Mohon tunggu...
Hendra Fokker
Hendra Fokker Mohon Tunggu... Pegiat Sosial

Buruh Kognitif yang suka jalan-jalan sambil mendongeng tentang sejarah dan budaya untuk anak-anak di jalanan dan pedalaman. Itu Saja.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Palagan Ambarawa Membara

20 Oktober 2022   06:00 Diperbarui: 21 Oktober 2022   00:50 4278
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Monumen Palagan Ambarawa (Sumber: dokpri)

Usai kehadiran Sekutu bersama NICA di Semarang, target menguasai kota-kota penting pun langsung digelar dengan aksi-aksi militer. Bukan sekedar mengurus interniran Belanda ataupun Jepang, melainkan menunjukkan kegiatan show of power, terhadap rakyat. Tujuannya sekedar menebar ancaman dengan menunjukkan betapa hebatnya pasukan Sekutu kala itu.

Tetapi bukan karakter pejuang Republik jika gentar, kehadiran Sekutu di Ambarawa justru diterima dengan tangan terbuka. Tentu bersama dengan pasukan pejuang bersenjata yang selalu siap untuk bertempur jika suasana dapat dikatakan mengancam kedaulatan bangsa. Tanggal 20 Oktober 1945 adalah momen penting usai Palagan 5 Hari 5 Malam terjadi di Semarang.

Setelah berhasil menguasai Semarang hingga Jatingaleh, pasukan Sekutu langsung menuju ke arah selatan untuk melakukan gerak penyisiran. Tujuannya adalah beberapa kota penting di Jawa Tengah, dengan dalih pembebasan tawanan atas nama RAPWI. Selama perjalanan, beberapa aksi penyergapan dan baku tembak sudah tidak dapat dielakkan, khususnya di sektor Ungaran dan Bawen.

Hingga tanggal 26 Oktober 1945 pasukan Sekutu pun berhasil tiba di Magelang. Para tawanan perang Belanda yang seharusnya diurus untuk dipulangkan, justru dipersenjatai kembali. Terlebih ketika tentara Sekutu melakukan aksi pelucutan pasukan pejuang yang kala itu tengah mengawasi proses pembebasan para tawanan perang, seperti ungkap Ben Anderson dalam "Revolusi Pemuda".

Dibawah komando M. Sarbini dari TKR Resimen Kedu, seketika pasukan Sekutu langsung dikepung dari berbagai penjuru. Kota Magelang yang mulanya "panas" karena aktivitas interniran dengan aksi pelucutan, seketika bergolak, dalam kondisi siap baku tembak.

Pertempuran tentu saja tak bisa dielakkan, bersama dengan aksi pembebasan yang tengah berlangsung. Terlebih dalam aksi pembebasan tersebut ada sikap diskriminatif kepada orang-orang Indonesia yang juga menjadi tawanan pada masa Jepang. Mereka justru diintimidasi dan diperlakukan secara kasar. Hal inilah yang makin menyulut berkobarnya pertempuran di Magelang.

Merasa kalah jumlah, pimpinan Sekutu langsung menghubungi Bung Karno untuk melakukan mediasi. Selamatlah pasukan Sekutu di Magelang. Tetapi aksi undur diri mereka ke Ambarawa dengan tujuan benteng Fort Willem I seketika berubah pola. Pasukan NICA-Belanda dari dalam benteng justru dipersenjatai untuk membuka garis pertahanan hingga ke area stasiun Ambarawa.

Mengetahui hal itu, M. Sarbini bersama pasukan TKR beserta laskar-laskar perjuangan lainnya segera mengambil inisiatif untuk melakukan perlawanan. Para pejuang membuka front terbuka dalam pertempuran kota Ambarawa. Nyaris di setiap sudut desa yang mengarah pada benteng, segera diblokir untuk siasat pengepungan.

Hingga sepasukan Sekutu yang tengah melakukan gerak mundur pun sempat ditahan oleh para laskar pejuang di desa Jambu, dibawah komando Oni Sastrodiharjo. Serupa dengan aksi baku tembak di desa Ngipik, tentara Sekutu nyaris tidak bisa keluar dari sergapan pasukan TKR dibawah komando Suryosumpeno.

Peristiwa di dua lokasi ini dapat terbilang ikonik, berbekal ranjau buatan lokal, para pejuang berhasil menahan gerakan dari senjata berat Sekutu. Disini peran pasukan geni Republik terbilang heroik, trek bom kerap dipasang oleh para pelajar pejuang yang diam-diam bergerak ditengah kecamuk perang.

Secara strategi, pasukan pejuang bersama TKR berhasil mendesak Sekutu hingga nyaris terjebak di area benteng. Pada beberapa titik desa pun pecah baku tembak yang semakin sengit. Soedirman yang memerintahkan Isdiman untuk turun membantu dan terlibat dalam pertempuran di Ambarawa, sudah tidak lagi segan memberi perintah menyerang.

Begitupula dengan Gatot Soebroto, gerak cepat pasukan dari Surakarta untuk membantu pertempuran di Ambarawa semakin banyak direspon oleh para pejuang. Baik TKR ataupun laskar-laskar bersenjata. Sebuah front pertempuran besar yang konon lebih masif dan sarat strategi seperti yang meletus di Surabaya pada 10 November kemudian.

Pada suatu pertempuran dalam upaya pembebasan dua desa di sekitar Ambarawa dari tangan Sekutu, Isdiman bersama pasukannya digempur dari udara oleh pesawat P-51 Mustang. Tembakan gencar dari pesawat "Cocor merah" itu tepat mengenai Isdiman yang tengah memberikan perlawanan. Seketika Isdiman gugur dalam kronik Palagan Ambarawa.

Gerbong kereta api di Museum Palagan Ambarawa (Sumber: dokpri)
Gerbong kereta api di Museum Palagan Ambarawa (Sumber: dokpri)

Perang yang berkecamuk di Ambarawa memang terjadi hingga beberapa bulan lamanya. Soedirman yang kala itu mengetahui Isdiman telah gugur, langsung turun untuk melakukan konsolidasi dengan para pasukan Republik. Nah, disinilah muncul strategi Supit Urang yang terkenal itu. Tidak lain adalah pengepungan kota Ambarawa dengan metode menjepit dari berbagai sektor.

Sedangkan di ujung strategi, dipersiapkan satu jalan keluar yang dapat dijadikan sebuah gerakan penghabisan. Tidak lain tentu saja mengarah kepada jalan kembali ke Semarang. Pada pertempuran besar di bulan November 1945, Sekutu bahkan mengerahkan para tawanan Jepang untuk menyerang balik para pejuang yang bertahan di beberapa sektor di sekitar Bedono.

Nah, disini kita ketahui, bahwa kecamuk Pertempuran Surabaya sedianya terjadi pada kurun waktu yang sama dengan kronik Pertempuran Ambarawa. Jadi, kala itu pecahnya dua front besar pertempuran, baik di Surabaya dan Ambarawa merupakan bagian dari masa-masa bersiap yang penuh dengan aksi pertempuran di berbagai daerah.

Selama bulan Desember 1945, pertempuran semakin hebat terjadi. Strategi "Supit Urang" efektif dalam memutus dukungan logistik pasukan Sekutu dari Semarang. Sedangkan yang bertahan di kota, semakin terjepit dan kekurangan amunisi. Terlebih jalur komunikasi juga berhasil diputus oleh pasukan Republik.

Hingga akhirnya pada tanggal 15 Desember 1945, pertempuran pun diakhiri dengan gerak mundur pasukan Sekutu dari Ambarawa. Mereka undur diri dan kembali ke Semarang sejak sehari sebelumnya, dengan menelan kekalahan yang sangat fatal. Kala itu memang tujuan Sekutu adalah menguasai Ambarawa yang strategis berada di tengah Jawa Tengah dengan akhir kegagalan.

Kemenangan besar dari pasukan pejuang, baik TKR beserta laskar di Ambarawa ini kemudian ditetapkan sebagai Hari Juang Kartika. Hingga kini, TNI Angkatan Darat memperingatinya sebagai bentuk semangat juang pasukan infanteri dengan melakukan kegiatan gerak jalan beranting. Sebagai wujud bakti perjuangan di masa lalu yang sejatinya dapat terpatri dalam konsep semangat juang TNI.

Semoga bermanfaat.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun