Mohon tunggu...
Heri Purnomo
Heri Purnomo Mohon Tunggu... Administrasi - nothing

-

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

[Cerpen Mistik] Keris

2 Agustus 2016   20:38 Diperbarui: 4 Agustus 2016   03:28 858
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber Gambar: visualheritageblog.blogspot.com

Maka berangkatlah Rudie ke Toko Kado Mak Eka Murti. Toko ini terkenal lengkap barang-barangnya. Bahkan ibarat kata mau cari kado meriam pun ada di sana. Dan tanpa halangan berarti, Rudie berhasil menjual barang yang telah membuatnya khawatir dan was-was itu. Bahkan uang yang diterima pun tak dia pakai karena senangnya terlepas dari beban. Ia serahkan semua uang hasil jualannya kepada seorang pengemis yang biasa ia jumpai di dekat pasar. Rudie pun pulang dengan perasaan lega, seolah terlepas gendongan sebesar tempayan yang memberati punggungnya.

**

“Ting... tong “ suara lonceng berbunyi di rumah Alung . Ternyata Pakliknya, Pairunn Adi. Sebagai paman atau paklik, Pairun kerap bertamu ke rumah Alung. Dan di suatu malam yang hampir larut Paklik Pairun pun tak segan-segan mendatanginya.

“Wa’alaikum salam. Lho, paklik Pairun. Janur gunung, kok kadingaren berkunjung malam-malam begini? “ sapa Alung agak kaget, namun dengan mimik senang dan berseri-seri. Sudah lama paklik Pairun tak mengunjungi rumahnya. Dan malam ini ia datang, tentu ada kabar baik dan semoga bukan kabar buruk.

“Iya, Jo. Ada yang ingin kusampaikan padamu.”

“Oh ya, ada berita apa nih paklik? Apa Paklik Pairun mau mantu jeng Gendis Pambayun?” Tebak Alung sekenanya.

“Ah, gak Lung. Ini, aku mau menyampaikan kabar gembira buat kamu. Aku barusan dari Toko Kado Mak Eka Murti. Saat kulihat-lihat barang di sana aku lihat barang yang pernah dipunyai Bapakmu. Aku bingung mengapa barang itu bisa ada di sana. Apa mungkin dicuri orang terus dijual sekenanya? Untung paklikmu sempat melihat. Akhirnya aku beli saja barang itu untuk menyelamatkannya. Barang itu harus dikembalikan ke keluarga Bapakmu. Ya ke siapa lagi kalau bukan ke kamu, Alung. Karena kamu anak laki-laki satu-satunya. Nah, ini aku serahkan barang ini padamu. Kamu harus merawatnya baik-baik. Jangan sampai jatuh ke tangan orang lain. Ingat, peninggalan ini tak ternilai harganya. Jadi jangan sampai kamu menjualnya.”

“Hah...? “ Alung terbelalak. “Kenapa barang ini datang lagi? Hiks... apes. “ Alung berusaha menyembunyikan kekesalannya di depan Paklik Pairun. Rasa pusing kembali menggelayuti pikirannya setelah Pakliknya pamit pulang.

Di kamar, ia baru teringat ada sebuah surat dari almarhum ayahnya yang belum sempat dibuka. Dengan penasaran, dibacanya surat itu.

Senen Kliwon, 4 Dulkaidah 1949

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun