Mohon tunggu...
Hayyun Nur
Hayyun Nur Mohon Tunggu... Penulis - Penulis dan Pemerhati Sosial

Seorang penulis frelance, peminat buka dan kajian-kajian filsafat, agama, dan budaya

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Zilza: Kisah Nyata Bencana Lembah Palu (6)

27 Juni 2019   16:39 Diperbarui: 27 Juni 2019   17:02 46
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Novel. Sumber ilustrasi: PEXELS/Fotografierende

Sekitar 5 meter mendekati tangga turun,  baru teringat kalau di saku celana sebelah kanan, saya menyimpan sebuah hand phone.  Untungnya benda itu masih ada di tempatnya.  Tidak terjatuh ketika tadi berlarian ke sana kemari. Untungnya lagi hand phone masih hidup.  Baterainya masih lumayan.

Keberadaan hand phone ini memang memberi secercah harapan.  Tapi ketika saya coba mencoba menggunakannya, berkali-kali yang terdengar hanya bunyu tuut.. tuut.. tuuut.  Pertanda jaringan tak ada. Rupanya bukan hanya jaringan listrik yang padam total bersamaan dengan guncangan besar gempa.  Jaringan selulerpun ikut terputus secara bersamaan. Tak bisa digunakan menghubungi siapapun,  setidaknya hand phone ini bisa memberikan secercah cahaya.  Benar-benar secercah cahaya.

Berbekal  secercah cahaya remang-remang  handphone di tangan kiri,  saya mulai melangkah pelan menuruni tangga.  Di saat menuruni tangga itulah,  terngiang kembali teriakan tangis histeris perempuan yang sangat mirip suara neng Susi itu.  Seketika bayangan mengerikan  kembali berseliweran.  Bayangan menakutkan akan kehilangan seluruh anggota keluarga, akibat tertelan terjangan lumpur setinggi hampir 20 meter itu,  tiba-tiba kembali menebal.  Terlebih setelah tiba di lantai bawah saya menemukan kenyataan yang tak kalah mengerikan.

Tepat di depan tangga turun lantai 1. Tak lebih 10 meter di hadapan saya.  Nampak samar-samar bayangan hitam. Menutupi seluruh lorong di antara sudut dinding sebelah selatan dan tiang di sebelah utara.  Yang tadinya menjadi jalan akses utama para penghuni RS menuju lapangan terbuka di sebelah Timur.  Bayangan hitam itu menjulang tinggi menjajari atap bangunan RS sebelah Selatan RS.  Hampir-hampir setinggi plafon lantai 1 bangunan RS sebelah Selatan. Tempat saya berdiri sendirian saat ini.  

Di tengah kegelapan yang hanya diterangi cahaya redup hand phone,  bayangan hitam itu seolah membentuk siluet raksasa dengan badan sangat tinggi. Sangat besar. Sangat lebar.  Seolah pula hendak menelan semua yang ada di depannya.  Dan sayalah satu-satunya makhluk hidup yang kini berdiri sendirian di depan siluet raksasa hitam pekat itu.  Tak ada lagi seorangpun lagi di situ.


Sementara  tak ada pilihan lain bagi saya. Kecuali harus berjalan mendekati  bayangan raksasa hitam pekat mengerikan itu.  Yang jaraknya tak lebih dari 10 langkah dari tempat saya berdiri. Di depan tangga turun itu.

Satu-satunya jalan keluar dari RS saat itu, hanyalah berjalan beberapa langkah ke arah bayangan hitam raksasa itu. Lalu berbelok ke kiri. Menuju arah utara. Melewati lorong tempat saya dan mama jatuh tersungkur oleh guncangan gempa sore tadi.  Belokan ke kiri itupun, hanya berjarak selangkah dari bayangan hitam pekat  itu.  Artinya saya akan berada sangat dekat dengan bayangan  yang lama kelamaan menimbulkan perasaan aneh itu.  Saya tiba-tiba merinding. Sementara di belakang,  tak ada apapun kecuali kegelapan.  Sepenuhnya gelap.  Kegelapan yang tak kalah mencekamnya dengan bayangan di depan itu.  

--Bersambung ke Part 7, Tertimbun Runtuhan Bangunan--

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun