Mohon tunggu...
Heni Susilawati
Heni Susilawati Mohon Tunggu... Dosen - life with legacy

senang menulis tentang politik, demokrasi dan pemilu

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Tantangan Demokrasi Perwakilan

15 Oktober 2021   18:30 Diperbarui: 15 Oktober 2021   19:15 342
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Capaian angka partisipasi pengguna hak pilih di gelaran pemilu/pilkada sampai saat ini selalu diatas 70% secara nasional. Ini artinya kabar baik, kerja kolektif warga bangsa berhasil menumbuhkan antusiasme warga untuk memilih wakil-wakil mereka. Harapan kita bersama, angka partisipasi pengguna hak pilih itu akan stabil bahkan meningkat di masa-masa yang akan datang. 

Namun demikian, ekspektasi kita perlu juga digeser ke arah kualitas partisipasi pengguna hak pilih. Berkaitan dengan kualitas partisipasi pengguna hak pilih kita bisa melihat misalnya pada indeks demokrasi negara kita di tingkat global. Pada Januari 2021, The Economist Intelligence Unit menempatkan Indonesia di peringkat 64 di tingkat global. 

Indeks itu pula yang menempatkan Indonesia sebagai negara demokrasi semu. Menelisik lebih mendalam mengapa negara kita disebut sebagai negara demokrasi semu. Penyebabnya antara lain karena masalah partisipasi politik dalam pemilu. Ada problem mendasar yang masih membayangi kualitas demokrasi elektoral kita yakni seputar politik uang.

Dalam Pemilu/Pilkada, secara normatif rakyat adalah pemegang kedaulatan sepenuhnya. Artinya, rakyatlah yang punya kuasa untuk memilih partai dan kandidat. Rakyatlah penentu utama dari terpilih dan tidak terpilihnya para pejabat publik. Kedaulatan rakyat masih dalam bayang-bayang patologi demokrasi elektoral yang akut bernama politik uang. 

Selain faktor sosial budaya, kondisi ekonomi warga nampaknya juga memberi kontribusi yang cukup signifikan bagi tumbuh suburnya praktek vote buying. Faktor pendidikan juga memegang peranan penting. Belum lagi problem rendahnya pendidkan politik yang dilakukan oleh satu aktor utama dalam Pemilu yaitu partai politik.

Ada fenomena, rakyat lupa dengan daulatnya sendiri. Kecenderungan yang terjadi yakni pragmatisme dan transaksional untuk kepentingan jangka pendek dan sesaat. Padahal sejatinya pemilu dan pilkada digelar tujuan utamanya adalah menjamin sirkulasi elti yang akan mewakili rakyat sekaligus mengelola kegiatan pembangunan. 

Secara normatif, semestinya rakyat punya kepentingan yang sama untuk memilih wakil-wakil mereka yang dipandang visioner, punya kapasitas dan program yang sangat jelas untuk menuntaskan sejumlah persoalan pembangunan. Acapkali sikap permisif, transaksional dan pragmatisme pemilih membuat pemilu dan pilkada hanya berhenti pada tataran output alias menghasilkan para wakil rakyat di eksekutif dan legislatif. 

Negara ini memerlukan outcome yang jelas dari hasil pemilu/pilkada. Kebermanfaatan para wakil rakyat yang terpilih lewat jalan pemilu dan pilkada masih belum terlihat dengan jelas. Ada banyak problem pembangunan yang menunggu kerja konkrit para wakil rakyat. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun