Mohon tunggu...
Helga Evlin Zendrato
Helga Evlin Zendrato Mohon Tunggu... Mahasiswa - Pecinta Tinta

Berlarilah yang kuat, setidaknya tetap berjalan.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Gara-gara Penasaran

21 Juni 2021   07:00 Diperbarui: 21 Juni 2021   06:58 258
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Sore di atas kasur, langit-langit indekos masih tersentuh cahaya. Baling-baling kipas memutar stagnan. Aku menggeser-geser halaman demi halaman jurnal yang tidak kupahami intisarinya. Aku masih penasaran dengan ide-ide yang muncul di kepalaku. Konten-konten yang menarik ini tidak sejalan dengan informasi yang kubutuhkan. Aku memilih rehat dengan layar persegi panjang di genggamanku. 

Notifikasi muncul di layar ponselku. Aku tak acuh dengan satu notifikasi, notifikasi kedua dan ketiga muncul. Aku penasaran dengan isi di dalamnya. Aku mulai terangsang untuk menyentuh laman notifikasi. Menyusul notifikasi keempat sembari aku memasukkan kata sandi di layar. Empat pesan dari orang yang sama.

Pesan 1: Bro, apa kabar?

Pesan 2: Aku ada ide nih soal kemarin

Pesan 3: Bagaimana kalau semuanya kirim ke aku dulu

Pesan 4: nanti aku train deh penggunaannya gimana. Setuju?

Aku mengeryitkan dahi. Sejenak pikiranku berpindah pada percakapan yang pernah menghubungkanku. 

***

Aku mengetuk-ngetuk jari telunjuk di atas sebuah meja. Musik keras yang sengaja di putar di dalam kafe tidak mengusikku. Bahkan, aku tidak sedang mendengarkan lantunan lagu atau instrumen yang sedang dimainkan. Sudah satu jam aku menunggu seseorang tetapi belum juga tampak batang hidungnya. 

Seorang pelayan kafe meminta kesediaanku untuk berpindah tempat saking lamanya melamun di area tersebut. Aku pun bersikap sopan, tidak biasanya. Aku sering menggertak orang yang memohon agar berpindah ke tempat yang kursinya lebih sedikit. Baju hitam yang kukenakan tidak berarti gelap dan sepi. Mulutku segera menyambar permintaan pelayan tersebut dengan ata sederhana, tetapi santun "Mbak, saya lagi menunggu seseorang." Pelayan itu pun tidak memaksakan aku berpindah. Keluarga yang terdiri atas ayah, ibu, dua anak, dan satu pengasuh melayangkan pandangan ke arahku setelah mendengarkan pendapat pelayan tersebut. Kafe untuk keluarga bukan sesuatu yang baru. Tempat yang dikenal ramai dikunjungi oleh para kawula muda yang menunggu datangnya cinta. tidak berarti terbatas untuk para orang tua dan anak-anak juga. 

Kakiku sengaja kugoyang-goyangkan sembari menyembur asap ke udara. Sembilan puluh menit berlalu, notifikasi muncul di layar gawaiku. 

Pesan 1: Maaf bro, lagi macet.

Pesan 2: Sejam lagi baru nyampe

Pesan 3: Pesen dulu makanan atau minuman, nanti aku yang bayar bro.

Aku merasa dipermainkan dengan kepastian yang semu. Balasanku singkat dan jelas. "ketemu di indekos aja, alamatnya nyusul".

Aku menginjak sisa rokok dengan kasar di tanah.

Keluarga yang menempati lantai dua memandang padaku lalu berpura-pura bercerita kepada anak-anaknya.

***

"Kok datang?"

"Maaf bro, ini tadi masih singgah ke beberapa tempat, lagian jalanan macet."

"Ya, sudah lupakan saja."

"Eh, ga bisa gitu dong."

"Dari awal aku ga bilang 'pasti' bukan?"

"Gini deh aku beritahu dulu cara kerjanya, nanti dipikir-pikir lagi. Bagaimana?"

"Udah, aku ga mau gabung"

"Yakin? Bukankah kamu yang memulai untuk meyakinkanku. Sekarang aku sudah punya cukup nyali juga modal."

"Modal? dari mana?"

"Penasaran? Sudah kukatakan kamu juga pasti ingin mencoba"

"Aku tanya, modal dari mana?"

"Yah, dari situ."

"Gimana caranya"

"Nah, benarkan. Sini deh liat, ...."

"Ah, cukup mudah juga. Tapi, aku ga mau berisiko"

"Coba cek saldoku, nice kan?"

"Ini pasti penipuan"

"Ya udah kalau ga percaya, pikir-pikir dulu deh. Besok aku tunggu kabar darimu"

Aku menyetel suara televisi agar suaranya tidak jelas terdengar. Namun, ia kembali di depan pintu menanyakan bayaran makanan yang kupesan di kafe tadi. Aku menolak uang yang ditinggalkannya di meja. Aku tidak ingin gratifikasi atau lain-lainnya.

***

Pagi itu aku yang memulai chat. Penasaranku menggebu-gebu. Aku sudah tidak ingin membebankan orang lain dengan kebutuhanku yang semakin banyak di kota besar. Setelah menelan ludah dan mematahkan kekehnya perkataanku, aku mengemis meminta dibuatkan akun. Aku menyetor uang sejumlah yang tertera dalam chat lalu klik kirim. Uang yang menjadi modal itu pun dalam sebulan membengkak dan berkembang pesat. Berganda-ganda dan berlipat keuntungannya. Aku meneruskan hingga mencapai target, setiap pagi aku rutin mengecek saldo dan memastikan sudah mengunggah pesanan. Hari-hari begitu bahagia.

***

"Bro, akunnya terkunci?"

"Maksudnya gimana?"

"Kok ga ada pesanan?"

"Oh, hari libur memang begitu. Sistemnya secara otomatis terkunci."

"Tapi, biasanya ga gitu kok"

"Iya, kamu belum baca info baru sih. Makanya modalnya dinaikkan agar bisa terima pesan langsung dari sumbernya"

"Oh, begitu. Tapi besok ada lagi kan?"

"Yoi, bro"

***

Matahari pagi sudah berlalu, aku bangun kesiangan. Pikiranku langsung tertuju pada akun online yang menjanjikan keuntungan besar setiap hari. Caranya sederhana, hanya perlu paket data dan identitas untuk mendaftar jadi anggota. Setiap hari, hanya menggerakkan jempol ke gambar yang akan di jual lalu menggunggah ke akun sosial media. Sederhana sekali, buat yang unggah secara rutin pasti memperoleh keuntungan yang besar. Namun, buat yang bermodal sedikit akan memperoleh pesanan sedikit juga. Akun yang biasa kukunjungi halamannya itu tiba-tiba hilang. Tidak seperti transaksi di hari berikutnya. Sepeser pun keuntungan belum sempat masuk ke kantongku. Aku panik dan menghubungi nomor yang memintaku untuk membayar. 

***

Suara perempuan itu masih jelas di telingaku. Seminggu aku menghubungi nomor yang sama dan jawaban yang sama, "nomor yang anda tuju tidak dapat dihubungi". Ide awal untuk tidak meminta uang kepada orang tua adalah ide dari ku, berencana ikut akun online pun ideku. Aku panik bukan main, modal yang kuberikan adalah sisa saldo untuk kebutuhanku 3 bulan ke depan. Aku masih mencari-cari orang yang menjanjikan keuntungan besar. Kondisi gawat yang tidak aku inginkan adalah modal tidak dikembalikan. Aku menyesal, rasa penasaranku sudah terjawab. Suara ibu jelas ditelingaku, "Hati-hati di kota besar Mas, banyak tawaran jangan mudah diterima. Jaga diri di dunia nyata pun dunia maya harus jaga diri". Amanat itu membayang-bayangi malamku, aku terus bergelut di atas kasur. Aku membenamkan wajah di bantal, namun suara hatiku tetap berisik. Aku menyalahkan diri sendiri. 

***

Pesan 1: Selamat Anda Terpilih menjadi pemenang dengan hadiah sebesar 67 juta, silakan Anda hubungi nomor berikut ini

Pesan 2: Maaf Mbak, kirimannya boleh melalui no.rek ini aja ...

Pesan 3: Butuh modal tambahan untuk usaha kecil-kecilan. Silakan kunjungi ...

Notifikasi pagi ini berbunyi aneh, aku pun semakin yakin bahwa modus penipuan itu sudah merajalela. Aku semakin yakin bahwa modus ini penipuan, bagaimana bisa aku di panggil dengan sebutan "Mbak" pada pesan kedua. Bukannya membalas dengan gertakan, caci maki atau ungkapan sial. Nomor ini kutuliskan di buku catatan hitamku, jika saja nomor yang sama menghubungiku maka dengan sadar dan segera akan kucatatkan namanya di neraka. 

***

Surat untuk Ibu,

Ibu, saya minta maaf. Maafkanlah saya Ibu, saya telah menghabiskan uang tiga bulan ke depan dengan keliru. Saya mengaku salah dan pantas mendapat marah dari Ibu. Saya sudah ga tahan mau cerita bahwa saya telah keliru dan tergiur dengan kepuasan semata Bu.

Bu, bila berkenan izinkan saya mendapat uang bulanan untuk Oktober Bu. Mohon jangan beritahu Bapak, aku takut dirajam oleh Bapak.

Dengan penuh rasa bersalah,

Anakmu

***

"Selamat pagi Wadi"

"Iya Yah,"

"Mau minta uang ke Ibu?"

Aku skakmat. Lidahku kelu, suaraku parau, pulsaku habis, baterai hpku lemah, sinyal mendadak buruk. Aku mematikan panggilan telepon. Di dalam kamar aku mencari bantal, menenggelamkan kepalaku lalu berteriak, "oh my life". 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun