Mohon tunggu...
Rahmi H
Rahmi H Mohon Tunggu... Guru - Peskatarian

Ngajar | Baca | Nulis Kadang-Kadang Sekali

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Cerpen | Tanah Sewaan

8 Januari 2018   19:55 Diperbarui: 11 Januari 2018   19:20 1545
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ia tak peduli lagi dengan siapa ia sedang berhadapan. Sesungguhnya kebenciannya pada Bos Bian telah tertanam sekian lama, mungkin sejak Bos Bian menaikan sewa tanah dengan harga yang tidak masuk akal, Bos Bian juga kerap meminta hasil panen dibagi dua jika Pak Osman belum sanggup membayar seluruh harga sewa. Bos Bian tersenyum mendengar perkataan Pak Osman. 

"Tanah itu sudah tidak disewakan lagi Pak Osman, karena itu mulai kemarin saya sudah menyuruh orang untuk menertibkan semua tanaman yang tumbuh diatasnya, karena penyewa yang berniat menyewa seluruh lahan itu tidak ingin ada satupun tanaman di sana, makanya saya bersihkan, maaf saya baru bisa menyampaikannya tadi pagi, ketika Pak Osman sudah terlanjur berangkat ke kebun," Bos Bian menatap Pak Osman tanpa rasa bersalah. 

Bagi Bos Bian, apa yang dilakukannya tidak menyalahi aturan apapun, dirinya hanya diminta menyerahkan kembali tanah Hak Guna Usaha kepada pemerintah setempat demi kepentingan investasi perusahaan sawit, dengan syarat seluruh tanaman yang ada harus disingkirkan. 

"Saya menanam itu sendirian Bos, saya menyewa lahan itu dengan uang yang saya peroleh dengan berhutang, anak dan istri saya makan dari hasil kebun itu. Sekarang saya minta ganti rugi atas tanaman saya yang sudah dirusak Bos!" Pak Osman geram, ia mengepalkan tinju kanannya, urat lehernya bermunculan. 

Sementara Bos Bian tetap tenang, ia tertawa ringan. 

"Saya tidak mungkin menggantinya Pak Osman atau anggap saja ganti rugi itu sebagai biaya sewa yang belum kau lunasi, dengan begitu kita impas," Bos Bian tertawa lebar di hadapan Pak Osman yang matanya mulai berkilat karena amarah. 


Napas Pak Osman tak teratur, tangan dan tubuhnya gemetar tak terkendali, bayangan tentang anak dan istrinya serta hutang-hutangnya kian jelas di pelupuk matanya. Pak Osman mulai kalut, dendamnya pada Bos Bian semakin menjadi, rongga dadanya seperti digedor-gedor menuntut dirinya untuk memuaskan marah yang telah sekian waktu dipendamnya. 

Tanpa berkata apapun, tangan kanannya meraih pisau yang terselip di pinggang kirinya dan langsung memburu Bos Bian di kursinya, Pak Osman menusuk leher Bos Bian, ia seperti kesetanan, darah mengucur deras, Bos Bian terbelalak tak percaya sambil menahan rasa sakit tubuhnya yang gempal, ia tak bisa bergerak, sementara Pak Osman terus menekan pisau itu ke kerongkongannya. 

Pak Osman tak lagi memikirkan apapun, akalnya tertutup oleh sekian tumpukan tuntutan hidup, perasaannya tertekan oleh ketidakadilan yang telah lama diterimanya dari perlakuan Bos Bian kepadanya, kini semua itu seolah menemukan jalannya sendiri, Bos Bian harus mati agar pikiran dan perasaannya tak lagi dihantui harga sewa yang terus meninggi tanpa henti, agar kelelahannya menanam bibit-bibit itu terbayar dengan adil, ia sadar tekanan Bos Bian kepada dirinya dan petani lainnya telah melampui batas. 

"Dia bukan manusia, karena itu dia lebih baik mati," Pak Osman berkata datar di hadapan polisi. 

'Dia tidak mengerti bagaimana caranya memulai hidup dengan berhutang, menyewa lahan, membersihkannya, membeli bibit, menanam, merawatnya, berhutang pupuk, hingga memanen sambil menghitung apakah hutang-hutang akan bisa dilunasi dengan sekali panen? Apakah ada sisa untuk biaya sekolah anak-anak? Apakah panen berikutnya akan ada kenaikan harga? Apakah panen berikutnya harga sewa tanah akan tetap sama?'Bos Bian tak mengerti itu' 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun