"Tenang, Mas," katanya sedikit menyesal atas respon dariku. Ku tampik tangannya. Mataku kini berkobar, ku rasakan guruh menyambari dadaku.
"Jahanam mana lagi yang kau kangkangi Zubaidah!! Jahanam mana?"
Zubaidah bersimpuh memohon ampun. Aku undurkan kaki. Gerakanku ini sungguh membuat nyeri yang bertumpuk-tumpuk. Keringat mengerumun membanjiri wajah. Aku nyengir kesakitan, tapi harga diriku bagai morfin yang enyahkan luka.Â
"Empat tahun aku kawin denganmu. Ku angkat kau dari warung hina di sana! Ku bilas lembaran buram hidupmu. Kau berjanji berubah. Kini kau ingkari sendiri, Zubaidah! Apa rumah dan kecukupan ini tak mampu beli setiamu barang untuk urus aku, Plak!!"
Satu tamparan mendarat di pipi kirinya yang pucat. Zubaidah terdorong mengelus pipinya. Bodohnya istriku itu bukan menjauh malah kini seperti memasang badan hanya untuk kemurkaanku.
"Jika itu bisa tenangkanmu, aku ikhlas Mas. Tapi sungguh aku mohon, kembalilah seperti dulu. Ini ujian kita. Percaya Mas, kasih Tuhan tak akan beri ujian di luar kemampuannya."
"Dua minggu lagi aku operasi, Zubaidah. Aku pun tak tahu bakal hidup atau mati setelah itu. Dan detik ini kau beri informasi yang sukar ku terima. Oh Tuhan matikan saja aku sekarang."
Zubaidah memelukku. Di rumah yang hanya kami berdua tinggal ini udara menguap dan mengembang. Dalam depresi pikiran karena akan menjadi beban seumuran, kutantang saja dia sekalian.
"Non Ivansive Prenatal Testing (NIPT), sore ini segera kau ke rumah sakit. Ambil sampel darah. Kita cek DNA bayi itu!"
Zubaidah menghela napas. Kurasakan denyut urat leher dan embusan itu menerjang telingaku.
"Ku lakukan sebagai bukti baktiku padamu, Mas."