Rabu (26/2/25) sambil menunggu upacara wisuda di Kampus Institut Seni Indonesia Bali, kami memanfaatkan waktu untuk sekadar merasakan sesuatu yang berbeda sambil belajar. Sahabat kami mengajak untuk berkunjung ke Museum Perjuangan Rakyat Bali. Ia mengantar kami secara bergilir. Katanya dekat saja, jadi mengantar satu dan menjemput lagi. Saya lebih dahulu ada di halaman museum.
Sekelompok mahasiswa yang tergabung dalam organisasi kader kemahasiswaan, PMKRI, GMKI dan HMI bergabung dalam satu demonstrasi. Mereka memanfaatkan ruang terbuka di depan pintu masuk museum. Saya sempat mengabadikan dan menulis satu artikel pendek sebagaimana dapat dibaca di sini.
https://infontt.com/2025/mahasiswa-bali-demonstrasi-isu-lokal-dan-nasional/
Sekarang kami berempat telah ada di halaman depan museum. Lalu menuju ke loket pembayaran agar dengan itu kami mendapat izin untuk masuk ke sana. Sebelum menaiki tangga, oleh sahabat kami, ia membuat foto pertama.
Menaiki tangga, orang tua kami yang sudah 83 tahun cukup payah, namun tetap bersemangat. Mengapa? Kami mau mendapatkan pengetahuan dan pengalaman baru, sehingga dapat diceritakan ketika kembali nanti. Ya, walau cerita itu sendiri pasti tidak selengkap dan sesempurna aslinya (hehe).
Tiga kali kami harus berhenti agar rasa lelah pergi, mendapatkan energi baru, bangkit dan naik lagi. Kami tiba di dalam ruang pameran.
Di dalam ruang pameran ini terdapat miniatur kisah kehidupan masyarakat Bali dari zaman purba/pra sejarah, perubahan ke zaman sejarah di mana agama dan kebudayaan mulai menghidupkan, dan seterusnya sampai pada perjuangan melawan kolonial, hedingga bersatu ke dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia. Semua itu dibuatkan dalam bentuk media miniatur yang sangat mengesankan. Aspek edukasi sangat kental di sini. Museum ini mengedukasi pengunjungnya agar tidak sekadar melihat dan terkesan akan keindahan karya seni, tetapi membenamkan dalam otak dan kesan pada ziarah kehidupan masyarakat Bali dari zaman ke zaman.
Mari kita coba telusuriÂ
Melihat model miniatur (diorama) manusia Bali pada zaman berburu, ingatan dan pengetahuan kita terarah pada literatur sejarah peradaban purba. Pada literatur-literatur itu mengisahkan tentang nomadennya manusia. Mereka mendapatkan makanan dari berburu, menghuni gua-gua, mungkin melukis di sana. Ketika tinggal di dalam gua mereka dapat membuat peralatan tertentu baik dari batu maupun tulang.Â
Pada gambar (foto) ini dijelaskan bahwa manusia purba (pithecanthtropus erectus) sedang berburu babi hutan dengan peralatan kapak genggam dan memetik buah di pohon.Â
Selanjutnys pada masa perundagian (per-undagi-an).
Pada masa perundagian, pengetahuan umum pada kaum terdidik mengingat dan memahami apa yang disebut dengan Zaman Logam. Pada zaman Logam, terdapat 3 jenis logam yang dipakai untuk pengembangan ketrampilan/keahlian hidup. Ketiga jenis logam itu yakni: tembaga, perunggu dan besi.
Pada zaman ini, masyarakat Bali mengenal upacara penguburan jenazah. Hal ini terlihat dari produk seni tiga dimensi (diorama) yang dipamerkan. Menarik dan mengesankan.
Menelusuri artikel tentang zaman logam, pengetahuan didapatkan bahwa pada masa itu manusia sudah mengenal kategori ketrampilan. Pada masa sebelumnya berburu dilakukan secara kelompok dan mengumpulkan makanan siapa saja dapat melakukannya. Sementara pada zaman logam diperlukan orang yang trampil membentuk peralatan dari bahan tembaga, perunggu dan besi.
Berikutnya disebut masa stupika dan prasasti Sukawana.
Pada diorama dengan uraian singkat bertopik stupika dan prasasti Sukawana, dinyatakan bahwa sudah ada pertapa bersemedi di ceruk-ceruk. Ceruk di sini yakni lekukan pada dinding batu yang terjadi secara alamiah, bagai lubang pintu goa kecil saja. Pada masa itu masyarakat telah pula membangun asrama untuk para pertapa.
Ketika masyarakat mengenal stupika dan prasasti Sukawana, disebutkan bahwa zaman pra sejarah berakhir. Prasasti Sukawana berisi tulisan Bali Kuna (Kuno) yang menceritakan tentang pembagian tugas dalam kerangka kerja pengolahan lahan basah dengan sistem irigasi yang dikenal dengan nama subak.
Dikisahkan bahwa Markandeya merupakan nama salah satu resi kuno dalam agama Hindu. Ia terlahir dalam klan Resi Bregu. Ia merupakan putra Merkandu dan Marudmati. Ia diagungkan sebagai pemuja Siwa dan Wisnu, serta disebutkan beberapa kali dalam kisah-kisah Purana, khususnya Markandeyapurana. Di sana memuat dialog antara Markandeya dan seorang resi bernama Jaimini, dan beberapa bab dalam Bhagawatapurana didedikasikan untuk doa-doa yang dipanjatkannya. Markandeya dikenali oleh berbagai kalangan dan aliran agama Hindu.
Mahendradatta, masyarakat Bali mengenalnya dengan sebutan Gunapriya Dharmapatni. Ia puteri raja Sri Makutawangsawardhana dari wangsa Isyana. Ia menikah dengan Udayana, raja Bali dari wangsa Warmadewa. Pernikahannya menurunkan beberapa orang putera, di antaranya Airlangga yang kemudian menjadi raja di Jawa.
Gunapriyadharmapatni atau Mahendradatta lahir pada tahun 961 M. Tumbuh di istana Watugaluh, Jawa Timur. Dia putri raja Sri Makutawangsawarddhana dari periode Kerajaan Medang akhir dari Dinasti Isyana di Jawa Timur. Dia adalah saudara perempuan Raja Dharmawangsa dari Medang. Nama Mahendradatta dikenakan padanya setelah menikah dengan raja Bali, Udayana. Mahendradatta sebagai nama permaisuri.
Nah, masih banyak diorama yang sangat menarik. Kami terus melihat, membaca, dan berdiskusi, sambil membayangkan masa-masa yang sudah berlalu itu. Jauh, jauh di sana di belakang masyarakat modern ini.
Akan saya coba lanjutkan nanti. Saya hentikan sebentar di sini.
Kami balik ke penginapan dengan pendekatan yang sama. Sahabat pemotor mengantar dan menjemput. Saya sempat berkaki menelusuri jalan yang kami lalui. Dekat. Sayangnya, hujan turun amat lebat. Saya berteduh di emperan bangunan warung. Seorang konsumen melihat saya. Ia menjemput masuk ke dalam warung. Ternyata dia seorang perawat kesehatan hewan yang bertugas secara free di Denpasar ini. Ia menawari makanan, saya lebih memilih minum air kemasan saja.
Hujan belum reda, sahabat yang membawa motor tiba. Kami berbincang sebentar dengan sahabat baru kami ini. Ia berasal dari Timor Tengah Selatan. Nama belakangnya Fa'ot. Dia mau menyapa saya oleh karena melihat kain tenunan yang saya pakai di leher. Ya, satu kebiasaan belaka.Â
Sampai di sini dulu.
Menganti-Gresik, Jawa Timur, 2 Maret 2025
Heronimus Bani ~ Pemulung Aksara Â
Referensi
https://www.kompas.com/skola/read/2020/02/11/160000869/4-pembagian-zaman-prasejarah-berdasarkan-geologi?page=all#google_vignette
https://idsejarah.net/2019/03/sejarah-masa-perundagian-lengkap.htmlÂ
https://id.wikipedia.org/wiki/Markandeya
Â
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI