Mohon tunggu...
Heri Purnomo
Heri Purnomo Mohon Tunggu... Administrasi - nothing

-

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

[Cerpen Mistik] Keris

2 Agustus 2016   20:38 Diperbarui: 4 Agustus 2016   03:28 858
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber Gambar: visualheritageblog.blogspot.com

Sudah seminggu yang lalu Raden Mas Susanto Widjaja meninggal, Masa berkabung sudah mulai surut. Simbok Sari istrinya mulai merapikan barang-barang peninggalan almarhum. Pakaian, sarung, peci dan sepatu yang masih bisa terpakai ditawarkan kepada sanak-saudara. Beberapa mau menerima, namun ada juga yang tidak mau karena takut dibayang-bayangi sosok almarhum.

Tiba-tiba Simbok Sari menarik lengan Alung de Moore, anak lelakinya itu menuju kamar yang kini sepi ditinggal pemiliknya. Sebuah kamar pribadi semasa almarhum masih hidup. Pertanda ada hal penting yang mau disampaikan Simbok. Meski dengan Simbok nya sendiri, Alung tetap deg-degan dan menerka-nerka apa yang akan disampaikan. Apalagi Alung adalah anak laki-laki satu-satunya dari almarhum yang menikahi Simbok Sari 30 tahun yang silam.

“Le.. sini Simbok mau bicara. “

“Ada apa, Mbok?. Sesuattu yang sangat pentingkah?” tanya Alung pada Simbok.

“Iyo Le. Ngene, Semasa hidup, almarhum pernah menyampaikan hal ini pada Simbok. Beliau berpesan, kelak kalau sudah tiada, barang ini tolong diserahkan pada Alung, anakku. Kamu harus merawatnya baik-baik sebagai tanda baktimu padanya. Terimalah, ya Le. Laksanakan amanat Bapakmu.” Kata Simbok, seraya menyodorkan buntalan kain yang masih menutupi isinya. Entahlah apa isinya, aku terus saja bertanya-tanya.

“Apa ini, mbok?”

“Buka saja, Le. Barang ini memang tak pernah diperlihatkan oleh Bapak kepada siapapun. Termasuk kepada Simbok. Simbok juga belum tahu apa isi di dalamnya. Sudah buka saja.”

Perlahan Alung melepas kain yang membalut benda itu. Lapisan pertama dibuka, masih ada lapisan berikutnya. Lapisan ke 2 dibuka, belum juga nampak isinya. Lapisan ke 3 terbuka, dan ini yang terakhir. Alung terperanjat. “Astaghfirullah, Keris Mbok. “ Pekik Alung setengah berteriak. Mendadak ia gelisah dan agak takut.

“Mbok, aku ini seorang ustad. Ini gak mungkin Mbok. Gak mungkin aku menyimpan Keris ini di rumah Alung.”

Simbok agak kecewa melihat dan mendengar reaksi Alung menerima peninggalan ayahnya.

“Lho..lho..lho. Kenapa, Le? Kok penerimaanmu seperti itu? Apa ada yang salah dengan benda ini?”

“Mbok, saat ini aku sudah menjadi ustad. Di banyak tempat Alung sudah mendakwahi banyak orang tentang pentingnya menjauhi hal-hal berbau mistik. Termasuk benda ini. Jika tidak bisa berakibat merusak keimanan atau akidah, Mbok.”

Simbok tak begitu mengerti dengan penjelasan Alung . Ia hanya mengemban tugas dari almarhum suaminya untuk menyampaikan wasiat. Itu saja.

“Alung , simbok ndak ngerti dengan apa yang kamu jadikan alasan itu. Tapi apa salahnya kamu menyenangkan Bapakmu, karena ia sudah tiada. Tega bener kalau sampai kamu menolak. Terima ya, Le. Siapa lagi yang akan merawat benda ini. Kamu satu-satunya yang dipercaya Bapakmu. Kedua adikmu perempuan semua, mungkin karena itu Bapakmu tidak memilih mereka.” Tambah Simbok sambil menjelaskan.

“Jangan kecewakan almarhum. Kamu harus sungguh-sungguh merawat titipan ayahmu ini. Dan dia menulis surat juga untukmu. Kamu baca saja nanti di rumah. Barangkali ini akan membantumu melaksanakan tugas terakhir yang diperintahkan Bapakmu.”

“Iya, mbok. Tapi... “

“Ndak ada tapi lagi, Le. Sudah...Berhentilah kamu dari keraguanmu. Kamu anak lelaki satu-satunya. Almarhum sangat menaruh harapan padamu!”

“Mbok, bukannya Alung tidak senang diberi kepercayaan. Tapi mbok, Alung sekarang sudah jadi Ustad. Pekerajaanku sering mengingatkan orang untuk menjauhi kemusrikan. Apa jadinya kalau nanti jamaahku mengetahui kalau ustadnya justru melanggar omongannya sendiri?”

“Pemikiranmu kok ngono, to Le? Kalau begitu menurutmu selama ini Bapakmu melakukan kemusrikan, begitu? Le, Kamu tahu kan, Bapakmu itu rajin beribadah,rajin berdoa setiap punya hajat apapun. Selalu meinta sama Gusti Allah. Dia hanya suka merawat benda-benda pusaka ini, tidak lebih. Seperti juga kamu mencintai sepeda motor atau mobilmu. Masa begitu saja kamu katakan musrik?”

“Maaf, mbok. Ini sudah menyangkut masalah akidah dan keimanan. Bagaimana pun juga, sepanjang yang aku pelajari menyimpan benda ini tetap saja berbahaya terhadap keimanan kita. Apapun alasannya. “

“Hehhhhh.!! Kamu keras kepala juga.“ Simbok menarik nafas dalam-dalam dan menghembuskannya cepat.

“Tidak, Le. Kamu tetap tidak boleh menolak amanah Bapakmu. Alasanmu itu tak bisa diterima. Bapakmu tidak akan tenang di alam sana, jika anaknya menolak pesan terakhirnya. Apa kamu senang Bapakmu kecewa di sana? Bukankah tugas anak semasa hidup itu termasuk menjaga amanahnya? Ayolah, barang ini harus kamu simpan dan jaga baik-baik di rumahmu.”

“Mbok, aku mohon...”

“Tidak, Le. Kapan lagi kamu akan berbakti pada orang tua sementara permintaan seperti ini saja kamu tak sanggup lakukan. Keris itu pusaka dan kebanggaan khas orang Jawa. Bahkan Pangeran Diponegoro dulu pun memiliki keris kebanggaannya. Padalah ia pun alim dalam urusan agama. Apakah kamu juga menganggap beliau musrik hanya karena memiliki keris?”

“Menurut Alung memang begitu, Mbok. Mungkin dulu Pangeran Diponegoro belum belajar secara total soal agama.”

“Hush. Kamu kok berani berkata seperti itu? Gak boleh sombong. Kalau kamu masih mengakui sebagai anak almarhum Raden Mas Susanto Widjaja, kamu harus dan harus melaksanakan amanah beliau. Titik!” Kali ini Simbok sedemikian marahnya menghadapi penolakan Alung. Mukanya memerah. Otot-otot di keningnya sempat membesar. Beruntung Alung cepat berusaha menyurutkan amarahnya setelah ia pasrah menerima apa yang disampaikan.

“Baiklah kalau begitu, Mbok. Aku akan menyimpan benda ini di rumah.”

“Nah, begitu. Apa susahnya merawat benda sekecil ini. Tidak memakan tempat dan biaya yang besar seperti merawat mobil dan motormu.”

**

Sesampai di rumah, Alung memandangi keris itu lekat-lekat.

“Wow, designnya sangat cantik. Keris ini benar-benar hasil karya sang empu yang mumpuni. “ gumamnya dalam hati. Diperhatikannya hulu keris tempat pegangan yang terbuat dari kayu berkualitas tinggi. Bermotif ukiran dari seniman yang mumpuni. Dicobanya dikeluarkan keris itu dari rangkanya. Diamatinya bagian pokok keris yang menampakkan lekukan bertingkat. Rapi dan halus permukaannya, namun beraura dingin, juga saat diraba dengan telapak tangannya. Ia takjub.

“Tapi... Aku tak mungkin menyimpan keris ini. “ Kembali Alung dililit keraguan. “Bukan apa-apa, aku hanya tidak mau keimananku tercemari dengan benda pusaka betapapun indahnya. Apalagi istriku pasti tak akan setuju. Ia sangat terobsesi untuk membersihkan segala hal berbau TBC ( Tahayul , Bid’ah dan Churafat ) sebagaimana menajdi doktrin keras di pengajiannya. Bahkan rumah ini saja tak ada gambar foto keluarga, karena ia tak mau ada gambar hidup di rumah ini. “

“Tidak! Tapi aku tidak mungkin membuang benda ini, bagaimana pun ini amanah dari almarhum Bapak. Aku harus cari orang yang sudi merawat benda ini. Akhirnya aku ingat seorang teman, kolektor barang-barang antik. Yah, aku rasa dia orang yang tepat untuk kutitipkan barang ini. Dan almarhum Bapakku pasti tidak akan terlampau kecewa di alam sana. Paling tidak masih ada yang merawatnya peninggalannya, meski bukan anaknya.

**

Sore hari Alung bergegas ke rumah Rudie Chakil, teman SD nya yang kini jadi kolektor barang-barang antik. Rudie dikenal memiliki banyak benda-benda antik dan bersejarah di rumahna yang sudah disulap seperti museum. Dari Sepeda, mobil, mebel, perhiasan, dan benda-benda pusaka juga turut mengisi koleksinya.

“Halo, Rudie. Hari ini adalah hari keberuntunganmu. Aku membawa sesuatu untukmu.” Setibanya di rumah Rudie, Alung langsung to the point menyampaikan maksudnya. Keduanya memang akrab.

“Hei, Alung . Tumben sore-sore dah ke sini?”

“Iya, aku ada perlu denganmu, Rud. Kamu pasti suka dengan benda ini. Dan aku yakin kamu orang yang bisa merawatnya dengan baik.” Kata Alung tanpa banyak basa-basi kepada Rudie. Rudie tersenyum dan memintaku untuk membukanya.

“Hei Alung, terima kasih kamu sudah mempercayakan benda ini untuk kusimpan. Tapi maaf... aku sudah tak mengoleksi benda-benda seperti ini lagi. “

“Lho, kenapa Rud? Sudahlah, aku tetap percaya kamu lah orang yang tepat untuk merawat keris ini. Ayolah, hanya merawat saja. Dan tentu sekaligus menambah koleksi barang-barang bersejarahmu. Lihatlah penampakan barang ini. Sangat artistik dan gagah bila dipajang di museum kamu. Aku tak salah lagi, kaulah orangnya. Tolong jangan tolak permohonanku ini. Bahkan kalau kau menyukainya, tak apalah jika kelak barang ini benar-benar menjadi milikmu. ”

Alung tak menghiraukan lagi penolakan Rudie. Setengah terpaksa dia menerima keris itu. Sambil berusaha menyudahi debat kusir, Alung akhirnya pulang dengan penuh kemenangan. Serasa terlepas dari beban berat di pundak dan batinnya.

**

Kini giliran Rudie memandangi benda yang baru diterimanya. Ia tercengah setelah mengamat-amati benda itu. “Wow, luar biasa maha karya ini. Tapi aku sudah berjanji pada diriku, tak akan lagi mengoleksi benda-benda berbau mistik. Aku takut jika nanti tidak kuat menyimpannya atau terjadi apa-apa di keluargaku. “

Sejenak Rudie berfikir. Dan tak berapa lama ide muncul di pikirannya. “Ah, aku bawa saja ke Toko Kado Mak Eka. Aku pikir akan ada orang yang butuh kado seperti ini. Kado yang bisa menjadi kejutan untuk orang tersayang.”

Maka berangkatlah Rudie ke Toko Kado Mak Eka Murti. Toko ini terkenal lengkap barang-barangnya. Bahkan ibarat kata mau cari kado meriam pun ada di sana. Dan tanpa halangan berarti, Rudie berhasil menjual barang yang telah membuatnya khawatir dan was-was itu. Bahkan uang yang diterima pun tak dia pakai karena senangnya terlepas dari beban. Ia serahkan semua uang hasil jualannya kepada seorang pengemis yang biasa ia jumpai di dekat pasar. Rudie pun pulang dengan perasaan lega, seolah terlepas gendongan sebesar tempayan yang memberati punggungnya.

**

“Ting... tong “ suara lonceng berbunyi di rumah Alung . Ternyata Pakliknya, Pairunn Adi. Sebagai paman atau paklik, Pairun kerap bertamu ke rumah Alung. Dan di suatu malam yang hampir larut Paklik Pairun pun tak segan-segan mendatanginya.

“Wa’alaikum salam. Lho, paklik Pairun. Janur gunung, kok kadingaren berkunjung malam-malam begini? “ sapa Alung agak kaget, namun dengan mimik senang dan berseri-seri. Sudah lama paklik Pairun tak mengunjungi rumahnya. Dan malam ini ia datang, tentu ada kabar baik dan semoga bukan kabar buruk.

“Iya, Jo. Ada yang ingin kusampaikan padamu.”

“Oh ya, ada berita apa nih paklik? Apa Paklik Pairun mau mantu jeng Gendis Pambayun?” Tebak Alung sekenanya.

“Ah, gak Lung. Ini, aku mau menyampaikan kabar gembira buat kamu. Aku barusan dari Toko Kado Mak Eka Murti. Saat kulihat-lihat barang di sana aku lihat barang yang pernah dipunyai Bapakmu. Aku bingung mengapa barang itu bisa ada di sana. Apa mungkin dicuri orang terus dijual sekenanya? Untung paklikmu sempat melihat. Akhirnya aku beli saja barang itu untuk menyelamatkannya. Barang itu harus dikembalikan ke keluarga Bapakmu. Ya ke siapa lagi kalau bukan ke kamu, Alung. Karena kamu anak laki-laki satu-satunya. Nah, ini aku serahkan barang ini padamu. Kamu harus merawatnya baik-baik. Jangan sampai jatuh ke tangan orang lain. Ingat, peninggalan ini tak ternilai harganya. Jadi jangan sampai kamu menjualnya.”

“Hah...? “ Alung terbelalak. “Kenapa barang ini datang lagi? Hiks... apes. “ Alung berusaha menyembunyikan kekesalannya di depan Paklik Pairun. Rasa pusing kembali menggelayuti pikirannya setelah Pakliknya pamit pulang.

Di kamar, ia baru teringat ada sebuah surat dari almarhum ayahnya yang belum sempat dibuka. Dengan penasaran, dibacanya surat itu.

Senen Kliwon, 4 Dulkaidah 1949

Alung, anakku.

Jika kelak aku sudah tiada , Bapak titipkan keris ini untuk kaurawat baik-baik. Hanya kau yang kupercaya untuk menyimpannya. Dia akan tetap kembali padamu meskipun semua orang berusaha menjauhkannya darimu. Jangan kecewakan Bapakmu ya, nak.

Bapakmu
Susanto Widjaya

“*

Keterangan :

*) simbok = panggilan ibu
*) kadingaren = kok tumben
*) Janur gunung = sebuah kata kiasan / wangsalan yang berarti aren -> kadingaren
*) Le .. ( Tole ) = panggilan sayang untuk anak lelaki

Jakarta, 2 Agustus 2016

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun