Mohon tunggu...
Hendri Muhammad
Hendri Muhammad Mohon Tunggu... Wiraswasta - Welcome Green !! Email: Hendri.jb74@gmail.com

... biarlah hanya antara aku dan kau, dan puisi sekedar anjing peliharaan kita

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Artikel Utama

Berharap "Jakarta Mega Project" untuk Penanggulangan Banjir

8 Januari 2020   15:14 Diperbarui: 9 Januari 2020   15:50 485
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Suasana deretan rumah kumuh di bantaran kali di Jalan Jati Bunder, Kelurahan Kebon Melati, Kecamatan Tanah Abang, Jakarta Pusat, Selasa (5/9/2017). Pemprov DKI Jakarta bersama dengan Pemerintah Pusat akan menata kawasan kumuh melalui program 100-0-100 yang dicanangkan Kementerian Pekerjaan umum dan Perumahan Rakyat dengan target Jakarta bebas dari kawasan kumuh pada 2019 mendatang. (Foto: KOMPAS.com/GARRY ANDREW LOTULUNG)

Banjir sudah mulai surut, hati mulai dingin, saatnya untuk perpolemik secara sehat tentang bagaimana mengatasi banjir Jakarta sembari berharap curah hujan ekstrim tidak terjadi lagi di Jabodetabek

Sebagaimana yang kita ketahui, untuk membantu mengatasi banjir Jabodetabek, pemerintah pusat sedang membangun 2 waduk di kawasan Bogor yaitu bendungan Sukamahi dan Ciawi. 

Selain itu, pemerintah pusat dan Pemprov DKI juga memiliki program penanganan banjir untuk membenahi Kali Ciliwung; pemerintah pusat dengan normalisasi sementara Pemprov DKI Jakarta dengan naturalisasi.

Ditulisan ini aku tidak membahas tentang kedua konsep naturalisasi dan normalisasi tersebut, tapi lebih pada bagaimana program-program penanganan banjir juga disertai dengan penataan wilayah pemukiman di Jakarta.

Ada satu persamaan dari program program naturalisasi dan normalisasi yaitu kebutuhan untuk membebaskan lahan di bantaran Kali Ciliwung yang besarannya sekitar 30 Ha dari total kebutuhan 46,47 Ha untuk normalisasi kali.

Apa yang perlu dicermati dengan saksama adalah kondisi lahan yang akan dibebaskan di bantaran Kali Ciliwung tersebut; Siapa pemilik lahan? Berapa KK yang harus di relokasi? Dan kemana?

Sebagai gambaran, pada tahun 2013 Menteri Perumahan Rakyat Djan Faridz sempat berkeinginan untuk merelokasi hampir 37.000 kepala keluarga (KK) yang tinggal di bantaran Ciliwung ini.

Rencananya, warga akan dipindahkan ke rusun yang akan dibangun pemerintah di daerah Pasar Rumput. Program ini tidak berjalan sebagaimana direncanakan dan jumlah warga yang tinggal di bantaran kali pun diyakini tidak banyak berkurang walaupun sebagian wilayahnya sudah dinormaliasi.

Kalaupun diasumsikan permasalahan lahan dan relokasi warga bisa diselesaikan oleh pemerintah, pertanyaan selanjutnya apakah pembangunan waduk dan normaliasi/naturalisasi sungai akan bisa secara permanen menyelesaikan persoalan banjir di Jabodetabek?

Menurutku, program yang digagas pemerintah ini masih parsial, belum sepenuhnya bisa untuk secara permanen menghilangkan ancaman banjir dari wilayah Jabodetabek.

Data BMKG menunjukkan bahwa banjir awal tahun 2020 kemarin dimulai dari curah hujan ekstrim di wilayah Jakarta, sementara hujan di kawasan Bogor dan puncak menyusul setelah curah hujan tinggi di Jakarta.

Artinya, banjir yang pertama bukan banjir kiriman dari kedua daerah Bogor dan Puncak tersebut. Artinya lagi, wilayah Jakarta sendiri masih ikut berkontribusi terhadap terjadinya banjir, bukan cuma kiriman dari dua wilayah itu saja.

Faktanya, Jakarta memang masih menghadapi masalah besar pada sistem drainase yang buruk, RTH yang belum memadai, jumlah sumur serapan yang masih jauh dari harapan, tingkat kepadatan penduduk yang sangat tinggi, dan lain sebagainya.

DKI Jakarta memiliki kondisi objectif dimana 49% wilayah pemukiman berada pada kategori "Kumuh" (181 kelurahan dari 261 kelurahan dengan luasan sebesar 1.024,52 Ha), dan sekitar separuh dari jumlah itu tinggal di area sekitar bantaran kali.

Berdasarkan data BPS, 445 RW di DKI Jakarta Masuk Kategori Kumuh, yang diklasifikasikan dalam tingkat kekumuhan Berat, Sedang, Ringan, dan Sangat Ringan, sebagaimana ditunjukkan pada bagan berikut:

Sumber: Badan Pusat Statistik (BPS) 2018
Sumber: Badan Pusat Statistik (BPS) 2018
Pada tulisan ini, aku sangat mengharapkan jika program-program penanganan banjir (pembangunan waduk dan normalisasi / naturalisasasi Kalli Ciliwung) juga disinergikan dengan program pengembangan kawasan urban yang melibatkan kawasan kumuh Jakarta.

Salah satu caranya adalah dengan mentransformasikan wilayah pemukiman kumuh di Jakarta menjadi pengembangan wilayah pemukiman vertical (rumah susun/apartemen) yang layak dan terjangkau untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan masyarakat urban melalui konsolidasi lahan masyarakat.

Sebenarnya ide ini bukanlah hal yang baru karena sudah pernah di inisiasi oleh pemerintah beberapa tahun belakangan. Hanya implementasinya saja yang aku inginkan untuk dilaksanakan secara lebih sistematis, terstruktur, dan massive, seperti nama pada judul diatas "Jakarta Mega Project".

Keunggulan utama dari program ini adalah akan ada pengaloksian lahan untuk pembangunan infrastruktur jalan baru, pembangunan drainase baru yang jauh lebih baik, penambahan luas RTH dan jalur hijau secara significan, sanitasi yang lebih baik, dan di ikuti juga dengan penyediaan air bersih.

Sebagai contoh, jika pemerintah mengembangkan sebagian saja (500 Ha) dari 1.000 Ha wilayah kumuh, misalnya dengan memfokuskan pada klasifikasi kekumuhan berat dan sedang terlebiih dahulu.

Maka, Jakarta akan kedatangan 300 hektar luas lahan untuk infrastruktur baru, fasum fasos, termasuk di dalamnya penambahan RTH dan jalur hijau (jika diasumsikan proporsi Koefisien Dasar Bangunan 60:40).

Bayangkan saja, 300 hektar dari 500 hektar tanpa mengalokasikan dana untuk melakukan pembebasan lahan.

Secara garis besar, program ini dilaksanakan pertama kali dengan mengkonsolidasikan bidang-bidang tanah yang dimiliki oleh masing-masing individu menjadi satu bidang tanah bersama (bisa berbentuk PT, Koperasi, dll) yang nantinya diberikan hak pengelolaan atas tanah tersebut.

Selanjutnya, tanah bersama ini akan dikembangkan, bekerja sama dengan developer, untuk membangun kawasan terpadu (mixed use area) dimana masyarakat pemilik tanah sudah sepakat dengan hitung-hitungan kepemilikan rusun/apartemen sebagai kompensasi dari penyertaan tanah mereka

Beberapa langkah yang perlu dilakukan {emprov DKI Jakarta untuk melaksanakan program ini dijabarkan sebagai berikut:

1. Aspek Pendataan dan Perencanaan
Pihak Pemprov DKI perlu mendata wilayah-wilayah priotitas dan mengidentifikasi secara detail tentang status kepemilikan lahan di wilayah tersebut termasuk struktur kepemilikannya, serta mempersiapkan peraturan-peraturan daerah yang diperlukan agar program bisa dijalankan secara efektif.

Pada tahap ini, pihak pemprov juga harus berkomunikasi secara intensive dengan stakeholder lainnya, terutama pihak developer, untuk merumuskan konsep dan hitung-hitungan komersialyang mereka harapkan, termasuk pembiayaannya, agar "paket" tanah bersama dan regulasi (perda Pemprov DKI) ini menjadi benar-benar menarik secara ekonomis untuk dikembangkan oleh pihak swasta.

