Yogyakarta, tidak mungkin ia bisa lepas dari pengamatan terhadap komunitas Persada Studi Klub (PSK) yang melahirkan sastrawan-sastrawan kampiun seperti Iman Budhi Santosa, Emha Ainun Nadjib, Mustofa W Hasyim, Korrie Layun Rampan, Linus Suryadi AG, dan lainnya. 

Kehadiran PSK didukung Umbu Landu Paranggi, Teguh Ranusastra Asmara, Ragil Suwarna Pragolapati, Soeparno S. Adhy, Mugiyono Gito Warsono, dan M. Ipan Sugiyanto Sugito.

Mengenang Umbu Landu Paranggi dan PSK/Foto: Hermard
Mengenang Umbu Landu Paranggi dan PSK/Foto: Hermard
Di samping itu ada pula Komunitas Sanggar Bambu, Bengkel Teater Rendra. Belakangan ini hadir Komunitas Kutub, Teater Remaja Bantul (Komatera), Komunitas Sastra Pleret, Komunitas Regas Kulon Progo, Sanggar Sastra Wiwitan (Sawit), Komunitas Sastra PlayOn Gunung Kidul, dan Komunitas Sastra Samudra Sleman.

Kehadiran berbagai komunitas sastra itu menjadi semacam "dapur" tempat kreativitas dan beragam ide dikelola dan dimatangkan bersama. 

Anggota komunitas tidak hanya sekadar berkumpul membaca puisi, melainkan belajar bersama, menjadikan komunitas sebagai rumah dalam menumbuhkan generasi baru penulis dan penggiat sastra. Peran inilah yang membuat ekosistem sastra di Yogyakarta hidup berdaya guna, lentur, dan dinamis.

Para pandemen SBP/Foto: Hermard
Para pandemen SBP/Foto: Hermard
Meskipun proses kreatif penulisan sastra bersifat individual, tetapi iklim kehidupan sastra di Yogyakarta turut dibangun atas jejaring komunitas atau sanggar sastra yang saling menghidupi.

Memaknai Komunitas Sastra Bulan Purnama

Tidak dapat dipungkiri bahwa kehidupan sastra ditentukan oleh sinergi timbal balik antara pengayom, penulis, dan pembaca (kritikus). 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Seni Selengkapnya
Lihat Seni Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun