Mohon tunggu...
Hendra Fokker
Hendra Fokker Mohon Tunggu... Guru - Pegiat Sosial

Buruh Kognitif yang suka jalan-jalan sambil mendongeng tentang sejarah dan budaya untuk anak-anak di jalanan dan pedalaman. Itu Saja.

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop Artikel Utama

Benarkah Demokrasi Telah Terpenjara Popularitas?

15 Mei 2023   07:30 Diperbarui: 17 Mei 2023   07:15 1267
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi caleg. (sumber: KOMPAS/DIDIE SW) 

Melihat fenomena dari para tokoh dan influencer nasional (artis) belakangan ini ramai-ramai memilih memasuki area politik, tentu ada hal menarik yang kiranya dapat dibahas. Yakni bagaimana masa depan demokrasi jika terjebak dalam area popularitas semata. 

Bukan berangkat dari kepentingan rakyat, yang termanifestasi pada calon wakil rakyat (caleg) nya, melainkan dari publik figur semata.

Dengan realitas pemahaman secara politik yang akan cenderung terkikis dengan hadirnya unsur non politis (entertain) dalam konsep bernegara. 

Bukan pula menolak kehadiran para publik figur di area politik yang cenderung penuh dengan kepentingan. Melainkan konsep edukasi demokratis bagi warga negara yang dengan tegas memproyeksikan dirinya sebagai bagian dari arah perubahan bangsa.

Tidak semata-mata hanya bersikap dan berperilaku seperti seorang tokoh dalam layar kaca. Melainkan berangkat dari kebutuhan rakyat secara realistis dengan berbagai harapan-harapannya kelak. 


Inilah yang dapat diperhatikan, bahwa apa yang menjadi tren di kalangan publik figur (artis) saat ini jangan sampai menggeser konsep berdemokrasi dalam sebuah tatanan sosial yang saling terikat.

Ilustrasi calon anggota dewan (sumber: hestek.co.id)
Ilustrasi calon anggota dewan (sumber: hestek.co.id)

Ada semacam gap sosial yang tampak ketika seorang artis nyaleg dengan agenda politik praktis. Berangkat dari realitas glamour para publik figur, seakan apa yang diutarakan oleh Anita Mustikasari adalah benar adanya. 

Ketidaksetaraan dalam wujud posisi sosial, kelas sosial, dan gaya hidup, membuat masyarakat seakan kehilangan "harapan" dari para calon yang hendak dipilihnya.

Maka dengan ini kiranya publik dapat menilai mengenai baik buruknya kalangan publik figur (artis) ketika memasuki area politik. 

Seyogyanya area politik bukanlah panggung sandiwara layaknya di dunia sinetron. Melainkan area mandat suara rakyat yang harusnya dapat tersampaikan melalui aspirasi dari para wakilnya.

Demikianlah kiranya konsep demokrasi dalam Pemilu dapat ditafsirkan. "Suara rakyat adalah suara Tuhan", namun jika terjebak dalam locus popularitas, tentu saja akan membuat terjadinya pergeseran makna. 

Walaupun ada pameo bahwa "area politik adalah panggung sandiwara", kiranya harapan jangan sampai terhenti ditengah jalan, usai perhelatan Pemilu berakhir.

Pada kesempatan ini, penulis turut sertakan hasil tanggapan dari 20 responden yang secara acak memberikan pandangannya. 

Khususnya pendapat terhadap para artis yang memilih untuk maju sebagai calon wakil rakyat. Melalui persepsi generasi muda (usia 17-21) dari Banten, DKI Jakarta, Jawa Tengah, Jogjakarta, dan Jawa Timur.

Survey independen perihal pandangan terhadap artis yang maju sebagai caleg (sumber: dokpri/arsip)
Survey independen perihal pandangan terhadap artis yang maju sebagai caleg (sumber: dokpri/arsip)

Walau separuhnya menyatakan bahwa hal tersebut tidaklah menarik, ada kiranya sebesar 20 persen menyatakan ketertarikannya. Ini biasanya sesuai dengan artis yang populis dan sesuai dengan keinginan dari para responden. 

Jadi, 25 persen lainnya menyatakan netral, dengan pemahaman bahwa belum ada sosialisasi mengenai siapa calon wakil dari kalangan artis tersebut.

Penilaian ini tentu bukanlah menjadi penentu atas apa yang tengah marak diperbincangkan. Survey ini hanyalah sekedar penilaian dari persepsi yang kiranya dapat menjadi metode perolehan data secara valid. Walau tidak mewakili secara penuh pandangan dari generasi muda Indonesia.

Kita tidak sedang uji coba melalui tingkat followers dari setiap akun media sosial para artis. Melainkan melalui pendekatan faktual, atas apa yang telah dilakukan oleh para artis tersebut belakangan ini. Apalagi jika terkait dengan sikap dan aksi sosial, hal ini sudah tentu dapat meraih simpati dari para pemilihnya kelak.

Namun apakah hal tersebut sesuai dengan harapan dari para konstituen? Tentu sangat dini bila kita memberi kesimpulannya sesuai persepsi pribadi. 

Masih ada waktu untuk meningkatkan peluang meraih suara dari kalangan anak-anak muda. Bukan sekedar aktif terlibat dalam kegiatan yang berkaitan dengan partai politik.

Sedianya para pemilih pemula akan mendapatkan edukasi yang positif, jika mampu membedakan hal ini. Tentu ada diantara para artis yang tulus dan serius dengan proyeksinya membangun bangsa. 

Tidak sekedar menjadi sosok/tokoh pendulang suara dari para partai politik yang ada. Agar demokratisasi tidak terjebak pada sisi popularitas semata.

Demikian kiranya tulisan ini dapat dibuat, sebagai wahana dari area kebebasan berpendapat. Semoga bermanfaat dan terima kasih.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Vox Pop Selengkapnya
Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun