Zulaikha yang bingung dengan suasana jiwanya antara marah, takut, dan senang karena puluhan tahun ia tak merasakan pelukan seorang ayah lantas hanya bisa terus menangis. Sang ayah mengerti itu.Â
Dengan dipapah dalam sapuan hujan dan guntur, Zulaikha dan rombongan langsung diarahkan mendekati sekoci.
Dari ujung dinding kapal, Nahkoda melalui pengeras suara segera mengumumkan untuk dilaksanakan evakuasi.
"Minta bos untuk jemput pake heli saja!" sergah Bunda Ajeng.
"Tak mungkin. Topan hebat begini tak akan ada heli yang berani datang!" timpal ayah Zulaikha.
"Bapak, Zulaikha mau pulang. Zulaikha takut. Ayo kita pulang."
Ayah Zulaikha erat peluk sang putri. Enggan baginya membiarkan Zulaikha berlarut menggigil karena dingin malam dan ketakutan.
" Semua baik-baik saja, Nak. Bapak pun ingin pulang bersamamu."
Sebaris senyum mengembang dari bibir sang ayah. Lalu mata itu. Entah mengapa tatapan itu yang sungguh Zulaikha rindukan. Tatapan sosok pelindung yang menenangkan.
Dooarrr!!
Satu ledakan kembali ciutkan nurani. Api berkobar dengan asap ungu kehitaman membumbung dan menyebar. Mendadak buritan merendah. Kargo kian tumpah bahkan kini malah menggelinding menerjang ruangan depan lantai satu.Â