Mohon tunggu...
KOMENTAR
Fiksiana

Zilza: Kisah Nyata Bencana Lembah Palu (6)

27 Juni 2019   16:39 Diperbarui: 27 Juni 2019   17:02 46 1
Bayangan Hitam  yang Mengancam

--Hayyun ZSaVana--

Pukul 18.20 WITA.  Kurang lebih.  13 menit setelah gempa.  5 menit setelah terjangan lumpur.  Saya duduk terhenyak. Sendirian.  Di lantai 2 RS Bersalin Nasanapura.  Dalam gelap.  Begitu pekat. Kepekatan  yang menjadi bertambah-tambah.  Oleh bayangan-bayangan mengerikan.  Setelah mendengar  tangis histeris seorang perempuan.  Yang sangat mirip dengan suara neng Susi.  

Bila beberapa menit lalu,  bayangan akan kehilangan si Dede sudah begitu menakutkan. Kini saya benar-benar sendiri.  Dihantui oleh sesuatu yang jauh lebih menakutkan.  Lebih mencekam.  Lebih mengerikan.  Saya kini terancam kehilangan bukan saja si Dede. Tapi seluruh anggota keluarga.  

Neng Susi yang terpaksa harus berlarian. Meskipun baru saja selesai melahirkan.  Masih dengan infus melengket di tangan.  Mama yang sejak pagi setia menemani kami di RS.  Dek Wiwi yang suaminya juga belum ketahuan bagaimana nasibnya sejak gempa pertama tadi.  Kaka Inka yang mestinya besok harus berangkat ke UGM. Mewakili SMA Al-Azhar dalam Olimpiade Biologi. A'a Rangga yang paling saya takutkan tak mampu menghindar dari terjangan lumpur.  Terakhir, si Dede yang  5 menit lalu baru saja sempat sejenak saya peluk dalam gendongan.  Entah bagaimana nasib mereka saat ini.  

Tangis histeris perempuan  yang sangat mirip suara neng Susi itu benar-benar menghantui pikiran.  Saya membayangkan tangis histeris itu pasti karena melihat salah satu atau beberapa anggota keluarga yang telah menjadi korban.  Ikut digulung terjangan lumpur setinggi atap rumah.  Dari arah Timur RS.  

Sementara gedung RS itu,  masih terus bergoyang.  Oleh guncangan-guncangan gempa susulan. Yang terus datang secara periodik.  Kadang guncangannya kecil.  Beberapa kali juga cukup besar.  Tapi tak ada sedikitpun lagi rasa takut tersisa untuk guncangan-guncangan itu.  Tidak pula pada terjangan lumpur dari manapun.  Pun bila tiba-tiba gedung RS runtuh. Sama sekali tak menakutkan lagi.
 Saya Bahkan tak perduli lagi dengan keselamatan diri sendiri.  Bukan ketakutan sejenis itu lagi yang kini terasa.  Tapi ketakutan yang lebih besar.  Yang lebih mengerikan.  Ketakutan yang benar-benar menakutkan. Ketakutan akan kehilangan semua orang yang dicintai. Karena menjadi korban terjangan lumpur.  Beberapa saat lalu.

Tapi bagaimanapun keadaannya,  saya harus segera menemukan mereka.   Harus segera mencari mereka.  Apapun yang telah terjadi. Apapun keadaannya.  Entah bagaimanapun caranya.  Harus. Segera.  

Berpikir seperti itu,  saya pelan-pelan beranjak berdiri.  Meskipun tubuh terasa begitu lelah.  Seluruh persendian tubuh terasa lemas.  Letih tak terkira.  Belum lagi kerongkongan sejak tadi seperti tercekat.  Kering. Didera rasa haus teramat sangat. Ludahpun sudah terasa pahit saat ditelan.

Pada detik itu,  barulah teringat.  Kalau seharian itu,  saya telah melewatkan makan siang.  Iya,  saya baru ingat. Sarapan   bubur dan kacang ijo di rumah mama,  jam 06 lewat sebelum ke RS itulah makanan terakhir yang masuk ke pencernaan saya hari itu.  Tak teringat lagi kapan terakhir sempat minum seteguk dua teguk air.  Kesibukan dan ketegangan mengurus proses persalinan neng Susi yang dramatis,  membuat kebutuhan makan dan minum seharian itu hampir terabaikan sama sekali. Akibatnya barulah terasa sekarang.  Justru di saat-saat paling mengerikan dan mencekam ini.
Tapi apapun keadaannya,  saya harus segera turun dari lantai atas RS ini.  Harus segera keluar. Mencari neng Susi,  si dede bayi, mama,  Wiwi,  Inka,  dan Rangga. Seberapa tipispun harapan untuk menemukan mereka dalam keadaan  hidup-hidup, saya tak boleh putus asa.

Saya melangkah perlahan melewati ruangan lantai 2 RS yang berantakan. Menuju tangga turun. Serpihan-serpihan pecahan plafon terdengar gemeretak.  Terinjak kaki saya yang lelah.  Entah berapa kali,  telapak kaki  yang tanpa alas menginjak pecahan beling. Buliran darah terasa perih keluar dari beberapa bagian telapak kaki yang sudah terlanjur luka oleh tusukan beling.  Menghindari luka yang pasti bakal lebih banyak,  saya terpaksa harus melangkah dengan bersijingkat.

Sekitar 5 meter mendekati tangga turun,  baru teringat kalau di saku celana sebelah kanan, saya menyimpan sebuah hand phone.  Untungnya benda itu masih ada di tempatnya.  Tidak terjatuh ketika tadi berlarian ke sana kemari. Untungnya lagi hand phone masih hidup.  Baterainya masih lumayan.

Keberadaan hand phone ini memang memberi secercah harapan.  Tapi ketika saya coba mencoba menggunakannya, berkali-kali yang terdengar hanya bunyu tuut.. tuut.. tuuut.  Pertanda jaringan tak ada. Rupanya bukan hanya jaringan listrik yang padam total bersamaan dengan guncangan besar gempa.  Jaringan selulerpun ikut terputus secara bersamaan. Tak bisa digunakan menghubungi siapapun,  setidaknya hand phone ini bisa memberikan secercah cahaya.  Benar-benar secercah cahaya.

Berbekal  secercah cahaya remang-remang  handphone di tangan kiri,  saya mulai melangkah pelan menuruni tangga.  Di saat menuruni tangga itulah,  terngiang kembali teriakan tangis histeris perempuan yang sangat mirip suara neng Susi itu.  Seketika bayangan mengerikan  kembali berseliweran.  Bayangan menakutkan akan kehilangan seluruh anggota keluarga, akibat tertelan terjangan lumpur setinggi hampir 20 meter itu,  tiba-tiba kembali menebal.  Terlebih setelah tiba di lantai bawah saya menemukan kenyataan yang tak kalah mengerikan.

Tepat di depan tangga turun lantai 1. Tak lebih 10 meter di hadapan saya.  Nampak samar-samar bayangan hitam. Menutupi seluruh lorong di antara sudut dinding sebelah selatan dan tiang di sebelah utara.  Yang tadinya menjadi jalan akses utama para penghuni RS menuju lapangan terbuka di sebelah Timur.  Bayangan hitam itu menjulang tinggi menjajari atap bangunan RS sebelah Selatan RS.  Hampir-hampir setinggi plafon lantai 1 bangunan RS sebelah Selatan. Tempat saya berdiri sendirian saat ini.  

Di tengah kegelapan yang hanya diterangi cahaya redup hand phone,  bayangan hitam itu seolah membentuk siluet raksasa dengan badan sangat tinggi. Sangat besar. Sangat lebar.  Seolah pula hendak menelan semua yang ada di depannya.  Dan sayalah satu-satunya makhluk hidup yang kini berdiri sendirian di depan siluet raksasa hitam pekat itu.  Tak ada lagi seorangpun lagi di situ.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun