Mohon tunggu...
Rahmi H
Rahmi H Mohon Tunggu... Guru - Peskatarian

Ngajar | Baca | Nulis Kadang-Kadang Sekali

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Cerpen | Tanah Sewaan

8 Januari 2018   19:55 Diperbarui: 11 Januari 2018   19:20 1545
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ada apa gerangan? Pak Osman membatin. Siapa yang melakukan semua ini? Pak Osman melepas caping lusuh yang melindungi kepalanya dari terik matahari jika siang telah memuncak. Ia melepas caping itu di tanah. Lututnya seketika lemas, ia sadar telah kehilangan seluruh isi perkebunannya, ia kehilangan harapan. Sebatas pandangan, lokasi perkebunan itu berubah seperti tanah lapang tanpa rumput, sepertinya sebuah peralatan modern telah menjadikannya seperti itu. 

Pak Osman masih berdiri bimbang, ketika lututnya kian tak sanggup menahan seluruh berat tubuh dan pikirannya yang terus memburu, seluruh beban tertumpu jadi satu, dengan apa ia harus membayar sisa sewa, sementara ia mesti melunasi hutang pupuk tahun lalu, mungkin anaknya bisa menunda lanjut sekolah, tapi cincin kawin istrinya akan dilelang jika bunga cicilan tak segera dibayar, catatan piutang harian di warung kian menumpuk, di rumah segala yang dianggap berharga telah berganti rupiah, akal Pak Osman menemui buntu, perlahan tubuhnya yang renta dan lemah jatuh tanpa daya, di sudut matanya setetes linangan menggenang, menjadi simbol penderitaan dan kesakitan batin dan pikirannya atas kenyataan dan nasib yang tak kuasa berpihak pada hidupnya. 

Pak Osman mendapati tubuhnya terbaring lesu di atas bale bambu, di sampingnya sang istri, Bu Osman dengan telaten menempelkan kain basah di dahinya. Suhu tubuhnya meninggi, Pak Osman menyadari dirinya pingsan tadi pagi. 

"Sakitmu kambuh lagi Pak, apa pula yang merisaukan pikiranmu?" Bu Osman bertanya sambil mengeringkan tangannya dengan lap yang tersampir di bahu kirinya. 

"Kamu pingsan Pak, untung saja tetangga kita berbaik hati mengantarmu pulang, ada apa?" Bu Osman menambahkan. 

Sementara pikiran Pak Osman kembali tertuju ke perkebunan ke ratusan bibit cabe rawit yang tak sempat ditanam, ia tak sanggup menceritakan apa yang dilihatnya kepada istrinya. Meski ia sendiri belum mengetahui penyebab kekacauan itu, namun pikiran dan perasaannya terlanjur lumpuh oleh bayangan ketiadaan cara menyelesaikan seluruh hutang-hutang yang kian menghimpit hidupnya. 

Bu Osman tahu, ia tak akan mendapat jawaban. 

"Tadi pagi sesudah bapak berangkat, Bos Bian datang..." Bu Osman menunduk menahan rasa bersalah, ia tak kuasa menceritakan apa yang didengarnya, apalagi kondisi suaminya sedang tidak memungkinkan. 

Namun, ia juga tak kuat menyimpannya lama-lama, kehidupan keluarganya sedang terancam. Pak Osman menunggu dengan sabar, kabar apa yang akan disampaikan istrinya, telinga dan hatinya telah pasrah meski yang akan terdengar bisa jadi bukanlah berita gembira, seingatnya belum sedikitpun Bos Bian mengeluarkan kata-kata yang lumayan sejuk, meski hanya sebatas singgah di daun telinga, jika bukan tentang harga sewa yang naik maka ia pasti mempercepat waktu cicilan lebih dari biasanya. 

Bu Osman menghela napas perlahan, sebelum melanjutkan ia menatap wajah suaminya yang pucat dan sayu, Bu Osman menahan air matanya. 

"Bos Bian bilang, tanah itu tidak lagi disewakan Pak, karena itu bapak dan petani lainnya yang masih menyewa dilarang memasuki dan menggarap tanah itu lagi, selain itu sisa sewa yang belum lunas harus segera dibayar bulan ini juga" Bu Osman menelan ludah sesudah menyampaikan apa yang seharusnya ia sampaikan. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun