Mohon tunggu...
Agustine Ranterapa
Agustine Ranterapa Mohon Tunggu... Guru

Aku seorang Guru SD. Tidak ada keajaiban dalam pekerjaanku. Aku tidak pernah berjalan diatas air dan aku juga tidak mampu membela lautan. Tetapi yang aku tahu, aku adalah seorang pemimpin pembelajaran yang mencintai anak-anak didikku. Karena menurutku seni tertinggi seorang guru adalah bagaimana ia menciptkan kegembiraan dalam ekspresi kreatif dan pengetahuan". Alhamdulillaah ditakdirkan menjadi seorang guru.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Api Yang Membara Dari Luka Bangsa

1 September 2025   19:03 Diperbarui: 1 September 2025   19:03 54
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

(Sebuah Refleksi Atas krisis Keadilan & Ketimpangan di Indonesia)

Apa yang kita saksikan hari ini di jalan-jalan ibu kota dan berbagai kota besar di Indonesia bukanlah sekadar fenomena massa yang tersulut emosi. Ia bukan sekadar kerusuhan yang lahir dari provokasi sesaat. Ia adalah ledakan yang lahir dari akumulasi luka panjang bangsa ini adalah luka yang dibiarkan membusuk lebih dari satu dekade. Luka dari wajah hukum yang bengkok, abuse of power, luka dari janji politik yang dipenuhi kebohongan, luka dari kesejahteraan yang hanya jadi retorika, dan luka dari ruang demokrasi yang semakin dipersempit. Rakyat sudah terlalu lama bersabar, memendam kekecewaan. Namun sabar yang tanpa ujung akhirnya berubah menjadi kemarahan kolektif. Sejarah dunia membuktikan, tak ada bangsa yang bisa terus bertahan di atas luka rakyatnya sendiri. Api yang membakar gedung, jalan, dan simbol-simbol kekuasaan hari ini adalah metafora paling telanjang dari rasa sakit yang tidak lagi bisa ditutupi oleh kosmetik narasi "pertumbuhan ekonomi stabil" atau "demokrasi kita on the right track."

Pemerintah dengan  bangga mengumumkan bahwa kemiskinan Indonesia terus menurun. Data Badan Pusat Statistik (BPS) per Maret 2025 mencatat tingkat kemiskinan nasional hanya 8,47 %, setara dengan 23,85 juta jiwa adalah angka terendah dalam 20 tahun terakhir. Angka kemiskinan ekstrem pun turun menjadi 0,85 %, atau 2,38 juta orang. Tahun 2024 pun kemiskinan menurun dari 9,36 % ke 9,03 %. Namun di balik angka yang tampak indah itu, ada jurang lain yang jauh lebih mengerikan yaitu kesenjangan.  Tetapi mari kita bedah lebih dalam: apakah angka ini berarti rakyat benar-benar sejahtera ?.  Tidak !!!. Karena ketimpangan justru masih menjadi wajah nyata kehidupan kita. Gini ratio, indikator yang mengukur kesenjangan, memang menurun tipis menjadi 0,379. Namun itu tidak berarti ketidakadilan ekonomi sudah terkikis. Sebab di balik angka nasional, ada kontras mencolok: Bali memiliki tingkat kemiskinan hanya sekitar 4 %, tetapi Papua Pegunungan lebih dari 30 %. Yang lebih menyakitkan, data BPS menunjukkan bahwa 40 % masyarakat termiskin hanya menikmati kurang dari 17 % total pendapatan nasional. Sementara 20 % kelompok terkaya menikmati hampir 45 %. Jadi, "penurunan kemiskinan" bukanlah akhir dari cerita, ia hanyalah kamuflase statistik yang menutupi fakta kesenjangan sosial yang makin melebar. 

Indonesia pernah disebut sebagai "the third largest democracy in the world". Namun kini, label itu terdengar hambar. The Economist's Democracy Index 2024 menempatkan Indonesia di peringkat ke-59 dari 167 negara. Sebuah angka yang mengingatkan kita bahwa demokrasi kita bukan demokrasi yang matang, melainkan demokrasi prosedural yang rapuh, yang sewaktu-waktu bisa jatuh menjadi ilusi. Lebih jauh lagi, Transparency International menempatkan Indonesia di skor 37/100 dalam Indeks Persepsi Korupsi 2024, berada di peringkat ke-99 dari 180 negara. Ini bukan sekadar angka, melainkan alarm keras bahwa rakyat semakin kehilangan kepercayaan terhadap institusi negara, khususnya penegak hukum. 

KPK sebagai lembaga yang dulu menjadi harapan rakyat kini hanya bayang-bayang. Revisi UU KPK, intervensi politik, hingga kriminalisasi terhadap penyidik dan aktivis antikorupsi menjadikan lembaga ini ompong. Kini, publik lebih percaya isu korupsi dibongkar oleh media sosial ketimbang institusi resmi. Demokrasi yang kita jalani makin menyerupai panggung sandiwara. Pemilu masih dilaksanakan, tapi hasilnya ditentukan bukan oleh aspirasi murni rakyat, melainkan oleh kekuatan oligarki, koalisi pragmatis, dan uang politik. Demonstrasi adalah simbol paling sahih dari ekspresi rakyat dalam demokrasi malah dipersempit ruangnya. Aparat menutup jalan, membatasi izin, bahkan menggunakan kekerasan. UU ITE, yang katanya direvisi untuk mencegah kriminalisasi, faktanya tetap menjadi alat represif. Aktivis, mahasiswa, bahkan ibu rumah tangga yang hanya mengeluh di media sosial bisa dipenjara. Ruang kritik yang sempit ini menjadikan rakyat merasa tercekik. Hukum akhirnya tidak lagi jadi pelindung rakyat, melainkan pagar tinggi yang menjaga kepentingan elit. Demokrasi kita bukan lagi ruang rakyat untuk berpartisipasi, melainkan panggung politik transaksional yang penuh manipulasi. 

Ketika rakyat bekerja keras tetapi hasil jerih payah mereka tidak cukup untuk biaya sekolah anak, ketika subsidi dipangkas tetapi pajak dinaikkan, ketika harga beras melambung sementara pejabat sibuk menyelamatkan proyek-proyek mercusuar maka kepercayaan rakyat terkikis habis. Krisis sosial-ekonomi tidak hanya soal angka, tetapi soal rasa ditinggalkan. Tahun 2024--2025, harga bahan pokok sempat naik 12--15 %, sementara daya beli stagnan. Upah minimum hanya naik tipis, tidak sebanding dengan inflasi. Akibatnya, keluarga miskin makin tertekan, sementara kelas menengah rapuh terancam jatuh miskin. Kondisi ini menciptakan rasa ketidakadilan yang jauh lebih menusuk dibanding sekadar kemiskinan absolut. Rakyat merasa bukan hanya miskin, tetapi juga tidak punya masa depan.

Dari titik inilah lahir gelombang kemarahan rakyat. Tidak selalu dalam bentuk demonstrasi besar-besaran, tetapi dalam bisikan yang makin keras di warung kopi, di kampus, di media sosial, bahkan di rumah-rumah ibadah. Rakyat mulai sadar bahwa mereka tidak bisa berharap pada elit yang sibuk mempertahankan kursi. Mereka menuntut perubahan yang bukan sekadar pergantian wajah, tetapi perombakan sistem yang korup. Mereka menuntut hukum yang benar-benar adil, demokrasi yang benar-benar hidup, dan ekonomi yang benar-benar berpihak pada rakyat kecil.  Kemarahan rakyat bukan sekadar reaksi spontan. Ia adalah respons atas pengkhianatan yang sistemik, pengkhianatan atas janji keadilan dan kesejahteraan yang tak kunjung ditepati. Ibnu Khaldun mengingatkan kita bahwa kehancuran bangsa tidak datang dari luar, melainkan dari dalam dan dari moral yang terkikis, dari korupsi yang dibiarkan, dan dari hukum yang digunakan untuk menindas. 

Indonesia adalah tanah yang lahir dari darah, air mata, dan doa para pejuang. Negeri yang dirajut oleh keragaman, dibangun oleh gotong royong, dan dijaga dengan cinta. Ketika kita mengkritik penguasa, itu bukan karena kita membenci Indonesia, tetapi justru karena kita mencintainya. Cinta yang sejati adalah cinta yang berani berkata jujur, sekalipun pahit. Allah SWT berfirman:

"Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran, dan permusuhan. Dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran." (QS. An-Nahl: 90)

Hari ini, kita dipanggil untuk memilih: apakah kita akan diam di hadapan ketidakadilan, atau berdiri menuntut kebenaran? Apakah kita akan membiarkan negeri ini menjadi panggung oligarki, atau kita rebut kembali sebagai rumah rakyat? Cinta kepada Indonesia menuntut keberanian. Cinta kepada bangsa menuntut kejujuran. Cinta kepada negeri menuntut kita berdiri di sisi rakyat kecil, bukan penguasa zalim. Indonesia adalah rumah kita bersama. Dan rumah ini hanya akan tetap berdiri jika kita menegakkannya dengan keadilan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun