Mohon tunggu...
Heni Susilawati
Heni Susilawati Mohon Tunggu... Dosen - life with legacy

senang menulis tentang politik, demokrasi dan pemilu

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Tantangan Demokrasi Perwakilan

15 Oktober 2021   18:30 Diperbarui: 15 Oktober 2021   19:15 342
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Kita mengenal  demokrasi langsung dan demokrasi perwakilan. Praktek demokrasi langsung hanya mungkin diterapkan di sebuah negara dengan penduduk yang sedikit dan wilayah yang tidak luas. Secara demografi, jumlah penduduk memiliki potensi yang terus meningkat setiap waktu.

Oleh karena itu tidak mungkin mengambil keputusan dengan cara mengumpulkan seluruh rakyat di waktu dan tempat yang sama. Era moderan model demokrasi yang banyak dipraktekan adalah demokrasi perwakilan. Pemegang kedaulatan tetap di tangan rakyat, namun secara teknis pelaksanaan kedaulatan rakyat dijalankan oleh waki-wakil rakyat yang dipilih dalam Pemilu.

Negara kita sejak 1955, menganut demokrasi perwakilan. Para pejabat publik yang mengisi jabatan eksekutif dan legislatif dipilih melalui mekanisme pemilihan umum. Kita punya catatan sejarah yang cukup panjang dalam soal pelaksanaan demokrasi perwakilan yang dipilih melalui Pemilu. 

Sebut saja Pemilu tahun 1955, 1971, 1977, 1982, 1987, 1992, 1997, 1999, 2004, 2009, 2014 dan 2019. Dan kita pun mencatat dengan baik perjalanan demokrasi perwakilan yang digelar melaui Pilkada. Selama rentang waktu penyelenggaraan Pemilu dan Pilkada, banyak aspek berubah dengan sangat dinamis. 

Perubahan itu mencakup undang-undang pemilu, sistem pemilu, penyelenggara, dan sengketa pemilu/pemilihan. Keseluruhan perubahan itu menandakan betapa sangat dinamis perkembangan demokrasi perwakilan kita sesuai dengan jamannya. 

Dari pemilu ke pemilu, dari pilkada ke pilkada; para pejabat publik terpilih datang silih berganti mengisi posisi kelembagaan MPR, DPR, DPD, DPRD, Presiden dan Wakil Presiden, serta Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah.

Secara umum, partisipasi politik warga dapat dikatakan cukup baik. Parameter yang digunakan yakni jumlah pengguna hak pilih yang menyalurkan hak pilihnya di bilik suara Tempat Pemungutan Suara. Mayoritas partisipasi politik warga yakni sebagai pemilih. 

Merekalah yang datang ke TPS menentukan calon-calon pemimpin yang akan mewakili mereka baik di legislatif maupun eksekutif. Sebagai pemilik kedaulatan, jika kita belajar dari sejarah pemilu ke pemilu berikutnya, dari pilkada ke pilkada berikutnya; nampaknya kita perlu membincang cukup serius khususnya yang berkaitan dengan kualitas partisipasi politik warga di TPS. 

Kuantitas jumlah pengguna hak pilih akan sangat ditentukan oleh derajat pemutakhiran data dan daftar pemilih. Harus kita akui, sejalan dengan waktu; kerja-kerja penyelenggara pemilu semakin membaik dalam hal tahapan pemutakhiran data dan daftar pemilih. 

Penghormatan dan perilundan hak pilih telah sedemikian diupayakan oleh jajaran penyelenggara pemilu. Dengan demikian dapat dikatakan secara administrasi telah banyak upaya-upaya serius dilakukan oleh jajaran KPU untuk melindungi data pemilih. Upaya serius itu antara lain menyangkut aspek sumber daya manusia, regulasi, anggaran dan teknologi informasi. 

Terkecuali bagi mereka yang memiliki kendala teknis tidak mengikuti prosedural pemungutan suara atau mereka yang memilih dengan sengaja tidak menggunakan hak pilih karena alasan tertentu; pada umumnya pelayanan terhadap warga sangat baik dilakukan oleh para panitia di TPS.

Capaian angka partisipasi pengguna hak pilih di gelaran pemilu/pilkada sampai saat ini selalu diatas 70% secara nasional. Ini artinya kabar baik, kerja kolektif warga bangsa berhasil menumbuhkan antusiasme warga untuk memilih wakil-wakil mereka. Harapan kita bersama, angka partisipasi pengguna hak pilih itu akan stabil bahkan meningkat di masa-masa yang akan datang. 

Namun demikian, ekspektasi kita perlu juga digeser ke arah kualitas partisipasi pengguna hak pilih. Berkaitan dengan kualitas partisipasi pengguna hak pilih kita bisa melihat misalnya pada indeks demokrasi negara kita di tingkat global. Pada Januari 2021, The Economist Intelligence Unit menempatkan Indonesia di peringkat 64 di tingkat global. 

Indeks itu pula yang menempatkan Indonesia sebagai negara demokrasi semu. Menelisik lebih mendalam mengapa negara kita disebut sebagai negara demokrasi semu. Penyebabnya antara lain karena masalah partisipasi politik dalam pemilu. Ada problem mendasar yang masih membayangi kualitas demokrasi elektoral kita yakni seputar politik uang.

Dalam Pemilu/Pilkada, secara normatif rakyat adalah pemegang kedaulatan sepenuhnya. Artinya, rakyatlah yang punya kuasa untuk memilih partai dan kandidat. Rakyatlah penentu utama dari terpilih dan tidak terpilihnya para pejabat publik. Kedaulatan rakyat masih dalam bayang-bayang patologi demokrasi elektoral yang akut bernama politik uang. 

Selain faktor sosial budaya, kondisi ekonomi warga nampaknya juga memberi kontribusi yang cukup signifikan bagi tumbuh suburnya praktek vote buying. Faktor pendidikan juga memegang peranan penting. Belum lagi problem rendahnya pendidkan politik yang dilakukan oleh satu aktor utama dalam Pemilu yaitu partai politik.

Ada fenomena, rakyat lupa dengan daulatnya sendiri. Kecenderungan yang terjadi yakni pragmatisme dan transaksional untuk kepentingan jangka pendek dan sesaat. Padahal sejatinya pemilu dan pilkada digelar tujuan utamanya adalah menjamin sirkulasi elti yang akan mewakili rakyat sekaligus mengelola kegiatan pembangunan. 

Secara normatif, semestinya rakyat punya kepentingan yang sama untuk memilih wakil-wakil mereka yang dipandang visioner, punya kapasitas dan program yang sangat jelas untuk menuntaskan sejumlah persoalan pembangunan. Acapkali sikap permisif, transaksional dan pragmatisme pemilih membuat pemilu dan pilkada hanya berhenti pada tataran output alias menghasilkan para wakil rakyat di eksekutif dan legislatif. 

Negara ini memerlukan outcome yang jelas dari hasil pemilu/pilkada. Kebermanfaatan para wakil rakyat yang terpilih lewat jalan pemilu dan pilkada masih belum terlihat dengan jelas. Ada banyak problem pembangunan yang menunggu kerja konkrit para wakil rakyat. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun