Mohon tunggu...
hendra setiawan
hendra setiawan Mohon Tunggu... Freelancer - Pembelajar Kehidupan. Penyuka Keindahan (Alam dan Ciptaan).

Merekam keindahan untuk kenangan. Menuliskan harapan buat warisan. Membingkai peristiwa untuk menemukan makna. VERBA VOLANT, SCRIPTA MANENT.

Selanjutnya

Tutup

Worklife Artikel Utama

Waspada Perilaku Hustle Culture saat Bekerja

11 Oktober 2021   18:10 Diperbarui: 19 Oktober 2021   13:00 1434
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bekerja juga butuh keseimbangan (ilustrasi foto: pxabay.com/tumisu)

 "Pa, Papa itu kok kerja terus sih..." kata seorang anak kecil usia SD kepada ayahnya. 

Maklum, hampir setiap hari, ayahnya pulang malam. Di atas jam kerja rata-rata kebanyakan orang. Tidak hanya di hari biasa, hari libur pun kadang masih harus pergi ke kantor untuk lembur.

Meskipun demikian, naik turun total nominal yang diperoleh si ayah setiap bulannya, masalah yang datang hampir selalu sama dan terulang. 

Walaupun nilainya sedikit di atas UMK (Upah Minimum Kota) tertinggi seprovinsi. Tetapi ketar-ketir selalu dimulai di tengah bulan yang berjalan. Jumlah uangnya makin menipis. Mau tak mau harus bisa bertahan dalam hari-hari berikutnya.

Apakah ia boros, tak bisa mengelola keuangan? Tidak juga. Ia selalu menyisihkan dulu untuk pembayaran hutang untuk rumah kontrakan. Sisanya untuk keperluan sekolah anak dan kebutuhan dapur. 

Ia setidaknya harus bisa mengelola uang yang pas-pasan itu untuk keperluan transportasi kendaraan dan jajan ala kadarnya di bulan itu.

Kerja: Antara Tuntutan dan Niat Diri

Tuntutan kerja dari ilustrasi kejadian nyata di atas, bukan berarti ia disebut seorang pecandu kerja atau workaholic. Orang yang gemar menghabiskan waktunya di pekerjaan. Sampai-sampai kepentingan untuk bersama dengan anggota keluarga lainnya menjadi nomor dua atau lebih.

Dalam dunia kerja, ada tipe orang yang mirip dengan itu. Ia bekerja, bisa dikatakan melebihi batas normal. Motivasi mencapai kesuksesan teramat tinggi. Hingga akhirnya tidak ada keseimbangan dalam pekerjaan dan kesehatan diri.

Ya, beda tipis antara keduanya. Satunya kerja terus karena kantor mensyaratkan demkian. Ada faktor tuntutan secara eksternal. Jadi seakan ia tak punya pilihan lain untuk terus bekerja.

Sedangkan satunya adalah karena niat diri. Obsesinya memang untuk kerja, kerja, dan kerja. Faktor terbesarnya adalah dari internal.

Hustle Culture

Ini bukan cerita lain semacam film Kungfu Hustle, ya, hehe... Istilah ini disematkan sebagai sebuah fenomena atau gaya hidup masa kini.

Hustle Culture adalah kondisi yang terjadi ketika seseorang memiliki motivasi untuk bekerja yang terlalu tinggi. Bekerja lebih dari waktu yang normal terjadi. Akibatnya tidak ada keseimbangan dalam pola hidup seseorang.

Kecenderungan untuk bekerja keras di kalangan muda memang tidak salah. Namun gaya hidup yang cenderung mengabaikan sisi kesehatan ini yang perlu untuk diwaspadai. 

Sebab akan mengganggu kesehatan, yang tidak hanya pada fisik belaka. Tapi juga pada kesehatan yang seimbang dengan mental dan emosional.

Salah Paham Makna?

Motivator pada dasarnya sebenarnya memainkan sisi psikologis dari seseorang. Maka, ucapan yang memberikan semangat, kata-kata tertulis yang menginspirasi, bisa jadi ini juga memberikan pengaruh kepada seseorang untuk terus bekerja lebih keras. Supaya pintu kesuksesan itu dapat ditiru dan diwujudkan juga oleh dirinya sediri.

Dampak buruk dari perilaku hustle culture adalah burnout (stres berat), kelelahan, hingga yang terberat bisa menyebabkan kematian. 

Bagaimana tidak, kalau urusan pekerjaan saja yang dipikirkan. Lama-lama ketahanan fisik tubuh juga mengalami kelelahan. Imbasnya pikiran gampang juga terpengaruh, mental jadi tak stabil. Stres, dan benar-benar "gila" karena kerja.

Antisipasi

Beberapa hal yang bisa dilakukan untuk tidak terjebak dalam fenomena Hustle Culture antara lain:

1. Filosofi Kerja

Bekerja dengan totalitas, bukan berarti semua waktu yang ada untuk pekerjaan. Jadi bilamana ada pekerjaan yang sepertinya tak kunjung usai, tak perlu berlebihan juga untuk menuntaskannya.

Dalam kelelahan fisik, menyelesaikan pekerjaan bisa jadi semacam bumerang; akan menghantam diri sendiri. Tetap atur waktu kerja, istirahat dan untuk aktivitas lainnya.

Tubuh manusia itu bukan seperti mesin atau robot. Mereka bisa disetel batas kemampuan maksimalnya. Manusia tidak punya kemampuan mumpuni seperti itu.

Filosofi sederhananya adalah seperti kalimat, "Bekerja untuk Hidup; bukan Hdup untuk Bekerja."

2. Ilmu Perbandingan

Kadang (atau mungkin sering) orang membandingkan antara satu dengan lainnya. Ingin juga bisa kaya, hidup berkecukupan. Makanya, prinsipnya adalah menghabiskan waktu dengan bekerja.

Nah, ini kan sama saja dengan rasa iri. Padahal orang yang dilihat tadi sebetulnya juga punya persoalan sendiri. Siapa tahu ia memiliki banyak harta tapi dengan cara hutang. Jadi kerja kerasnya untuk menutupi cicilan alias kredit yang ia tanggung.

Sama-sama bekerja giat. Mimpinya bisa saja sama, namun jalannya berbeda. Bukankah lebih enak capek kerja dulu tapi tak pusing memikirkan lagi untuk bisa memiliki ini dan itu. Ketimbang senang di awal, mimpinya berhasil. Tapi ia harus kerja keras mati-matian setelah itu.

3. Penghargaan Waktu dan Diri Sendiri

Istilah "waktu adalah uang" (time is money), bisa benar di tempat kerja. Artinya memanfaatkan waktu yang terbatas sesuai jam kerja, namun hasilnya bisa maksimal.

Namun istilah itu tak berlaku lagi setelah 'keterikatan' itu berakhir. Penting untuk jeda, rehat dari rutinitas pekerjaan. Waktu di luar kerja bisa dipakai untuk "me time" (waktu sendiri). Melakukan aktivitas pribadi untuk hobi, olahraga, membaca buku, nonton film, sekadar bermain games dan sebagainya.

4. Ukuran Kesuksesan

Definisi sukses bagi tiap orang jelas berbeda-beda. Demikian juga lamanya waktu kerja, tak juga menjadi jaminan untuk mencapai kesuksesan. Bukan berarti makin lama kerja, orang makin sukses dalam karirnya.

Sedikit review. Ada film bagus yang judulnya "Click". Inti ceritanya, seorang ayah menemukan "benda ajaib" (jam percepat waktu) yang bisa memajukan waktu sepanjang yang ia mau. Ia punya istri (ibu RT) dan anak yang masih kecil.

Ketika sang ayah ini punya masalah, langsung saja ia memajukan waktunya (percepatan). Jadi, masalah tinggal beres, karena sudah terlewat. Ia hanya mengalami yang "datar dan enak".

Hingga satu ketika ia sadar, anaknya sudah dewasa. Ia juga tambah tua. Semua terjadi karena keayikan bermain dengan "benda ajaib" yang ditemukannya.

Memang, pada akhirnya,kerja kerasnya membuahkan hasil. Namun yang terjadi, kehangatan dalam keluarga sudah tak lagi dirasakannya. Bahkan anaknya mengangap si ayah orang asing, karena jarangnya berkomunikasi secara baik.

Hanya istinya yang kemudian menguatkannya. Namun waktu tak bisa dimundurkan. Seakan memperbaiki keadaan sudah terlambat. Itulah pertemuan mereka yang terakhir dalam perjumpaan.

Pesan moral film ini nampaknya pas juga. Bekerja mati-matian hingga sukses, tapi kebersamaan di dalam keluarga terkalahkan. Prestasi dalam karir yang tidak imbang dengan harmoni rumah tangga.

5. Kerja Cerdas, Hidup Sehat

Bagaimanapun asyik dan enaknya dunia kerja, punya fisik yang sehat itu lebih menyenangkan. Lebih senang lagi kalau aspek mental dan emosional juga terjaga dengan baik.

Seberat-beratnya beban kerja, tetap perlu ditata dengan baik. Kerja terus dapat uang, tapi setelah itu tak bisa memanfaatkannya untuk kesenangan, lalu buat apa? Apakah kerja keras hanya untuk biaya pengobatan kalau pas jatuh sakit? Tentu juga tidak seperti itu harapannya.

Prinsip kerja yang baik adalah demi meningkatkan kemampuan diri dan kualitas hidup. Dengan bekerja, bisa makin tahu ilmu dan pengetahuan yang terus berkembang. Pekerjaan itu untuk dinikmati, bukan malah membuat sengsara bagi yang melakukannya. Apalagi kalau dalam bekerja justru akan membuat orang stres.

Mengelola Karir dan Keuangan

Cukup tidak cukup sebuah penghasilan, tetap harus cukup bagaimanapun caranya. Tiap orang, dengan pengalamannya masing-masing akan menemukan jalannya sendiri.

Bagaimanapun juga, dalam bekerja itu seperti kutipan kata bijak demikian. "Kerjakan apa yang kamu cintai. Cintai apa yang kamu kerjakan." 

Maka,biarpun ada kalanya orang senang dengan pekerjaannya, tetapi itu tak harus membuat waktu yang lainnya jadi terabaikan. Butuh keseimbangan antara pekerjaan dan lain-lain (misalnya kesehatan, keluarga, hobi, spiritual).

Selamat menikmati pekerjaan dengan seimbang, dan hidup makin berkualitas.

11 Oktober 2021
Hendra Setiawan 

*) Bacaan:   Kompas,  Glints,  Liputan6 

**) Sebelumnya (Artikel Utama): 

Antisipasi Penyalahgunaan Identitas Diri dengan Cara Ini

Hari Satwa Sedunia dan Misi Maskot Olahraga

Memanfaatkan Ulang Bahan Limbah Dapur yang Terbuang untuk Berkebun

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Worklife Selengkapnya
Lihat Worklife Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun