Hari ketiga, Rabu (02/04/25) tugas kami lanjutkan. Kami membaca konsep Kitab Kejadian dalam Bahasa Amanatun. Kami mulai dari pasal 11, cerita tentang pembangunan Kota Babel. Seterusnya kami membaca pasal 12 - 15. Jumlah keseluruhan ayat  yang kami baca dan bahas dalam diskusi hari ini sebanyak 115 ayat.
Saya mencoba mengulangi jumlah pasal dan ayat yang kami baca dalam tiga hari ini.
- hari pertama, 3 pasal 80 ayat
- hari kedua, 7 pasal 187 ayat
- hari ketiga, 5 pasal 115 ayat
Bila ada pertanyaan mengapa berbeda jumlah pasal dan ayat ketika membaca dan mendiskusikan? Jawabannyan yaitu tingkat kesulitan yang didapati. Pada hari pertama, walau pun hanya tiga pasal dengan 80 ayat yang kami baca, namun tingkat kesulitan yang dihadapi sangat berat.Â
Pasal 1 dan 2 mencatat penciptaan langit dan bumi. Hal yang tidak segera dengan mudah dapat dipahami oleh akal ketika membawanya ke dalam bahasa lokal. Bahasa lokal (daerah) punya keterbatasan untuk melukiskan suatu hal yang diucapkan dan ditulis dalam bahasa Ibrani, selanjutnya perlu diterjemahkan ke dalam bahasa daerah (dalam hal ini, Bahasa Amanatun, salah satu cabang dari Bahasa Meto').
Pasal 3 tentang kejahatan manusia, manusia tidak memedulikan Tuhan. Selanjutnya Tuhan menghukum manusia. Dalam 3 pasal pertama ini, penciptaan langit dan bumi, laut dengan segala isinya, hingga manusia pertama baik laki-laki dan perempuan, kejatuhan dalam dosa, hukuman dan janji berkat yang Tuhan sediakan.
Begitulah tingkat kesulitan yang dihadapi oleh karena materi dalam teks yang bersifat filosofis, sangat berat untuk dengan mudah dipahami, apalagi langsung memahaminya ketika mendengar untuk pertama kaliny dalam bahasa daerah bahkan oleh pemilik/pengguna bahasa daerah itu sendiri.
Ketika melanjutkan ke dalam pasal-pasal selanjutnya, materi dalam teks bersifat naratif. Cerita-cerita kejatuhan manusia ke dalam dosa, hukuman Tuhan dengan air bah (banjir besar), hingga catatan silsilah-silsilah. Maka terasa memudahkan dalam pembahasan.
Nah, hal-hal menarik dalam diskusi yang ada hubungannya dengan kehidupan masyarakat pah Amanatun yang didapatkan hari ini antara lain:
- kekerabatan. Dalam catatan hari kedua telah disebutkan istilah-istilah kekerabatan; namun dalam hubungan dengan perkawinan, catatan yang satu ini menjadi menarik. Mengapa? Karena dalam hal budaya perkawinan, masyarakat Pah Meto' pada umumnya, khususnya di Amanatun mengenal istilah fee lanan, harfiah ~ isteri jalan. Maksudnya, bakal isteri. Seseorang perempuan muda (gadis) yang disebut bakal isteri, dapat dijadikan isteri sah oleh seorang laki-laki muda (pemuda). Mereka yang akan menjadi suami-isteri di kemudian hari akan melewati proses mafutu' ~ terikat/diikat oleh orang tua mereka. Gadis dan pemuda yang "diikat" dengan tali perkawinan sejak semula yakni mereka yang ada hubungan kekerabatan. Anak paman (om) dapat menikahi anak bibi (tante); sementara anak laki-laki dan anak perempuan dari keturunan ayah yang bertalian kakak-adik tidak diperkenankan, begitu pula anak-anak laki-laki dan perempuan yang lahir dari keturunan perempuan yang bertalian kakak-adik.
- Pakaian ~ blua'; Beberapa kata yang dipakai oleh pengguna Bahasa Amanatun kain tenun untuk laki-laki disebut mau', kain tenun untuk perempuan disebut tais, kain tenun kecil disebut mau' ana'. Baju ~ fanu ; celana ~ a'noso' ~ 'noso; celana panjang ~ a'noso mnanu', 'noso mnanu'; celana pendek ~ a'noos tuka' ~ 'noos tuka'; baju lengan panjang ~ fanu mnanu'; baju lengan pendek ~ faun tuka'.
- koot, ~ kata ini diterjemahkan benteng. Ya,masyarakat Pah Meto' mengenal benteng dengan nama lokal koot. Lantas kurang memahami bahwa benteng dapat pula dimaknai sebagai kota. Dalam budaya lisan ketika akan bersyair, kota dipadankan atau dimajemukkan dengan tanjung, menjadi koot ma namo; koot ~ kota dan namo ~ tanjung. Ketika ada pernyataan misalnya mok kai tal amtia koot ma namo ~ harfiah membersamai kami sampai kota dan tanjung. Faktanya, banyak kota dibangun di pesisir pantai.
- niis ~ menang. Dalam dokumentasi kata-kata dalam Bahasa Meto', tidak ada antonim dari niis ~ menang. In niis ~ dia menang;. Lalu bagaimana jika dia kalah? Orang akan menggunakan kata, in niis naan kau, harfiah dia menang saya. Tidak ada kata khusus untuk menyebut kalah. Jika demikian, maka orang berbudaya niis merupakan pekerja keras yang selalu mau menang.
- pauk 'nopo' ~ satu istilah yang nyaris punah; padahal fakta bahwa benda ini masih ada dan sering digunakan. Pauk 'nopo' ~ paku 'nopo' ~ obor. Masyarakat lebih suka menggunakan kata obor sehingga kata/istilah paku 'nopo' ~ pauk 'nopo' menjadi punah secara perlahan.
Diskusi menjadi menarik, menguras pengetahuan berbahasa daerah yang dimiliki oleh para pembaca. Sementara Pembina Tim mesti memiliki pengetahuan plus agar dapat memberi pencerahan pada pembaca yang awam dan tim yang menyusun konsep.
Ketika beristirahat saya mencoba bemain-main dengan kata mu'it, ha'mu'it, dan beberapa bentuk perubahannya. Hasilnya seperti inil.