2. Konsolidasi Lahan Masyarakat
Peran penting Pemprov DKI Jakarta adalah melakukan sosialisasi secara terstruktur pada masyarakat agar program ini bisa dijalankan. Pemprov perlu membentuk team yang besar agar memungkinkan pelaksanaan program sosialisasi secara massive, kalau perlu melibatkan LSM atau organisasi kemasyarakatan lain untuk melakukan hal ini.

Targetnya jelas, jika program ini bisa dilaksanakan pada tahun 2020 maka pada akhir tahun diharapkan sudah tersedia lahan-lahan yang telah di "bundel" dalam paket-paket lahan yang siap untuk dikembangkan. Pihak pengembang tinggal "terima jadi" saja paket lahan yang secara legal formal sudah "clean and clear".

Peran sentral pemerintah daerah dalam konsolidasi lahan untuk pengembangan daerah urban telah dilakukan juga di negara-negara lain, di China salah satu contohnya.

Saya pernah menulis beberapa waktu lalu kalau China memiliki instrumen yang menjadi motor penggerak pembiayaan industri properti, dikenal dengan nama Local Government Financing Vehicle (LGFV) yang telah diterapkan diseluruh daratan China.

LGFV ini merupakan perusahaan yang didirikan pemerintah daerah di China untuk mengumpulkan tanah-tanah pertanian lokal, merelokasi para petani dari tanah tersebut, lalu membuat zona baru yang diperuntukkan bagi kebutuhan masyarakat perkotaan (urban use).

Tanah-tanah ini di bundel dalam bentuk bond atau surat berharga dan dijual ke bank terbesar di China, China Development bank (CDB).

Dana yang didapatkan oleh LGFV dari penjualan bond ke CDB inilah yang digunakan untuk mengajak developer mengembangkan lahan menjadi area residensial, komersial, dan perkantoran yang diperuntukkan bagi masyarakat urban.

3. Pengembangan Urban Area
Tahap selanjutnya adalah pengembangan kawasan terpadu untuk dijadikan Developed Urban Area. Disini pemprov perlu mengeluarkan regulasi untuk peningkatan koefisien lantai bangunan (KLB) agar developer lebih leluasa membangun lebih banyak unit-unit hunian vertikal.

Jika menggunakan contoh diatas, dimana pemerintah mengembangkan 500 Ha wilayah kumuh (5 Juta meter persegi ), maka total luas lantai area pembangunan bisa sekitar 3x-nya (sekitar 15 juta meter persegi) atau bisa jadi lebih besar. Lebih dari cukup untuk menampung masyarakat yang tinggal disana termasuk membangun kawasan terpadu-nya.

Pengembangan kawasan dilaksanakan menggunakan sistem clustering, dimana masyarakat yang awalnya tinggal di satu cluster akan menempati unit-unit apartemen yang dibangun pada cluster tersebut. Hal ini memungkinkan ikatan sosial yang sudah terjalin ditempat tinggal lama akan coba terus dipertahankan ditempat tinggal yang baru.

Satu hal yang menjadi catatan penting adalah penyediaan tempat penampungan sementara bagi masyarakat yang areanya terdampak proyek pengembangan.

Pemprov DKI perlu membahas hal ini dengan developer, atau bisa juga dengan memanfaatkan program pembangunan rusunawa yang sebelumnya telah digagas pemprov.

Rusunawa yang dibangun pemprov ini yang digunakan sebagai tempat penampungan sementara. Setelah pembangunan selesai, rusunawa tersebut digunakan sebagai tempat tinggal masyarakat yang statusnya bukan pemilik tanah.

***

Penerapan konsep ini memiliki konsekuensi pada perubahan gaya hidup warga di lingkungan sosial di tempat tinggal lama (landed) ke tempat tinggal baru (vertical). 

Pemerintah tentunya harus terus mengedukasi masyarakat untuk mentransformasikan gaya hidup warga di lingkungan yang baru, sebuah gaya hidup "high-rise living", bisa jadi dengan mengambil contoh Singapura yang telah menjalankannya dengan sangat baik.

Semoga tullisan ini bisa ikut memperkaya wacana penanggulangan banjir Jakarta.

Salam damai
Referensi: 1, 2, 3, 4

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun